Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antusias Dorong Penghapusan Pasal Anti-HAM

Komnas HAM serta masyarakat sipil meminta pemerintah dan DPR menghapus pasal-pasal yang melanggar HAM dalam RKUHP. Pemerintah justru menyarankan agar pihak yang tak menyetujui revisi KUHP menggugat ke MK setelah disahkan.

12 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) menyerahkan draf RKUHP kepada Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah dan DPR diminta tak memaksakan pasal-pasal anti-HAM masuk ke revisi KUHP.

  • Komnas Perempuan menghendaki RKUHP tidak tumpang tindih dengan RUU TPKS dalam urusan kekerasan seksual.

  • Pemerintah menyarankan agar masyarakat yang tak menyetujui hasil revisi KUHP setelah disahkan menggugat ke MK.

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tetap membuka partisipasi publik seluas-luasnya ketika membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pertimbangannya, sebagian kelompok masyarakat tetap menolak draf final RKUHP yang sudah direvisi pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan hingga hari ini sebagian masyarakat masih menolak beberapa pasal dalam RKUHP, khususnya pasal-pasal tentang kebebasan berpendapat. Pemerintah, kata Amiruddin, mesti memahami alasan masyarakat menolaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pada 2019, RKUHP sudah pernah ditolak masyarakat, bahkan sampai turun ke jalan. Begitu sekarang disampaikan lagi ke DPR, ternyata substansinya tidak jauh berbeda dengan 2019,” kata Amiruddin.

Dia melanjutkan, penolakan ini merupakan imbas kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam penyusunan aturan yang belum pulih. Dengan demikian, pemerintah dan DPR semestinya berusaha meningkatkan rasa percaya masyarakat dalam pembahasan RKUHP.

Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab. TEMPO/Magang/Dwi Nur A. Y

Pemerintah, kata Amiruddin, harus menjawab pertanyaan publik perihal pasal-pasal yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat tersebut. Sebab, pasal-pasal yang mengancam kebebasan berpendapat itu dianggap menggerus hak-hak yang dimiliki masyarakat sejak reformasi. Ia mengatakan pemerintah dan DPR masih mempunyai banyak waktu untuk melibatkan masyarakat dalam merevisi KUHP.

Rabu pekan lalu, pemerintah menyerahkan draf final RKUHP kepada DPR. Isi draf final tersebut tak jauh berbeda dengan hasil pembahasan RKUHP oleh DPR pada 2019. Draf itu tetap memuat pasal-pasal kontroversial yang sudah ditolak berbagai kalangan masyarakat pada 2019. Saat itu, Presiden Joko Widodo merespons penolakan tersebut dan meminta pengkajian ulang berbagai pasal bermasalah.

Dalam draf final RKUHP, pemerintah hanya menyoroti 14 isu krusial. Pasal-pasal tentang pidana penjara bagi penghina presiden dan wakil presiden, pejabat negara, dan lembaga negara; serta pembatasan unjuk rasa tetap tercantum dalam RKUHP.

 

 

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga meminta DPR serta pemerintah memastikan pembahasan RKUHP berlangsung transparan dan partisipatif bagi masyarakat. Berdasarkan pengkajian Komnas Perempuan, setelah membaca draf RKUHP, masih terdapat sejumlah pasal yang dianggap melanggar HAM. Misalnya, pasal-pasal tentang hukuman mati.

“Dalam kasus perempuan terpidana mati, hampir seluruhnya bukan pelaku utama. Sebagian besar dari mereka adalah korban kekerasan berbasis gender, termasuk eksploitasi seksual yang kemudian dimanfaatkan dalam perdagangan narkotik,” ujar dia. “Pemenuhan keadilan dan pemulihan untuk korban tidak dapat dipenuhi dengan pidana mati.”

Komnas Perempuan juga meminta pengharmonisan RKUHP dengan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu dengan memasukkan tindak pindana kekerasan seksual ke tindak pidana khusus. Harmonisasi tersebut bisa menegaskan bahwa korban kekerasan seksual yang diatur dalam RKUHP dapat mengakses hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang diselenggarakan sebelum, selama, ataupun setelah putusan peradilan pidana sesuai dengan jaminan dalam UU TPKS.

“Kami meminta adanya kepastian bahwa unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam RKUHP tidak tumpang-tindih dengan UU TPKS,” katanya.

Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Andi Muhammad Rezaldy, mengatakan lembaganya sudah memperkirakan pasal-pasal yang bermasalah tetap dipaksakan masuk RKUHP. Pasal-pasal bermasalah yang dimaksudkan seperti pidana penjara atas penghinaan terhadap presiden dan demonstrasi tanpa pemberitahuan. “Jika pasal-pasal tersebut dipertahankan, saya pikir hal itu dapat berdampak pada proses demokratisasi, yang akan mengalami kemunduran,” kata Andi.

Andi juga mempertanyakan sikap Kementerian Hukum dan HAM yang cenderung tertutup serta enggan membuka draf RKUHP hasil revisi mereka. Padahal, sebelum draf itu diserahkan kepada DPR, Kementerian Hukum dan HAM seharusnya menerima dan mempertimbangkan masukan masyarakat sipil. Lalu masukan tersebut dapat menjadi pijakan dalam mengubah atau menghapus pasal-pasal bermasalah.

“Proses-proses seperti ini memperlihatkan bahwa pemerintah seperti membangun jarak dan tembok yang tebal dengan kelompok masyarakat sipil,” ujar Andi.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR untuk membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Juli 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej membantah tuduhan bahwa pembahasan RKUHP berlangsung tertutup. Ia mengklaim RKUHP yang sudah diserahkan ke Senayan telah dibahas tuntas oleh DPR periode 2014-2019 dan sudah melibatkan partisipasi publik. Daftar inventarisasi masalah pada saat itu, kata dia, berasal dari masyarakat sipil.

“Jadi, tidak benar kalau pemerintah dan DPR tidak melibatkan publik. Kami punya dokumentasi sebagai bukti yang sangat lengkap perihal partisipasi publik saat pembahasan periode 2014-2019,” kata Edward. “RKUHP juga ada sejak 1963 dan sudah berkali-kali dibahas.”

Menurut dia, pembahasan RKUHP kali ini bersifat carry over. Artinya, tidak akan dibahas ulang. Hanya 14 isu krusial yang bakal dibahas. Ia menjamin pemerintah dan DPR pasti melibatkan publik dalam pembahasan RKUHP yang telah disempurnakan pada pertengahan Agustus mendatang. “RKUHP akan disahkan dan, jika ada yang mengganjal, silakan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil maupun formil,” kata Edward.

IMAM HAMDI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus