TERLAHIR sebagai Teng Hay dan baru berumur 32 tahun, sang biksu
berasal dari Bangka. Menjadi samanera di bawah Jinarakkhita
tahun 1968. Tahun 1973 ditahbiskan sebagai biksu di Hongkong,
dan kepergiannya ke sana -- bersama dua orang lain diantar oleh
Jinarakkhita. Sampai 1976 memimpin upacara di vihara Ceya
Dhanagun di Bogor itu. Menurut Bikkhu Surya, vihara tersebut
"50% milik Jinarakkhita."
Di tahun 1976 diadakan peraturan, kalau mau mengadakan upacara
harus ada izin Jinarakkhita. Latihan silat (yang menurut sang
biksu sebenarnya atas permintaan Yayasan), dihentikan.
Sembahyangan dibatasi sampai jam 7 malam, dengan alasan
peristiwa Sawito dan Pemilu. "Karena pembatasan-pembatasan itu,
saya keluar di bulan Oktober," katanya kepada Bachrun Suwatdi
dari TEMPO.
Setelah itu, menurut Bikkhu Surya pula, yang sembahyang di
vihara tersebut makin berkurang. Bikkhu Surya, yang lalu tinggal
di Jakarta, mengumpulkan sumbangan -- dan didapatlah izin baik
dari Departemen Agama maupun Walikota Bogor buat mendirikan
Vajra Bodhi di kota itu -- "sebab pengikut saya kebanyakan di
Bogor," katanya.
Ada yang mengatakan sumbangan tersebut juga dari luar negeri.
Tidak satu sen dari luar negeri. Kecuali patung Awalokiteshwara.
Benarkah upacara anda berlainan dari yang lain-lain?
Tidak. Seperti juga yang saya lakukan dulu di Vihara Cetya
Dhanagun, walau pun aliran saya dan Maha ayaka (Jinarakkhita)
mungkin berbeda. Bahkan dulu saya juga memimpin upacara orang
Therawada.
Kenapa Sangha Agung tidak setuju?
Sangha Agung terdiri dari berbagai aliran.
Menurut Jaksa Bogor anda tidak menerima doktrin Ketuhanan Yang
Maha Esa. Saya percaya Tuhan Yang Maha Esa. Yang saya tidak
setuju adalah doktrin bahwa 'Sang Hyang Adhi Budha' adalah Tuhan
dalam Agama Budha. Pernah murid Sang Budha bertanya soal Tuhan,
dijawab: Tuhan tidak bisa dicapai fikiran manusia. Apalagi saya,
manusia biasa. Kata-kata "Sang Hyang" itu bikinan sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini