AWAL Januari pemberian pangkat atau akreditasi terhadap SMA swasta seluruh Indonesia boleh diumumkan. Hak mengumumkan diserahkan kepada kantor wilayah (kanwil) P & K setempat. Tapi, hingga pekan lalu, hampir dua bulan berlalu, baru-Kanwil P & K Jawa Timur dan Yogyakarta yang melakukannya. Di kanwil lain, hasil akreditasi menjadi rahasia antara kepala SMA yang bersangkutan dan segelintir pejabat kanwil. Soal rawan? Bisa jadi. Kepala Kanwil P & K DKI Jakarta, misalnya, khawatir kalau diumumkan "bisa meresahkan". Toh, di wilayah Kanwil P & K Jawa Timur, setelah para kepala SMA swasta memberitahukan status sekolah mereka kepada para guru dan murid, tak terjadi apa pun. Hanya di Yogyakarta, 20 Januari lalu, muncul imbauan dari sembilan SMA swasta yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K. Isinya: minta agar berlakunya hasil akreditasi ditangguhkan dulu. Juga, bagi SMA swasta yang pernah melaksanakan EBTA sendiri, agar tahun ini tetap diberi izin melaksanakan EBTA sendiri. Sebab, "prosedur persiapan EBTA sudah mendesak." Lagi pula, beberapa SMA yang harus melaksanakan EBTA secara bergabung belum merasa siap. Soalnya ya, itu tadi - selama ini SMA-SMA itu sudah terbiasa melaksanakan EBTA sendiri. "Kami sudah menyelenggarakan EBTA sendiri 11 kali," kata Djamal M. Prajitno, Kepala SMA Putra Indonesia. Tapi, tampaknya ada udang di balik imbauan. Akhirnya, Pak Djamal berterus terang. Status terdaftar bagi SMA Putra Indonesia dianggapnya bisa "memerosotkan kepercayaan masyarakat kepada kami." Buktinya, begitu para siswa tahu soal status SMA-nya itu, 24 murid kontan mengajukan permintaan pindah sekolah. Untung, Djamal bisa meyakinkan mereka agar tetap tinggal. Tapi, 10 siswa SMA Binatama, jadi pindah. "Wah, masyarakat 'kan lantas bisa menuduh kami tidak becus membina sekolah," ujar Sukadi Hari Sayogo, kepala SMA itu, yang ikut meneken surat imbauan. Selain takut kepercayaan masyarakat akan merosot, kesembilan SMA swasta yang protes itu rupanya merasa pantas untuk mendapat status "diakui', hingga boleh menyelenggarakan ujian sendiri. Sebab, ketika tim penilai datang, "kami belum siap," kata Hidayat, Kepala SMA Yapenas, yang juga ikut teken imbauan. Tim penilai memang datang mendadak. "Kalau sekolah itu baik, 'kan selalu siap kapan saja ada peninjauan," kata Kusdarto dari Kanwil P & K Yogya. Akreditasi menilai tujuh komponen, antara lain administrasi sekolah, pelaksanaan kurikulum ketenaagan dan situasi umum sekoiah - hal-hai yang semestinya diperhatikan setiap saat. Kebanyakan administrasi SMA itu belum rapi - misalnya angka jumlah siswa di sekolah dan di Kanwil P & K berbeda. Tapi, bila saja pihak SMA punya kepercayaan pada diri sendiri, "tentu mereka tak melihat akreditasi sebagai vonis," kata Anwar Jasin, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Selain status masih bisa berubah, juga "sekolah yang rendah statusnya kiui justru yang diprioritaskan mendapat bantuan dari pemerintah." Keresahan itu memang tak berbuntut panjang. Tapi tetap ada yang tak terjawab yang memang tak disinggung SMA-SMA swasta ltU - dan mungkin lebih mendasar persoalannya. Yakni seberapa sah penilaian yang berpegang pada kriteria sekolah negeri. Jelasnya, apakah di luar sistem SMA negeri tak ada sistem yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini