BEBERAPA majalah Poedjangga Baroe terbitan tahun 1930-an
berserakan di lantai. Di atas rak, bertumpukan buku-buku
terbalut debu. Sebuah buku tulisan Arab nyaris hancur tatkala
dibalik-balik. Tercampur aduk dengan sejumlah dokumen rahasia
Dewan Perancang Nasional, tampak sebuah naskah tulisan tangan
107 halaman salinan surat hikayat syair Teoekoe Bciltara
Mac/Jnoed Setiaradja yang ditulis pada 1334 H dan mengisahkan
perlawanan hulubalang dari Susoh, Blang Pidie, Aceh, menentang
Belanda.
Gudang berukuran 3 x 4 meter yang terletak di Jalan Teukur Umar,
Jakarta, itu memang porak poranda. Sebuah mesin stensil,
beberapa batang rel gorden, peti-peti berisi buku serta bau apak
tumpukan buku makin menambah kacaunya suasana.
Tumpukan buku-buku dan naskah itu adalah sisa dari suatu gagasan
besar: rencana Ibnu Sutowo untuk mendirikan suatu Perpustakaan
Nasional.
"Rencana besar itu dilakukan diamdiam. Hanya beberapa pejabat
Pertamina saja yang tahu. Pak Ibnu mengatakan ia ingin agar
semua dokumen tentang Indonesia bisa terkumpul di perpustakaan
itu dan tak mengalir ke luar negeri," cerita seorang pejabat
Pertamina pekan lalu. Ibnu dikabarkan telah menyetujui agar
gedung bekas bagian Keuangan Pertamina di Jalan Merdeka Barat
digunakan sebagai tempat perpustakaan tersebut.
Maka didirikanlah Yayasan Perpustakaan Nasional (Yaperna) yang
di samping menyelenggarakan perpustakaan juga merencanakan akan
menerbitkan karya ilmiah. Sebagai langkah pertama untuk
membentuk koleksi dasar, pada April 1970 Yaperna membeli 23.000
buku dan naskah almarhum Prof. Muh. Yamin yang belum pernah
diterbitkan seharga Rp 50 juta.
Tahun 1972, Yaperna yang berkantor di International Petroleum
Club, sudah bersiap pindah ke Merdeka Barat. Tapi krisis
Pertamina menghantam dan membuyarkan rencana itu.
Pada 1974 Ibnu Sutowo diganti sebagai Direktur Utama Pertamina.
Nasib Yaperna pun anjlok. "Rencana mendirikan Perpustakaan
Nasional diturunkan menjadi Perpustakaan Pertamina Pusat," kata
seorang pejabat Pertamina. Kegiatan Pertamina waktu itu memang
dikurangi secara besar-besaran. Kegiatan Yaperna kemudian
dihentikan pada akhir 1977.
"Perpustakaan Pertamina Pusat dikhususkan mengumpulkan bahan
tentang masalah yang ada hubungannya dengan minyak," ujar Anak
Agung Gde Raka yang kini mengepalai perpustakaan tersebut.
Nasib koleksi Yamin? "Sebagian dipinjamkan ke Yayasan Idayu dan
sebagian lagi disimpan di gudang," kata Raka. Sekitar 10.000
buku dari koleksi Yamin yang pada Mei 1977 dipinjamkan pada
Idayu kini ditempatkan rapi di Ruang Patriot, Gedung Kebangkitan
Nasional, bersama antara lin koleksi Roeslan A dulgani, Ali
Sastroamidjojo dan Adam Malik.
Dan yang berada dalam keadaan berantakan di gudang di Jalan
Teuku Umar itu adalah sekitar 15.000 sisa koleksi Yamin.
Gudang tersebut menempati satu ruangan dari bangunan yang kini
ditempati Sekretariat Persatuan Insinyur Indonesia. Dulu gudang
itu dijaga seorang petugas dari Pertamina. Tapi sejak tiga bulan
lalu kunci gudang tersebut diserahkan pada Vuldiyanto, seorang
karyawan sekretariat PII. Selama ini rupanya tak seorang
sejarahwan pun yang tahu bahwa di situ terdapat sejumlah dokumen
yang mungkin penting sekali.
"Sayang sekali kalau koleksi itu dibiarkan tak terpelihara.
Lama-lama bisa hancur. Alangkah baiknya kalau koleksi itu
diserahkan saja pada suatu lembaga yang bersedia memeliharanya,"
kata Ny. Murtini S. Pendit, Panitera Yayasan Idayu yang baru
tahu bahwa ada khasanah di sana. "Kalau diserahkan pada Idayu,
kami bersedia menerimanya dan akan kami satukan dengan koleksi
Yamin yang sudah ada," tambahnya.
Tentu masih dibutuhkan waktu dan biaya yang banyak untuk memilih
dan mencatat apa saja yang tersimpan di gudang apak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini