Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pimpinan DPR belum memutuskan metode penyusunan UU Politik.
Belum ada diskusi membahas metode omnibus law politik dalam mengubah UU Pemilu.
DPR masih bisa mengakali putusan penghapusan presidential threshold.
PUAN Maharani memastikan komisi bidang pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Ketua DPR itu mengatakan pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan dilakukan secara bertahap, yaitu melalui rapat pimpinan DPR, Badan Musyawarah, dan pembahasan di komisi bidang pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi prosesnya nanti akan masuk ke Komisi II DPR. Sepertinya akan ada agenda rapat-rapat, mungkin itu di lingkup internal Komisi II,” kata Puan di gedung DPR, Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puan belum menyebutkan metode yang digunakan DPR dalam membahas perubahan presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu. Ia hanya mengatakan terdapat 41 rancangan undang-undang prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, termasuk revisi Undang-Undang Pemilu.
DPR baru memulai sidang kemarin setelah melakukan reses selama satu bulan. Saat reses itu, menggelinding keinginan Komisi II DPR untuk membuat omnibus law paket Undang-Undang Politik. Omnibus law Undang-Undang Politik ini akan menggabungkan minimal tiga undang-undang menjadi satu, yaitu Undang-Undang Pemilu; Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah; serta Undang-Undang Partai Politik.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda sudah bersurat kepada pimpinan DPR dan Badan Legislasi (Baleg) mengenai rencana komisinya menyusun paket Undang-Undang Politik secara omnibus pada 30 Desember 2024. Sampai saat ini pimpinan DPR belum menjawab surat komisi bidang pemerintahan tersebut.
Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan komisinya belum menerima keputusan pimpinan DPR mengenai rencana penyusunan omnibus law Undang-Undang Politik. Tapi politikus Partai Demokrat ini mengatakan Baleg yang sesungguhnya mendorong pembuatan Undang-Undang Politik menggunakan metode omnibus. “Kami maunya terpisah. Kami sih berharap menggunakan kodifikasi sesuai dengan rezimnya,” kata Dede Yusuf, Selasa, 21 Januari 2025.
Wakil Ketua Baleg Ahmad Doli Kurnia membenarkan bahwa dia yang mendorong penyusunan omnibus law UU Politik. Tapi politikus Partai Golkar ini menyangkal adanya perbedaan pendapat antara Baleg dan Komisi II mengenai metode pembahasan tersebut.
Ia berpendapat bahwa tidak ada masalah dengan penyusunan Undang-Undang Politik menggunakan metode omnibus ataupun kodifikasi atau penggabungan undang-undang. “Paket Undang-Undang Politik itu asal dibahas dulu,” ujar Doli.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pimpinan DPR dan Badan Musyawarah memang belum membicarakan rencana penyusunan UU Politik. “Sehingga saya belum bisa menjawab pertanyaan ini,” ucap Dasco.
Ketua Harian Partai Gerindra ini mengatakan Baleg bisa saja mengharmonisasi rancangan undang-undang tentang politik lebih dulu, lalu menyerahkannya kepada Komisi II. Tapi Dasco belum memastikan mekanisme penyusunan paket Undang-Undang Politik tersebut.
Sebelumnya, pimpinan Komisi II DPR sudah membahas rencana tersebut secara informal. Seorang pemimpin komisi bidang pemerintahan ini mengatakan hasil diskusi itu belum menyepakati prosedur yang akan digunakan komisinya dalam menyusun Undang-Undang Politik. Mereka berkutat pada beberapa opsi, yaitu menggunakan metode omnibus law, kodifikasi, atau membahas revisi sejumlah undang-undang secara terpisah.
Petugas KPPS TPS 59 Kelurahan Bedahan saat proses penghitungan suara pemilihan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024 di Depok, Jawa Barat, 14 Februari 2024. TEMPO/Amston Probel
Agenda perubahan Undang-Undang Pemilu merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu. Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi meminta pembuat undang-undang merekayasa konstitusi agar semua partai politik mempunyai kesempatan yang sama dalam mencalonkan pasangan calon presiden-wakil presiden, tapi sekaligus menghindari jumlah calon presiden yang terlalu banyak. Mahkamah Konstitusi juga meminta pembuat undang-undang melibatkan partisipasi publik yang bermakna dalam pembahasan tersebut.
Rencana revisi Undang-Undang Pilkada juga dilakukan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tahun lalu. Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Undang-Undang Pilkada. Penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah ini sudah dipedomani Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan pilkada serentak 2024, meski undang-undangnya belum diubah.
Di ujung masa jabatan DPR periode lalu, mereka sudah menyepakati perubahan UU Pilkada pada tingkat pertama. Tapi hasil kesepakatan tersebut menyimpang dari putusan Mahkamah Konstitusi. DPR batal mengesahkannya dalam rapat paripurna karena menuai penolakan berbagai kalangan.
Sufmi Dasco Ahmad mengatakan setiap fraksi di DPR tengah menyusun bentuk rekayasa undang-undang untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia mengatakan DPR secara prinsip sepakat bahwa jumlah pasangan calon presiden-wakil presiden tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit.
Setelah fraksi-fraksi merumuskan konsep mereka, kata Dasco, pandangan mereka akan disatukan. Ia optimistis Koalisi Indonesia Maju—gabungan partai politik pendukung Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024—akan memiliki satu pola mengenai hal ini. “Nanti akan ada yang disepakati bersama soal hasil rekayasa konstitusi itu,” kata Dasco.
Anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aria Bima, mengatakan fraksinya masih mempertimbangkan bentuk rekayasa konstitusi yang direkomendasikan oleh Mahkamah Konstitusi. Ia mengatakan partainya tidak ingin regulasi berjalan demokratis secara prosedural, tapi tak substantif.
“Rekayasa konstitusi dipikirkan. Implementasi dengan kebutuhan kinerja,” ujarnya.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, mengatakan putusan Mahkamah Konsitusi mengenai penghapusan ambang batas pencalonan presiden merupakan substansi yang tidak boleh dilewatkan oleh DPR dan pemerintah dalam menyusun paket Undang-Undang Politik. Palguna mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi itu sesungguhnya ingin menyatakan bahwa sistem banyak partai tidak kompatibel dengan sistem pemerintahan presidensial. Tapi, karena konstitusi tidak memberikan pembatasan jumlah partai politik, harus dilakukan rekayasa konstitusi untuk mempertemukan keduanya. Dengan demikian, pada suatu saat nanti diharapkan terjadi penyederhanaan partai politik secara alamiah.
“Partai politik semestinya merespons constitutional engineering dalam pertimbangan hukum putusan MK itu sebagai seruan agar partai-partai sungguh-sungguh mulai mentradisikan prinsip-prinsip meritokrasi,” kata anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-2004 ini.
Bendera partai politik memenuhi pagar pembatas jalan layang di Senen, Jakarta, 18 Januari 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Pengajar hukum tata negara di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi sudah memberikan pedoman bagi pembuat undang-undang dalam merevisi Undang-Undang Pemilu. Ia mengatakan rambu-rambu yang dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi sudah sangat terang dan tidak mungkin disimpangkan oleh aturan yang lebih rendah, misalnya peraturan pemerintah. Tapi pembuat undang-undang dapat mengakali dengan berbagai ketentuan dalam perubahan undang-undang.
Ia mencontohkan, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, dalam mengusulkan pasangan calon presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik tersebut tidak menyebabkan dominasi sehingga jumlah pasangan calon presiden peserta pemilu menjadi terbatas. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden akan dikenai sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
“Dua perintah MK tersebut sejatinya menghendaki tidak terjadinya aksi borong partai atau skenario membatasi pilihan pemilih dengan membentuk koalisi gemuk yang bisa berdampak pada pelemahan sistem presidensial karena lemahnya kekuatan penyeimbang kontrol atas kekuasaan,” ucap Titi.
Ia melanjutkan, pembuat undang-undang bisa saja mengakali putusan Mahkamah Konstitusi itu dengan jalan melakukan cara-cara baru untuk menghambat kompetitor potensial dalam pemilihan presiden. Misalnya, memperberat atau mempersulit syarat bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu serta memperberat syarat pencalonan presiden, baik tentang pendidikan, kesehatan, maupun persyaratan teknis lain.
Titi menyarankan DPR mengatur mekanisme partai politik peserta pemilu sehingga tidak asal-asalan dalam mengusulkan pasangan calon presiden. Partai politik harus memastikan calon yang diusung lahir dari proses rekrutmen yang demokratis. Misalnya, calon diputuskan melalui pemilihan atau keputusan internal partai yang dilakukan secara inklusif dan demokratis.
“Apalagi sekadar diputuskan oleh elite-elite partai secara eksklusif. Calon yang diusulkan bukan sebatas punya popularitas dan isi tas,” katanya. ●
M. Raihan Muzakki berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo