SUKOTJO SM tercengang. Ketua DPRD Kalimantan Timur ini baru
November lalu menemukan sebuah surat keputusan gubernur (SK)
yang bertentangan dengan peraturan daerah (Perda) yang lahir
sebelumnya. Hebatnya, SK itu sudah 8 tahun umurnya. Perda dan SK
itu muncul ketika EIA Wahab Syahranie masih menjadi gubernur di
sana sedang Sukotjo belum duduk sebagai ketua DPRD. Bagaimana
duduk soalnya, Sukotjo masih akan "minta penjelasan kepada
Pemda." SK No.117 tanggal 13 Juli 1971 itu pokoknya mengizinkan
menebang dan memperdagangkan semua jenis kayu tengkawang. Harap
maklum, kayu jenis ini di sana ada 2 tengkawang-rambut dan
tengkawang-buah. Padahal tiga tahun sebelumnya, sudah keluar
Perda No. 09/PD/1969 tanggal 24 Juli 1969 yang melarang menebang
dan memperdagangkan tengkawang-buah.
Isi Perda itu sesungguhnya komplit. Selain melarang penebangan
tengkawang, juga melarang menebang pohon jelutung, resak,
damar, pohon tempat lebah bersarang, yang menghasilkan
buah-buahan yang dapat dimakan, dan pohon induk yang ditunjuk
oleh Dinas Kehutanan sebagai pohon pelindung. Bisa dipuji bahwa
sejak 1969, di Kal-Tim sudah ada kesadaran akan keseimbangan
ekologi.
Pungli
Brigjen (Purn) Wahab Syahranie, 57 tahun, bekas Gubernur Kal-Tim
yang 1« tahun lalu menjadi Sekretaris Menteri Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) menelaskan, Perda
tersebut "hanya melarang penebangan tengkawang-buah saja."
Repotnya, kata Wahab yang berkumis tebal memutih itu, "sulit
membedakan kedua jenis kayu tersebut."
Berbuah 4 tahun sekali, buah tengkawang-rambut tak bermanfaat
apa-apa. Tapi buah tengkawang-buah yang mirip pinang berguna
untuk bahan kosmetik, sabun dan mentega. Kalau lagi tidak
berbuah, para petugas kehutanan sendiri sulit membedakan yang
mana "buah" yang mana "rambut". Dalam daftar, tak jarang
tengkawang dicantumkan sebagai meranti putih. Memang sengaja
atau lantaran tak tahu. Kalaupun terlanjur ditebang, sebenarnya
mudah membedakan mana tengkawang mana meranti. Di atas air, 3/4
bagian kayu tengkawang mengapung. Meski begitu tidak mudah
membedakan keduanya.
Setelah Perda turun, para eksportir kayu di Kal-Tim banyak
mengadu kepada Wahab Syahranie. Mereka mengeluh adanya perbedaan
penilaian di antara para petugas kehutanan sendiri dalam
menentukan mana yang tengkawangbuah mana yang tengkawang-rambut.
"Dan memang penilaian itu sifatnya arbitrer sekali," kata Wahab
dua minggu lalu di kantornya di Jalan Merdeka Barat Jakarta.
"Saya ingat, waktu itu saya sering diprotes para pengusaha kayu
di sana," tambahnya sambil mengepulkan asap cerutu.
Maka Wahab pun lalu menurunkan sebuah SK yang bukannya
menegaskan pelarangan tapi malah mengizinkan penebangan kayu
tengkawang tanpa membedakan jenisnya. Alasan keluarnya SK 117
itu, kata Wahab kemudian, bukan lantaran protes para eksportir
dan sulitnya membedakan kedua jenis tengkawang. Tapi terutama,
karena sifat penilaian yang arbitrer itu, hingga ia khawatir
terbukanya kemungkinan pungli dari para petugasnya. "Saya tidak
mau ini terjadi," ujarnya.
Bukankah Perda, yang keluar berdasarkan persetujuan antara
gubernur dengan DPRD, lebih kuat ketimbang SK yang hanya
ditanda-tangani oleh gubernur saja. Tapi Wahab berusaha
meyakinkan bahwa SK-nya tidak sembarangan dikeluarkan.
"Sebelumnya saya mendapat advis dari Dinas Kehutanan dan
berbagai pihak," katanya. Bahkan ketika itu, katanya, juga ada
yang memberitahu bahwa di Serawak dan Sabah (Malaysia), Kal-Bar
dan Kal-Teng, kedua jenis tengkawang itu boleh ditebang. Seorang
pejabat di kantor gubernuran Kal-Tim yang mengurus bagian
ekonomi mengungkapkan, lahirnya SK itu dulu dibidani para
pemegang HPH waktu itu.
Buah tengkawang-buah merupakan salah satu jenis komoditi ekspor
yang mampu menyerap tenaga kerja terutama penduduk di pedalaman.
Penduduk pedalaman kemudian menjualnya kepada perusahaan. Hadi
Sulistio dari PT Sumber Baru misalnya, 5 tahun lalu pernah
mengekspor 500 ton buah tengkawang-buah. Harga ekspor terakhir
ke Eropa, 1975, mencapai Rp 1.000/kg.
Tapi pembabatan tengkawang-buah tampaknya akan terus berlanjut
terutama di Kabupaten Kutai, Berau dan Bulungan Penduduk di
daerah utara Bulungan dan hulu Sungai Mahakam sudah sejak lama
mengeluhkan pembabatan itu. Kedua daerah itu 10 tahun lalu masih
sempat panen buah tengkawang-buah. Dalam beberapa tahun
mendatang dikhawatirkan pohon tengkawang-buah terancam punah.
Dinas Kehutanan bukannya tak tahu penebangan liar yang juga
dilakukan para pemegang HPH itu. Hanya kalau sudah bicara
mengenai pengawasan, Kepala Dinas Kehutanan Kal-Tim ir. A. Gani
Abu mengeluh pula soal ketiadaan tenaga dan sarana komunikasi.
Tapi ia juga sempat mengungkapkan penebangan liar itu diatur
para "cukong pengusaha kayu" yang merugikan negara jutaan
rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini