PIDATO Mukti Ali, pada acara serah terima 31 Maret dengan
menteri agama yang baru, pendek saja. Pada pokoknya mengucapkan
terimakasih kepada Presiden yang sudah memberinya kesempatan
kerja selama 6,5 tahun. Lalu terimakasih kepada seluruh
karyawan. Lalu ucapan selamat bekerja.
Pidato Alamsyah Ratu Perwiranegara, penggantinya, hanya sedikit
lebih panjang. Pada pokoknya menyiratkan penghargaan kepada
kerja menteri yang digantikannya. Lalu niat merampungkan
mana-mana yang belum rampung. Lalu pernyataan keterbukaan diri,
dan ajakan untuk menegur dia kapan saja ada tindakan kurang
benar.
Widi Yarmanto dari TEMPO mencatat, suasana serah-terima yang
juga dihadiri Menko Kesra Surono itu terasa formil dan boleh
dibilang dingin. Suasana haru memang selayaknya meliputi setiap
pergantian di beberapa Departemen. Tapi mungkin juga setengah
orang memperkirakan, bahwa tugas menteri yang diganti ini
sebenarnya belum boleh dibilang rampung fondasi beberapa
bangunan baru mungkin belum boleh dibilang kukuh.
Departemen Yang Angker
Mukti Ali, doktor Ilmu Perbandingan Agama yang mendapat gelar
profesor beberapa saat menjelang pelantikannya, dulu membuat
banyak orang terkejut untuk berada di sebuah departemen yang
terhitung raksasa. Sebagai menteri agama pertama yang tidak
biasa dipanggil kyai plus haji alias KH, ia banyak diharap orang
untuk dapat merobah setidak-tidaknya wajah departemen yang
"angker" itu.
Bukan karena Mukti Ali tak pernah memakai peci, tentu. Tapi
karena orang pesantren yang lulusan universitas Barat ini
diharap--misalnya oleh orang seperti Arief Budiman --mampu
menopang ide-ide pembaharuan. Paling sedikit: menghidupkan kesan
lain untuk sebuah departemen, yang selama berpuluh tahun
menampakkan alam fikiran tertentu yang menyebabkan orang
kehilangan nafsu untuk berdialog.
Dan semangat berdialog, dalam arti keterbukaan seperti Ali
Sadikin, misalnya saja, memang ternyata tak muncul. Menteri ini,
dengan kepercyaan yang penuh kepada diri sendiri, ternyata
seorang administrator yang banyak akal dan cukup keras--meski ia
sendiri lebih menganggap dirinya seorang guru. "Background saya
ini pendidikan," katanya kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO
minggu lalu, "dan hal ini bahkan saya bawa ke kantor. Sikap saya
di kantor seperti guru. Penyakit saya kemudian: selalu kasih
khotbah. Seorang guru itu," lanjutnya, "idenya dianut atau
tidak, atau baru akan dianut 50 tahun lagi, itu tidak soal.
Pokoknya telurkan ide, itu sudah satu kenikmatan" ....
Betapapun, dengan bakatnya yang guru - administrator - penggemar
- ide, ia berhasil menghembuskan suasana yang lain.
Departemennya, misalnya,tidak lagi terkesan sebagai gedung
inkwisisi, yang menjatuhkan hukuman atas nama agama model abad
pertengahan Eropa--seperti yang dulu tercermin dari tindakan
Departemen Agama dalam kasus majalah Sastra maupun pelarangan
buku ilmiah Prof. Dr. Slamet muljana tentang sejarah kerajaan
Islam di Nusantara.
Memang hampir saja Menteri terlibat dalam kasus film The
Message--ketika ia, menuruti arus yang waktu itu sedang pasang,
dikabarkan bilang "tidak" pada film Islam itu. Untung saja tidak
lebih jauh lagi. Tetapi bahkan organ-organ Departemen yang
berhubungan dengan 'kepercayaan', dirobah namanya dari yang
berbau 'pengawasan' kepada 'penelitian.
Hal yang paling terasa dari periode Mukti Ali justru: berubahnya
Departemen Agama dari cirinya sebagai "departemen ideologi".
Benar bahwa ia--setelah di hari-hari pertama berhubungan dengan
Jaksa Agung dalam usaha 'pembersihan' di departemennya, yang
dikenal sebagai salah-satu markas korupsi --melakukan banyak
mutasi: menyingkirkan para pejabat penting di pusat, daerah dan
juga IAIN, yang dinilai lebih banyak berorientasi kepada partai.
Tapi juga terbukti kemudian bahwa tenaga-tenaga non "non-partai"
yang diambilnya adalah anak-anak muda (sebagian memang boleh
dibilang begitu, khususnya para bekas mahasiswanya) yang dengan
segera menawarkan berbagai macam ide yang rupanya sudah
terpendam lama dan segar--dan menjadikan departemennra sinkron
dengan "semangat teknokratis," dalam apa yang suka disebutnya
dahulu dengan slogan "mesin pembangunan." "Kalau ternyata
ide-ide pembaruan yang saya kemukakan tidak dapat diikuti dan
dilaksanakan staf saya, terpaksa mereka itu diganti" --ucapan
ini dimuat Sinar Harapan bulan Oktober 1971.
Di hari timbang terimanya sendiri dahulu ia sudah berkata:
"Sebagai seorang yang berkecimpung di bidang ilmiah, saya akan
melihat segala sesuatu menurut adanya. Saya tidak dapat
mengatakan meja ini kursi. Meja ini meja." Ia menjanjikan
obyektivitas keilmuan sebagai semangat kerja. Dan bila kemudian
Departemen Agama bergerak mendekati kalangan pengetahuan,
seperti LEKNAS atau lainnya, oran sudah dibikin tak heran.
Berbagai prasangka dalam masyarakat antara satu golongan dengan
lainnya memang bisa diusahakan diterangi dengan semangat
penyelidikan ilmiah --sementara sejak ceramahnya di Goethe
Institut, hanya beberapa hari sebelum ia dilantik dahulu, ia
mengemukakan anggapannya tentang makin dekatnya ilmu-ilmu sosial
dan agama.
Kelompok-Kelompok
Maka proyek-proyek penelitian pun dbangun sambil
merevitalisasikan lembaga IAIN dan mendidik para calon peneliti
obyektif. Berbagai hasil riset yang mulai muncul diharap pada
gilirannya mempengaruhi pemberian kurikulum di lembaga
pendidikan Islam--untuk berikutnya merubah beberapa asumsi, yang
plus maupun yang minus.
Ia sendiri memformulir alasan untuk usahanya menjembatani
beberapa kalangan. Sebagai hasil pendidikan yang berbeda,
katanya di rumah jabatan yang segera akan ditinggalkannya, ada
dua kelompok. Pertama: kalau tidak anti agama, ya tidak kenal
agama. Dan kedua yang boleh dikatakan hanya agama saja. Dari
kedua kelompok ini akan lahir para pemimpin Indonesia - "padahal
dua kelompok ini tidak bisa bertemu. Bahkan cara berpakaiannya
lain, leluconnya pun lain."
Maka di hari-hari pertama ia menengok ke pesantren (dan dalam
hal ini ia tidak bisa dikatakan sukses besar, untuk tawarannya
berupa pengajaran ketrampilan dan kepramukaan dengan bantuan
Departemen-Dcpartemen Pcrtanian dan Perindustrian) dan ke
madrasah.
Dalam hal madrasah, ada Surat Keputusan Bersama (SK) tiga
menteri (Agama, P & K dan Dalam Negeri) yang menjembatani
dunia pendidikan ini dengan dunia sekolah umum, tahun
1975.Menyusuli pemberian pengajaran agama di sekolah umum, dari
SKB itu ditetapkan pemberian pengajaran umum di madrasah
sekurang-kurangnya 55% (dalam SKB disebut: pengajaran agama
sekuran-kurangnya 30%).
Dengan ketentuan itu dimaksud agar anak lepasan madrasah tidak
lagi "ditakdirkan" untuk tidak bisa ikut ujian sekolah umum yang
lebih tinggi, misalnya buat mengejar kesempatan kerja yang sama.
Sebab memang, selain sebenarnya hanya sedikit orang yang
memasukkan anaknya ke madrasah dengan tujuan menjadikannya kyai
(biasanya sekedar memberinya pendidikan agama supaya hidup
benar), juga jumlah sekolah umum sendiri tidak akan cukup tanpa
bantuan swasta antara lain madrasah dan pesantren.
Usaha pembenahan perihidup mayotitas penduduk juga dilakukan
melalui Undang-Undang Perkawinan, yang sebenarnya sudah sejak 18
tahun diperjoangkan - dan akhirnya berhasil keluar tanpa satu
ayat pun bertentangan dengan agama Islam atau lainnya.
Dalam pada itu Majelis Ulama berdiri, 1976. "Dua tahun saya
'turut' berusaha membentuknya," kata Mukti Ali - sebab rupanya
usaha menjembatani kalangan ulama dan pemerintah (fungsi MU
antara lain) tidak semuanya lancar. Tetapi Mukti lantas menilai
kehidupan keagamaan makin membaik: beberapa hal dilihatnya makin
saling mendekat. "Orang intelek tak malu-malu lagi bicara soal
agama," misalnya. Yang juga penting: jembatan pergaulan antar
agama, yang sejak hari-hari awal diusahakan lewat musyawarh
antar agama yang banyak dikritik orang sebagai hanya basa-basi.
Menteri Agama yang baru sendiri, Alamsyah, menyatakan bahwa
kerukunan beragama sudah jauh lebih baik.
Dan sekarang memang tinggal urusan Alamsyah. Menteri--yang baru
ini, menyinggung apa yang telah dilaksanakan menteri yang
digantikannya, berkata dalam serah terima: "Persoalan kenegaraan
tak akan ada rampungnya. Karena itu, bila saya menemukan ada
yang belum rampung akan saya teruskan dengan jiwa, hati-nurani
dan Pancasila," katanya.
Dan sesungguhnyalah tak terlalu sulit untuk mencari mana yang
belum rampung. Di samping semangat ilmiah dan proyek-proyek
penelitian sosial yang masih terlalu mudah untuk mati (karena
memang hal baru), orang juga melihat penyelesaian penyelewengan
(di bidang guru agama, di kalangan KUA, misalnya) yang belum
tentu. Setengah orang juga menggunjingkan pembiayaan MT: bukan
soal korupsi, melainkan penghamburan -- sementara Mukti Ali
pernah menyatakan bahwa biaya yang besar itu, yang menurut orang
lebih baik digunakan untuk proyek-proyek bermanfaat, toh tak
akan pernah terujud bila MTQ dihentikan.
Masalah Haji
Alamsyah sendiri, kepada Bastari Asnin dari TEMPO mengungkapkan
masalah haji (satu soal yang sampai menyebabkan Mukti Ali dulu
menemui Ali Sadikin yang melontarkan kritik keras). Menurut
Mukti Ali kini, urusan haji sudah makin baik. Adapun Alamsyah
masih menyebut soal syekh-syekh haji di Mekah. Menteri memandang
masalah haji harus ditangani orang yang paling sedikit tahu soal
ekonomi --kalau bukan ekonom.
Meski begitu Menteri Agama (dan menarik: juga Mukti Ali)
sama-sama tak melihat kemungkinan tarif ONH diturunkan. Menteri
sendiri menyatakan bermaksud menjelaskan hal ini kepada umat
Islam pada waktunya.
Akankah menteri baru ini (yang tampaknya juga tidak terlalu
biasa memakai peci, dan menurut seorang ajudannya sudah sejak
lama punya kebiasaan melakukan sembahyang sunnat dhuha) mengubah
wajah Departemen Agama menjadi yang lain lagi? Mukti Ali adalah
menteri pertama yang bukan 'kyai lapangan'. Dan sekarang, "mau
apa jenderal ini datang?", kata Menteri sendiri dalam pidato
serah-terima, menerka-nerka pertanyaan yang mungkin hinggap di
kalangan karyawan. Jawabnya: ' Saya dipilh dan ditunjuk untuk
melanjutkan landasan yang sudah ada."
Landasan yang mana, belum jelas. Tapi segala hal positif yang
dikerjakan Menteri di hari-hari mendatang, tentulah semata
merupakan amal ibadah Alamsyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini