EDWARD E. Masters, 53 tahun, Duta besar AS yang baru, termasuk
undangan pemerintah untuk menyaksikan penglepasan tahanan G-30-S
di Tanjung Kasau Selasa pekan ini Tak datang bersama rombongan
Kaskopkamtib Sudomo, sampai di Medan Senin pagi, ia di "cegat "
Fikri Jufri dari TEMPO untuk sebuah wawancara ringkas.
Senangkah Pemerintahan Carter dengan dilepaskannya secara massal
tahanan di Indonesia?
Ya, kami merasa senang dengan kemajuan hak asasi di Inonesia.
Masalah hak asasi memang merupakan masalah yang dasar bagi
Pemerintahan Carter, tapi bagaimana hal itu dilaksanakan di luar
negeri terserah kepada pemerintah masing-masing.
Menurut anda tidakkah hak asasi itu merupakan nilai-nilai Barat?
Saya memandang hak asasi lebih bersifat universil, tapi
tingkatnya memang berbeda sesuai dengan kondisi satu negara.
Jadi anda tak memandangnya sebagai sesuatu yang dicoba diekspor
ke negeri seperti Indonesia ini?
Begini. Sebagai orang Barat saya beranggapan masalah hak asasi
itu sangat penting. Saya tak bisa membenarkan, di mana pun itu
terjadi, bahwa seorang ditahan tanpa ada proses, bahwa seseorang
disiksa di dalam tahanan. Seseorang baru bisa ditahan bila ada
bukti cukup bahwa dia bersalah. Dan kami tentu merasa gembira
bila asas itu bisa dilaksanakan di mana-mana. Tapi sejauh apa
itu dilaksanakan di Indonesia itu adalah masalah dalam negeri di
sini.
Kalau misalnya masalah hak asasi manusia kurang atau tidak
diperhatikan di Indonesia, apakah itu akan bisa mempengaruhi
hubungan kedua negara?
Saya kira belum pada tempatnya bagi saya untuk menjawabnya.
Mungkinkah AS dalam keadaan darurat membekukan hak asasi?
Yah, mungkin, kalau misalnya terjadi satu perang nuklir. Dulu
itu pernah terjadi di tahun 1942, ketika orang keturunan Jepang
di AS pada ditahan (semasa Perang Pasifik - Red.). Tapi itu
bukan hal yang baik dalam sejarah kami. Itu bukan keadilan.
Sekarang pun tak berarti di AS sendiri hak asasi tak lagi jadi
masalah. Misalnya hak-hak minoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini