Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati batal merampungkan program magisternya di luar negeri, Albert Kristian, 30 tahun, tak berkecil hati. Pengajar mata kuliah ramalan bisnis dan manajemen proyek di Universitas Satya Wacana, Salatiga, ini cukup bangga menuntut ilmu bisnis di kampus negeri sendiri. Tepatnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Soalnya, sejak akhir 2006 lalu, Fakultas Ekonomi UGM menjadi anggota The Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB) International. Pendiri lembaga swasta ini adalah sejumlah universitas besar di Amerika yang menggelar pendidikan bisnis. Di antaranya Universitas Harvard, Chicago, Ohio State, Cornell, Pennsylvania, dan Northwestern.
Lembaga ini bertujuan mengembangkan kualitas pendidikan manajemen, bisnis, dan akuntansi yang diajarkan di sekolah bisnis atau perguruan tinggi, mulai dari strata satu sampai program doktoral. Setelah diterima menjadi anggota AACSB, tinggal selangkah lagi FE-UGM memperoleh akreditasi AACSB internasional. ”Ini semacam pengakuan internasional,” kata Ainun Na’im, sang dekan. ”Mereka hanya memberikan kepada universitas dan fakultas yang layak.”
Juru bicara Departemen Pendidikan Nasional, Bambang Wasito Adi, menjelaskan akreditasi merupakan pengakuan terhadap kelayakan dan kom-petensi lembaga dan lulusannya. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pun sudah menggariskan akreditasi sebagai prasyarat minimal bagi penyelenggara pendidikan tinggi. ”Pengajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Maka, perlu ada pengakuan atas kompetensi,” katanya.
Di dalam negeri, akreditasi program studi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Tapi pengesahan lokal itu dianggap tak cukup ketika lulusannya harus berhadapan dengan standar internasional. ”Perlu pengakuan dari organisasi profesi lain,” ujar Bambang.
AACSB sendiri bukan satu-satunya lembaga pemberi akreditasi internasional. Ada sejumlah lembaga lain yang memberikan akreditasi bagi sekolah dan pendidikan bisnis. Salah satunya European Foundation for Management Development, yang didirikan warga Eropa. Namun, sejauh ini AACSB masih tepercaya karena standarnya yang tinggi.
Tengoklah antrean pendaftaran akreditasi di situs resminya, http://www.aacsb.edu. Pada 2006 lalu, setidaknya ada 540 institusi yang mendaftarkan diri untuk diakreditasi lembaga yang bermarkas di Tampa, Florida, Amerika Serikat, ini. Dari jumlah itu, baru 16 kampus yang telah dinyatakan lolos akreditasi. Sebagian lainnya baru diterima menjadi anggota untuk mengikuti proses akreditasi.
Kampus-kampus yang lolos seleksi tahap pertama akan menjalani evaluasi. Penelaahan itu meliputi seluruh program pendidikan, ruang lingkup program, kualifikasi akademik, profesionalitas staf pengajar dan peneliti, juga etika para lulusannya. Proses ini bisa memakan waktu 1-2 tahun. Tapi bisa juga sampai 7 tahun. ”Ada 21 kriteria standar AACSB yang harus dipenuhi,” kata Jerry Trapnell, kepala kantor akreditasi lembaga tersebut.
Lantaran standar yang tinggi, tak banyak kampus yang lolos seleksi. Di Asia, sejauh ini hanya sekolah bisnis dari Universitas Nasional Singapura yang telah mendapat akreditasi. Di Australia, hanya Melbourne School of Business dan University of Technology, Sydney, yang lolos.
FE-UGM beruntung menjadi perguruan tinggi negeri pertama di Indonesia yang menjadi anggota asosiasi ini. Proses menjadi anggota itu sudah diajukan setahun lamanya. ”Kami mengajukan bulan Maret. Agustus, kami ajukan lagi aplikasi uji kelayakan dan laporan kondisi kampus. Baru pada akhir Desember, permohonan kami diterima,” ujar Ainun.
Dalam waktu dekat, utusan AACSB, Profesor Michael Tearney dari Associate School of Business, Universitas Kentucky, akan mempelajari dan mengevaluasi program bisnis FE-UGM. Kualifikasi dosen, antara lain, akan ditelaah. Secara akademik, apakah dia aktif mengembangkan ilmu pengetahuan ekonomi dan bisnis serta mengamati fenomena yang ada. Secara profesional, apakah dia aktif dalam organisasi profesi, menjadi konsultan bisnis, dan lainnya.
Kendati prosesnya sulit, Ainun optimistis ketiga jurusan di FE-UGM, yaitu manajemen, akuntansi, dan ilmu ekonomi studi pembangunan, bisa diakreditasi. Apalagi sejak 1996, mereka kerap mengikuti kompetisi untuk mendapatkan hibah Quality of Undergraduate Education, yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan.
Saat ini FE-UGM juga membuka kelas internasional dan program internasional. Pada program internasional, 95 persen mata kuliah disampaikan dalam bahasa Inggris. Materinya juga kon-tekstual dengan masalah internasional. Tiap semester ada 10-15 mahasiswa asing yang mengikuti program tersebut. ”Kami juga mengirim 5-10 mahasiswa ke sejumlah kampus di luar negeri,” ujar Ainun.
Selain pengajaran dalam bahasa Inggris, FE-UGM pun aktif menggelar workshop, seminar, dan pertemuan tahunan sebagai sarana menjaga mutu. Mereka tampak tak menyembunyikan ambisi untuk bisa duduk seja-jar dengan sejumlah universitas terkemuka di dunia. ”Target kami,” kata Ainun, ”menjadi fakultas ekonomi kompetitif di Asia Tenggara pada 2013.”
Sebenarnya FE-UGM bukan satu-satunya kampus di Indonesia yang menjadi anggota AACSB. Pada 2003, Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulia, Jakarta, sudah lebih dulu menjadi anggota dan sampai sekarang masih menjalani proses akreditasi. ”Kami mendaftar ke AACSB karena sekolah bisnis dan manajemen yang berkembang sekarang berasal dari sana,” kata Djisman Simanjuntak, Direktur Eksekutif Prasetya Mulya.
Kendati agak terlambat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tak mau ketinggalan. Akhir tahun lalu mereka telah mengajukan lamaran ke AACSB. Wakil Dekan FE-UI, Siddarta Utama, mengakui akreditasi dari lembaga internasional semacam AACSB cukup penting, tapi bukan satu-satunya cara agar program pendidikan bisnis mereka diakui berstandar internasional. ”Tanpa akreditasi pun, kalau kualitasnya sudah dikenal bagus, ya, tetap sama,” ujarnya.
FE-UI, menurut Siddarta, sejauh ini juga telah berusaha mengikuti standar internasional. Sudah beberapa tahun ini, misalnya, mereka bekerja sama dengan sejumlah universitas yang mendapat akreditasi dari AACSB. Mereka juga menggelar sejumlah program berskala internasional, baik untuk jenjang strata satu maupun magister in business administration (MBA). Program-program itu dianggap dapat mendongkrak kualitas lulusan kampus Indonesia, yang jauh tertinggal dibanding lulusan luar negeri.
Di luar urusan mendongkrak mutu, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM, Andi Ilham Said, berpendapat akreditasi bisa menguntungkan dari sisi pemasaran. Terutama untuk meningkatkan citra dan daya tarik perguruan tinggi sebagai institusi berkualitas internasional.
Apakah kelak lulusannya bisa lebih diterima di dunia bisnis? Andi tak yakin sepenuhnya. ”Tergantung kualifikasi pada uji kompetensi yang dilakukan saat tes kerja,” ujarnya. Jadi, semua kemungkinan untuk berhasil atau gagal terpulang ke pundak si mahasiswa sendiri.
Widiarsi Agustina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo