INI benar-benar terjadi. Di Medan baru-baru ini terungkap bahwa 14 guru agama Hindu di sekolah dasar, ternyata beragama Islam dan Kristen. Ceritanya, 23-29 Januari lalu di Medan dibuka penataran guru agama Hindu di SD. Dari 21 guru yang seharusnya serta, hanya hadir 7 orang. Usut punya usut, diketahuilah, ternyata yang absen itu bukan pemeluk Hindu. Untung, para kepala SD bersangkutan cukup bijaksana. Kristiana Meliala, misalnya, seorang Kristen yang mengaku beragama Hindu itu, oleh kepala SD di Jalan Saga, Medan, lantas diserahi tugas "piket mengabsensi semua guru dan mengawasi murid-murid." Ia juga merangkap menjadi pemukul lonceng sekolah tanda masuk, istirahat, dan pulang. Juga Terulin di SD yang lain, kemudian ditugasi kepala sekolahnya menjadi guru kesenian karena dia pintar menari. Ada kecualinya, yakni Nurhayati Warigan di SD Negeri Kampung Anggrung. Pemeluk Islam yang saleh itu tetap mengajarkan agama Hindu lewat buku pegangan dari sekolah, kepada 20 muridnya. Anehnya, tak ada siswanya yang berkeberatan. "Bu Guru tahu juga nama dewa-dewa agama Hindu," kata Rageni, siswa Hindu. Hingga pekan lalu, agaknya belum ada pihak-pihak yang berkeberatan atas ikhwal Nurhayati imi. Semua itu terjadi karena mencari guru agama Hindu - dan juga Budha - sulit. Di Sumatera Utara tercatat hampir 1.150 siswa Hindu. Hanya tersedia 4 guru Hindu yang tetap dan 47 yang tidak tetap sebelum ada pengangkatan 21 guru agama Hindu yang bulan lalu ditatar itu. Teoretis memang cukup - berarti satu guru untuk sekitar 20 murid. Tapi guru-guru itu tak tersebar di semua daerah. Dan, ini masalah yang dialami sekolah pada umumnya, banyak sekolah yang siswa Hindu-nya hanya satu-dua. Jadinya mubazir bila untuk sedikit siswa itu diadakan seorang guru. Tapi bukannya tiada jalan keluar. Di Jakarta, menghadapi persoalan serupa, pihak Yayasan Mandira Widhayaka mengambil inisiatif. Digodok sejak 1974, yayasan itu dua tahun kemudian mendirikan sekolah agama Hindu. Gagasan ini dicetuskan Nyoman Kenak Swadaya, 51. Ada ceritanya. Anak Nyoman Kenak tahun 1974 duduk di kelas I di sebuah SMP di Jakarta. dan dia satu-satunya siswa beragama Hindu. Untuk praktisnya, bapak ini membolehkan anaknya mengikuti pelajaran agama Islam, untuk sekadar mengisi angka rapor. Tapi setelah beberapa kali si anak mengikuti pelajaran, rupanya ia mengalami konflik batin. Keluhannya pada sang bapak misalnya: "agama Hindu dianggap menyembah patung." Sang bapak rupanya tersentuh, lalu mencari ilham, dan seterusnya, berdirilah 13 pasraman (tempat pendidikan agama Hindu) di Jakarta. Sekolah itu tak hanya untuk siswa SMP tapi juga SD dan SMA. Di Pasraman Rawamangun, misalnya, yang bertempat di Pura Hindu Rawamangun, siswa SD masuk pada hari Minggu ganjil, dan SMP-SMA pada hari Minggu genap. Siswa datang dari berbagai sekolah. Pelajaran - yang dimulai dengan bersembahyang, berdiri dengan sikap menyembah, kepala agak menunduk dan mata terpejam, lalu mengucap "Om Swastiastu" - berlangsung sekitar tiga jam. Proses belajar-mengajar terlihat santai. Minggu lalu, ketika Pak Wayan Arimbawa mengajar di sekolah itu, misalnya, para siswa SD dari berbagai penjuru itu duduk dengan longgar, kadang bertanya, kadang sibuk dengan buku yang dbawanya. "Pendidikan agama dimaksudkan membentuk mental, tidak cuma mengerti kaidah, tapi juga mengamalkannya," kata Nyoman Kenak, yang juga kepala SMPN 62 itu. Pun, pelajaran agama Budha di Jakarta bagi siswa SD sampai SMTA diadakan secara gabungan di vihara. Ada sekitar 15 vihara di DKI Jakarta. Di Indonesia, Pendidikan Guru Agama (PGA) Hindu sudah lama ada. Tapi dari 12 PGA Hindu itu, tujuh ada di Bali - daerah yang mayoritas penduduknya beragama Hindu . Dan, repotnya, tabu orang Bali untuk tidak merantau selain ke Jawa, rupanya masih kuat. Dari 3.083 guru agama Hindu untuk SD, 2.594 mengajar di Bali. Padahal, di hampir semua provinsi, menurut data Departemen Agama, ada umat Hindu. Di Sumatera Utara itu, misalnya, ada lebih dari 18.000 pemeluk Hindu. PGA Budha memang hanya ada satu: di Desa Sidamulya, Banyumas, Jawa Tengah, yang berdiri pada 1974. Mula-mula PGA Bu&a Mpu Tantular yang didirikan oleh M. Tjiptowardojo ini berupa kursus. Baru setahun kemudian, menjadi pendidikan formal, dan 1981 diakui oleh Departemen Agama. Terhitung mulai 1981, PGA khusus ini telah meluluskan 109 guru agama Budha. Herannya, banyak ulusan sekolah ini yang menganggur. Misalnya 19 lulusan tahun lalu hingga kini masih tinggal di SidamuIya itu. "Mungkin banyak sekolah belum tahu alamat kami," kata Tjipto, 56. Agama termasuk pelajaran inti. Bila siswa mendapat angka 5, ditanggung tak bakalan naik kelas, meski angka pelajaran lainnya bagus. Tapi, seperti dikatakan beberapa guru agama Hindu dan Budha kepada TEMPO, kenyataannya angka itu tak pernah diberikan. Suparjo, misalnya, guru agama Budha di vihara Avalokiteshvara, Kampung Melayu, Jakarta Timur, memberikan nilai berdasarkan "akhlak si murid, bukan soal pengetahuannya." Dan ia percaya, semua manusia pada dasarnya baik - jadi minimal angka enam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini