Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tengkawang: Antara Perda Dan SK

Masalah sk gubernur yang bertentangan dengan perda yaitu masalah penebangan buah tengkawang. ketua dprd sukotjo sm. akan minta penjelasan kepada pemda.(dh)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKOTJO SM tercengang. Ketua DPRD Kalimantan Timur ini baru November lalu menemukan sebuah surat keputusan gubernur (SK) yang bertentangan dengan peraturan daerah (Perda) yang lahir sebelumnya. Hebatnya, SK itu sudah 8 tahun umurnya. Perda dan SK itu muncul ketika EIA Wahab Syahranie masih menjadi gubernur di sana sedang Sukotjo belum duduk sebagai ketua DPRD. Bagaimana duduk soalnya, Sukotjo masih akan "minta penjelasan kepada Pemda." SK No.117 tanggal 13 Juli 1971 itu pokoknya mengizinkan menebang dan memperdagangkan semua jenis kayu tengkawang. Harap maklum, kayu jenis ini di sana ada 2 tengkawang-rambut dan tengkawang-buah. Padahal tiga tahun sebelumnya, sudah keluar Perda No. 09/PD/1969 tanggal 24 Juli 1969 yang melarang menebang dan memperdagangkan tengkawang-buah. Isi Perda itu sesungguhnya komplit. Selain melarang penebangan tengkawang, juga melarang menebang pohon jelutung, resak, damar, pohon tempat lebah bersarang, yang menghasilkan buah-buahan yang dapat dimakan, dan pohon induk yang ditunjuk oleh Dinas Kehutanan sebagai pohon pelindung. Bisa dipuji bahwa sejak 1969, di Kal-Tim sudah ada kesadaran akan keseimbangan ekologi. Pungli Brigjen (Purn) Wahab Syahranie, 57 tahun, bekas Gubernur Kal-Tim yang 1« tahun lalu menjadi Sekretaris Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) menelaskan, Perda tersebut "hanya melarang penebangan tengkawang-buah saja." Repotnya, kata Wahab yang berkumis tebal memutih itu, "sulit membedakan kedua jenis kayu tersebut." Berbuah 4 tahun sekali, buah tengkawang-rambut tak bermanfaat apa-apa. Tapi buah tengkawang-buah yang mirip pinang berguna untuk bahan kosmetik, sabun dan mentega. Kalau lagi tidak berbuah, para petugas kehutanan sendiri sulit membedakan yang mana "buah" yang mana "rambut". Dalam daftar, tak jarang tengkawang dicantumkan sebagai meranti putih. Memang sengaja atau lantaran tak tahu. Kalaupun terlanjur ditebang, sebenarnya mudah membedakan mana tengkawang mana meranti. Di atas air, 3/4 bagian kayu tengkawang mengapung. Meski begitu tidak mudah membedakan keduanya. Setelah Perda turun, para eksportir kayu di Kal-Tim banyak mengadu kepada Wahab Syahranie. Mereka mengeluh adanya perbedaan penilaian di antara para petugas kehutanan sendiri dalam menentukan mana yang tengkawangbuah mana yang tengkawang-rambut. "Dan memang penilaian itu sifatnya arbitrer sekali," kata Wahab dua minggu lalu di kantornya di Jalan Merdeka Barat Jakarta. "Saya ingat, waktu itu saya sering diprotes para pengusaha kayu di sana," tambahnya sambil mengepulkan asap cerutu. Maka Wahab pun lalu menurunkan sebuah SK yang bukannya menegaskan pelarangan tapi malah mengizinkan penebangan kayu tengkawang tanpa membedakan jenisnya. Alasan keluarnya SK 117 itu, kata Wahab kemudian, bukan lantaran protes para eksportir dan sulitnya membedakan kedua jenis tengkawang. Tapi terutama, karena sifat penilaian yang arbitrer itu, hingga ia khawatir terbukanya kemungkinan pungli dari para petugasnya. "Saya tidak mau ini terjadi," ujarnya. Bukankah Perda, yang keluar berdasarkan persetujuan antara gubernur dengan DPRD, lebih kuat ketimbang SK yang hanya ditanda-tangani oleh gubernur saja. Tapi Wahab berusaha meyakinkan bahwa SK-nya tidak sembarangan dikeluarkan. "Sebelumnya saya mendapat advis dari Dinas Kehutanan dan berbagai pihak," katanya. Bahkan ketika itu, katanya, juga ada yang memberitahu bahwa di Serawak dan Sabah (Malaysia), Kal-Bar dan Kal-Teng, kedua jenis tengkawang itu boleh ditebang. Seorang pejabat di kantor gubernuran Kal-Tim yang mengurus bagian ekonomi mengungkapkan, lahirnya SK itu dulu dibidani para pemegang HPH waktu itu. Buah tengkawang-buah merupakan salah satu jenis komoditi ekspor yang mampu menyerap tenaga kerja terutama penduduk di pedalaman. Penduduk pedalaman kemudian menjualnya kepada perusahaan. Hadi Sulistio dari PT Sumber Baru misalnya, 5 tahun lalu pernah mengekspor 500 ton buah tengkawang-buah. Harga ekspor terakhir ke Eropa, 1975, mencapai Rp 1.000/kg. Tapi pembabatan tengkawang-buah tampaknya akan terus berlanjut terutama di Kabupaten Kutai, Berau dan Bulungan Penduduk di daerah utara Bulungan dan hulu Sungai Mahakam sudah sejak lama mengeluhkan pembabatan itu. Kedua daerah itu 10 tahun lalu masih sempat panen buah tengkawang-buah. Dalam beberapa tahun mendatang dikhawatirkan pohon tengkawang-buah terancam punah. Dinas Kehutanan bukannya tak tahu penebangan liar yang juga dilakukan para pemegang HPH itu. Hanya kalau sudah bicara mengenai pengawasan, Kepala Dinas Kehutanan Kal-Tim ir. A. Gani Abu mengeluh pula soal ketiadaan tenaga dan sarana komunikasi. Tapi ia juga sempat mengungkapkan penebangan liar itu diatur para "cukong pengusaha kayu" yang merugikan negara jutaan rupiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus