MUNGKIN ini kemajuan juga. Sielumnya, di Indonesia hanya
Himpunan PBB yang memperingati Hari Hak-hak Asasi Manusia setiap
10 Desember. Tahun ini mahasiswa turut meramaikan suasana, dan
masalah hak asasi manusia jadi topik nasional.
Sabtu pagi 10 Desember mahasiswa Gajah Mada menyelenggarakan
"Mimbar Bebas" di atas rerumputan kampus Bulaksumur. Di
Surabaya, sekitar 1.500 mahasiswa gagal menemui Gubernur untuk
membacakan "Deklarasi Surabaya" yang antara lain menyerukan agar
Pancasila dan UUD 45 dibebaskan dari penyelewengan dan agar
rakyat dibebaskan dari ketakutan. Di Bandung, mahasiswa ITB
memperingati hari itu dengan mengundang dua pembicara, Mahbub
Djunaidi (penulis dan tokoh PPP) dan Sugeng Sarjadi, dulu
demonstran 1966.
Di Jakarta, mahasiswa mencanangkan 6 Desember-6 Januari sebagai
bulan Hak Asasi Manusia. Antara lain sebab "hak asasi manusia di
negeri ini sudah tidak ada lagi, meskipun kita sudah
berteriak-teriak," kata Ibrahim Zakir, wakil ketua umum DM UI.
Termasuk dalam acara mereka adalah mengunjungi Mahkamah Agung
dan Kejaksaan Agung. Tujuan: berdialog dengan pimpinan kedua
lembaga ini. Juga dikunjungi beberapa lembaga pemasyarakatan,
untuk berbicara dengan para tahanan.
Tampaknya usaha mallasiswa yang kali ini menekankan pada masalah
keadilan dan perlakuan yang sama di bidang hukum kurang mendapat
tanggapan dari kedua lembaga ini. Di Mahkamah Agung dialog tidak
berlangsung. Alasan: ketua MA tidak di tempat. Insiden kecil
sempat terjadi di kantor Kejaksaan Agung pekan lalu ketika para
petugas keamanan mencopot kaos beberapa mahasiswa yang
bertuliskan: "Dicari Presiden Indonesia yang Baru".
Ahli hukum tentu tidak mau ketinggalan. Persahi (Perhimpunan
Sarjana Hukum Indonesia) menyelenggarakan panel diskusi tentang
"Perkembangan Hakhak Asasi Manusia di Indonesia Dewasa ini" yang
dihadiri beberapa pentolan hukum kita seperti S. Tasrif, dan
Harjono Tjitrosubono. Hampir seluruh pembicara menyesalkan,
bahwa walau WD 45 menyebut beberapa hak-hak asasi manusia
Indonesia, pelaksanaannya masih sangat terbatas.
Gong pertama sebetulnya dimulai oleh fraksi PDI di DPR ketika
fraksi itu akhir Oktober yang lalu, lewat pen,oicaranya T.A.M.
Simatupang, mengusulkan agar Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB
(1948) diterima sebagai pedoman pengamalan asas-asas pembangunan
dalam Garis Besar Haluan Negara yang akan datang.
Usul ini segera diserang oleh Marsoe si, ketua DPD PDI Jatim
yang kemudian muncul sebagai salah satu ketua DPP PDI tandinam
Ia menudull DPP PDI dengan usuI itu telah membawa "aspirasi
asing bahkan "bertentangan" dengan Pancasiia. Tapi tokoh PDI
lain mengomentarinya: "Itu pernyataan bodoh." Begitulah kata
ketua fraksi PDI Usep Ranawidjaja.
Agak Unik
Fraksi PDI sebetulnya khawatir bahwa Deklarasi ini akan
ditentang keras fraksi PPP karena pasal 18 Deklarasi ini
menyebutkan juga kebebasan setiap orang untuk berpindah agama.
Namun Sudardji dari PPP menegaskan bahwa alasan takut itu tidak
ada, malahan "justru senang dengan adanya kebebasan ganti
agama." Ia rupanya mengemukakan pendapat yang agak unik. Sebab
kepada Budiman S. Hartoyo dari TEMPO, Nuddin Lubis, ketua fraksi
PPP, pekan lalu mengakui bahwa fraksinya tidak menyetujui
beberapa pasal dari Deklarasi tersebut, terrnasuk "hak berpindah
agama."
Jalan buntu yang terjadi dalam sidang Panitia Ad Hoc B di MPR
1977-yang membicarakan usul pemasukan Deklarasi Hak-hak Asasi -
bisa mengingatkan orang tentang nasib Rancangan Ketetapan
(Rantap) MPRS tahun 1968 tentang Piagam Hak-hak Asasi
Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara (lihat box).
Toh masalah hak-hak asasi manusia di Indonesia tampaknya masih
akan ramai sampai Sidang Umum MPR Maret mendatang. Seperti kata
tajuk rencana harian Kompas pekan lalu, "berbagai kelompok
masyarakat mempersoalkan hak-hak asasi jika masalahnya
menyangkut kepentingannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini