SEBUAH SD di kampung Montrado, Kabupaten Sambas, Kalimantan
Barat, pertengahan November lalu mendadak tutup. Gurunya
mengungsi ke Singkawang, 30 km dari Montrado. Ia dirundung rasa
takut. Pak guru adalah seorang di antara ribuan pengungsi yang
memenuhi Singkawang. Mereka berasal dari Kampung Montrado,
Sendoren, Margamulia, Sendati, Banawa Bhakti, Conde, Samalantan,
Ira, Sindu, Pasuk Kayu, semuanya di Kabupaten Sambas.
Ada apa? Sejak 8 sampai 12 November perkelahian massal menjalar
dari kampung ke kampung. Masing-masing kelompok bersenjatakan
berbagai macam senjata tajam. Tak kurang 20 orang tewas, 2 luka
berat, 5 luka ringan. Di antara yang tewas terdapat seorang anak
kecil dan 3 wanita. Dan kalau tercatat 50 rumah yang terbakar,
bisa dibayangkan bagaimana gambaran 'kancah pertempuran' itu.
Asal-mulanya cuma sepele. Kamis siang 8 November itu, Asikin bin
Asmadin, 45 tahun, sedang merumput buat makanan sapi di pinggir
sawah Kampung Sendoren di Kecamatan Samalantan. Tak berapa lama,
lewat Sidik, 40 tahun, menegur: "Hati-hati pak ambil rumputnya,
nanti kena padi." Teguran seperti itu di telinga Asikin dianggap
penghinaan.
Pulang ke rumah, Asikin langsung mengambil parang lalu
bertandang ke rumah Sidik. Mereka terlibat pertengkaran mulut,
hingga perkelahian tak terhindarkan. Akibatnya, Sidik tewaslah.
Kabar terbunuhnya Sidik meluas dari kampung ke kampung. Maka
sekelompok pembela Sidik pun mengumpulkan kawan-kawannya. Dan
tiga hari kemudian, siang hari, mereka menyerbu Kampung Sansapi,
4 km dari Sendoren. Hasilnya: seorang dari kelompok Asikin
tewas.
Terlambat
Di hari yang sama, di Kampung Banawa Bhakti juga pecah
perkelahian dan menewaskan seorang dari kelompok Sidik. Sejak
itu, di beberapa kampung dalam Kecamatan Samalantan berkecamuk
perkelahian massal. Di Pasuk Kayu kelompok Asikin tewas 3 orang
dan di Kampung Conde ganti kelompok Sidik tewas 1 orang. Di
Kampung Kincir kemudian 1 orang tewas dan Samalantan menyusul 10
orang kelompok Asikin tewas. Menyusul 2 orang kelompok Sidik
tewas di Kampung Margamulya dan di Kampung Kincir gantian 1
orang dari kelompok Asikin tewas.
Setelah perkelahian berlangsung 4 hari barulah Brigjen M. Sanif,
Pangdam XII/Tanjungpura selaku Laksusda Kal-Bar, terbang dengan
heli ke tempat-tempat kejadian. Ia menyampaikan nasihat kepada
masyarakat. Dan kepada para petugas keamanan diperintahkannya
untuk "jangan sampai ada sebutir peluru pun yang dimuntahkan
dalam mengamankan perkelahian massal ini." Keadaan bisa dikuasai
sepenuhnya, 13 November, setelah dikerahkan Batalyon 641
"Beruang Hitam", Brimob Polri Resort Sambas, Kodim 1202 dan
Hansip-Wanra. Yaitu setelah 20 korban jiwa dan 50 buah rumah
terbakar dalam peristiwa panas tersebut.
Brigjen Sanif buru-buru menegaskan bahwa peristiwa itu bukanlah
Perkelahian antar suku melainkan hanya kasus kriminal biasa.
"Peristiwa ini harus diselesaikan menurut saluran hukum. Hukum
harus dapat ditegakkan di sini," kata Sanif lagi.
Gubernur Kal-Bar, sebelum bertolak ke Prancis, memerlukan
menengok pula ke tempat kejadian. Begitu pula Kajati Kal-Bar,
Masydulhak Simatupang. Segenap anggota Muspida, berikut para
anggota DPRD berkumpul di Samalantan. Hari itu para petani
tampak sudah kembali ke sawah atau ladang, sementara hubungan
Samalantan-Singkawang (30 km) mulai pulih. Kendaraan umum sudah
mulai padat penumpang.
Itu tak berarti kewaspadaan boleh kendor. Untuk menghindarkan
balas dendam, kelompok Asikin diungsikan ke Singkawang. Dan
ketika Menteri Muda Urusan Koperasi Bustanil Arifin kebetulan ke
Sambas, 16 November lalu, ia sempat menyampaikan bantuan beras
dan sejumlah uang kepada para pengungsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini