Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Wajah Yang Berubah (-Rubah ?) Wajah Yang Berubah (-Ubah ?)

Profil eks Menteri Agama Mukti Ali dan penggantinya, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Mukti Ali adalah seorang doktor ilmu perbandingan agama yang dikenal ulet. (ag)

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIDATO Mukti Ali, pada acara serah terima 31 Maret dengan menteri agama yang baru, pendek saja. Pada pokoknya mengucapkan terimakasih kepada Presiden yang sudah memberinya kesempatan kerja selama 6,5 tahun. Lalu terimakasih kepada seluruh karyawan. Lalu ucapan selamat bekerja. Pidato Alamsyah Ratu Perwiranegara, penggantinya, hanya sedikit lebih panjang. Pada pokoknya menyiratkan penghargaan kepada kerja menteri yang digantikannya. Lalu niat merampungkan mana-mana yang belum rampung. Lalu pernyataan keterbukaan diri, dan ajakan untuk menegur dia kapan saja ada tindakan kurang benar. Widi Yarmanto dari TEMPO mencatat, suasana serah-terima yang juga dihadiri Menko Kesra Surono itu terasa formil dan boleh dibilang dingin. Suasana haru memang selayaknya meliputi setiap pergantian di beberapa Departemen. Tapi mungkin juga setengah orang memperkirakan, bahwa tugas menteri yang diganti ini sebenarnya belum boleh dibilang rampung fondasi beberapa bangunan baru mungkin belum boleh dibilang kukuh. Departemen Yang Angker Mukti Ali, doktor Ilmu Perbandingan Agama yang mendapat gelar profesor beberapa saat menjelang pelantikannya, dulu membuat banyak orang terkejut untuk berada di sebuah departemen yang terhitung raksasa. Sebagai menteri agama pertama yang tidak biasa dipanggil kyai plus haji alias KH, ia banyak diharap orang untuk dapat merobah setidak-tidaknya wajah departemen yang "angker" itu. Bukan karena Mukti Ali tak pernah memakai peci, tentu. Tapi karena orang pesantren yang lulusan universitas Barat ini diharap--misalnya oleh orang seperti Arief Budiman --mampu menopang ide-ide pembaharuan. Paling sedikit: menghidupkan kesan lain untuk sebuah departemen, yang selama berpuluh tahun menampakkan alam fikiran tertentu yang menyebabkan orang kehilangan nafsu untuk berdialog. Dan semangat berdialog, dalam arti keterbukaan seperti Ali Sadikin, misalnya saja, memang ternyata tak muncul. Menteri ini, dengan kepercyaan yang penuh kepada diri sendiri, ternyata seorang administrator yang banyak akal dan cukup keras--meski ia sendiri lebih menganggap dirinya seorang guru. "Background saya ini pendidikan," katanya kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO minggu lalu, "dan hal ini bahkan saya bawa ke kantor. Sikap saya di kantor seperti guru. Penyakit saya kemudian: selalu kasih khotbah. Seorang guru itu," lanjutnya, "idenya dianut atau tidak, atau baru akan dianut 50 tahun lagi, itu tidak soal. Pokoknya telurkan ide, itu sudah satu kenikmatan" .... Betapapun, dengan bakatnya yang guru - administrator - penggemar - ide, ia berhasil menghembuskan suasana yang lain. Departemennya, misalnya,tidak lagi terkesan sebagai gedung inkwisisi, yang menjatuhkan hukuman atas nama agama model abad pertengahan Eropa--seperti yang dulu tercermin dari tindakan Departemen Agama dalam kasus majalah Sastra maupun pelarangan buku ilmiah Prof. Dr. Slamet muljana tentang sejarah kerajaan Islam di Nusantara. Memang hampir saja Menteri terlibat dalam kasus film The Message--ketika ia, menuruti arus yang waktu itu sedang pasang, dikabarkan bilang "tidak" pada film Islam itu. Untung saja tidak lebih jauh lagi. Tetapi bahkan organ-organ Departemen yang berhubungan dengan 'kepercayaan', dirobah namanya dari yang berbau 'pengawasan' kepada 'penelitian. Hal yang paling terasa dari periode Mukti Ali justru: berubahnya Departemen Agama dari cirinya sebagai "departemen ideologi". Benar bahwa ia--setelah di hari-hari pertama berhubungan dengan Jaksa Agung dalam usaha 'pembersihan' di departemennya, yang dikenal sebagai salah-satu markas korupsi --melakukan banyak mutasi: menyingkirkan para pejabat penting di pusat, daerah dan juga IAIN, yang dinilai lebih banyak berorientasi kepada partai. Tapi juga terbukti kemudian bahwa tenaga-tenaga non "non-partai" yang diambilnya adalah anak-anak muda (sebagian memang boleh dibilang begitu, khususnya para bekas mahasiswanya) yang dengan segera menawarkan berbagai macam ide yang rupanya sudah terpendam lama dan segar--dan menjadikan departemennra sinkron dengan "semangat teknokratis," dalam apa yang suka disebutnya dahulu dengan slogan "mesin pembangunan." "Kalau ternyata ide-ide pembaruan yang saya kemukakan tidak dapat diikuti dan dilaksanakan staf saya, terpaksa mereka itu diganti" --ucapan ini dimuat Sinar Harapan bulan Oktober 1971. Di hari timbang terimanya sendiri dahulu ia sudah berkata: "Sebagai seorang yang berkecimpung di bidang ilmiah, saya akan melihat segala sesuatu menurut adanya. Saya tidak dapat mengatakan meja ini kursi. Meja ini meja." Ia menjanjikan obyektivitas keilmuan sebagai semangat kerja. Dan bila kemudian Departemen Agama bergerak mendekati kalangan pengetahuan, seperti LEKNAS atau lainnya, oran sudah dibikin tak heran. Berbagai prasangka dalam masyarakat antara satu golongan dengan lainnya memang bisa diusahakan diterangi dengan semangat penyelidikan ilmiah --sementara sejak ceramahnya di Goethe Institut, hanya beberapa hari sebelum ia dilantik dahulu, ia mengemukakan anggapannya tentang makin dekatnya ilmu-ilmu sosial dan agama. Kelompok-Kelompok Maka proyek-proyek penelitian pun dbangun sambil merevitalisasikan lembaga IAIN dan mendidik para calon peneliti obyektif. Berbagai hasil riset yang mulai muncul diharap pada gilirannya mempengaruhi pemberian kurikulum di lembaga pendidikan Islam--untuk berikutnya merubah beberapa asumsi, yang plus maupun yang minus. Ia sendiri memformulir alasan untuk usahanya menjembatani beberapa kalangan. Sebagai hasil pendidikan yang berbeda, katanya di rumah jabatan yang segera akan ditinggalkannya, ada dua kelompok. Pertama: kalau tidak anti agama, ya tidak kenal agama. Dan kedua yang boleh dikatakan hanya agama saja. Dari kedua kelompok ini akan lahir para pemimpin Indonesia - "padahal dua kelompok ini tidak bisa bertemu. Bahkan cara berpakaiannya lain, leluconnya pun lain." Maka di hari-hari pertama ia menengok ke pesantren (dan dalam hal ini ia tidak bisa dikatakan sukses besar, untuk tawarannya berupa pengajaran ketrampilan dan kepramukaan dengan bantuan Departemen-Dcpartemen Pcrtanian dan Perindustrian) dan ke madrasah. Dalam hal madrasah, ada Surat Keputusan Bersama (SK) tiga menteri (Agama, P & K dan Dalam Negeri) yang menjembatani dunia pendidikan ini dengan dunia sekolah umum, tahun 1975.Menyusuli pemberian pengajaran agama di sekolah umum, dari SKB itu ditetapkan pemberian pengajaran umum di madrasah sekurang-kurangnya 55% (dalam SKB disebut: pengajaran agama sekuran-kurangnya 30%). Dengan ketentuan itu dimaksud agar anak lepasan madrasah tidak lagi "ditakdirkan" untuk tidak bisa ikut ujian sekolah umum yang lebih tinggi, misalnya buat mengejar kesempatan kerja yang sama. Sebab memang, selain sebenarnya hanya sedikit orang yang memasukkan anaknya ke madrasah dengan tujuan menjadikannya kyai (biasanya sekedar memberinya pendidikan agama supaya hidup benar), juga jumlah sekolah umum sendiri tidak akan cukup tanpa bantuan swasta antara lain madrasah dan pesantren. Usaha pembenahan perihidup mayotitas penduduk juga dilakukan melalui Undang-Undang Perkawinan, yang sebenarnya sudah sejak 18 tahun diperjoangkan - dan akhirnya berhasil keluar tanpa satu ayat pun bertentangan dengan agama Islam atau lainnya. Dalam pada itu Majelis Ulama berdiri, 1976. "Dua tahun saya 'turut' berusaha membentuknya," kata Mukti Ali - sebab rupanya usaha menjembatani kalangan ulama dan pemerintah (fungsi MU antara lain) tidak semuanya lancar. Tetapi Mukti lantas menilai kehidupan keagamaan makin membaik: beberapa hal dilihatnya makin saling mendekat. "Orang intelek tak malu-malu lagi bicara soal agama," misalnya. Yang juga penting: jembatan pergaulan antar agama, yang sejak hari-hari awal diusahakan lewat musyawarh antar agama yang banyak dikritik orang sebagai hanya basa-basi. Menteri Agama yang baru sendiri, Alamsyah, menyatakan bahwa kerukunan beragama sudah jauh lebih baik. Dan sekarang memang tinggal urusan Alamsyah. Menteri--yang baru ini, menyinggung apa yang telah dilaksanakan menteri yang digantikannya, berkata dalam serah terima: "Persoalan kenegaraan tak akan ada rampungnya. Karena itu, bila saya menemukan ada yang belum rampung akan saya teruskan dengan jiwa, hati-nurani dan Pancasila," katanya. Dan sesungguhnyalah tak terlalu sulit untuk mencari mana yang belum rampung. Di samping semangat ilmiah dan proyek-proyek penelitian sosial yang masih terlalu mudah untuk mati (karena memang hal baru), orang juga melihat penyelesaian penyelewengan (di bidang guru agama, di kalangan KUA, misalnya) yang belum tentu. Setengah orang juga menggunjingkan pembiayaan MT: bukan soal korupsi, melainkan penghamburan -- sementara Mukti Ali pernah menyatakan bahwa biaya yang besar itu, yang menurut orang lebih baik digunakan untuk proyek-proyek bermanfaat, toh tak akan pernah terujud bila MTQ dihentikan. Masalah Haji Alamsyah sendiri, kepada Bastari Asnin dari TEMPO mengungkapkan masalah haji (satu soal yang sampai menyebabkan Mukti Ali dulu menemui Ali Sadikin yang melontarkan kritik keras). Menurut Mukti Ali kini, urusan haji sudah makin baik. Adapun Alamsyah masih menyebut soal syekh-syekh haji di Mekah. Menteri memandang masalah haji harus ditangani orang yang paling sedikit tahu soal ekonomi --kalau bukan ekonom. Meski begitu Menteri Agama (dan menarik: juga Mukti Ali) sama-sama tak melihat kemungkinan tarif ONH diturunkan. Menteri sendiri menyatakan bermaksud menjelaskan hal ini kepada umat Islam pada waktunya. Akankah menteri baru ini (yang tampaknya juga tidak terlalu biasa memakai peci, dan menurut seorang ajudannya sudah sejak lama punya kebiasaan melakukan sembahyang sunnat dhuha) mengubah wajah Departemen Agama menjadi yang lain lagi? Mukti Ali adalah menteri pertama yang bukan 'kyai lapangan'. Dan sekarang, "mau apa jenderal ini datang?", kata Menteri sendiri dalam pidato serah-terima, menerka-nerka pertanyaan yang mungkin hinggap di kalangan karyawan. Jawabnya: ' Saya dipilh dan ditunjuk untuk melanjutkan landasan yang sudah ada." Landasan yang mana, belum jelas. Tapi segala hal positif yang dikerjakan Menteri di hari-hari mendatang, tentulah semata merupakan amal ibadah Alamsyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus