TAHUKAH Saudara arti singkatan NTB? Pertanyaan seorang putra daerah, yang dikemukakan secara berkelakar, kontan disambut oleh seorang rekannya: nasib tidak baik. Sebuah kelakar yang, sedikit banYak, ada benarnYa. Menteri KLH Emil Salim pernah juga berolok-olok, kalau ingin cepat mati tinggallah di Nusa Tenggara Barat. Sebab harapan hidup (life xpectancy) rata-rata penduduk di tanah sabana, yang tidak subur untuk persawahan, itu tak sampai 52 tahun. Sedangkan usia rata-rata nasional mencapai 59 tahun. Pendapatan per kapita penduduk di NTB juga kecil: tak sampai US$ 150 per tahun alias seperempat dari pendapatan per kapita rata-rata di Indonesia. NTB memang termasuk daerah berat. Sekalipun bukan termasuk ranking provinsi paling bawah. Pendapatan asli dari daerah itu, biasa disingkat dengan PAD, kabarnya cuma mencapai sekitar Rp 10 milyar. Tapi itu masih dua kali dari PAD Provinsi Kalimantan Tengah, Irian Jaya, dan Sulawesi Tenggara. Jangan tanya berapa PAD Provinsi Bengkulu. Cuma Rp 1,5 milyar per tahun. Di mana salahnya? Sumber daya manusia, kata Gubernur NTB Warsito mengutip istilah pembangunan yang kini lagi in. Menurut sang gubernur, sumber daya manusia di provinsi yang terkenal punya kuda Sumbawa itu ketinggalan sepuluh tahun dibandingkan dengan provinsi lain yang lebih maju. "Pembangunannya pun tertinggal satu Pelita," katanya. Sekadar contoh, mayoritas penduduk di Kecamatan Mataram umumnya berpendidikan rendah dan bekerja sebagai buruh lepas. Pendapatan per kapita penduduk di kecamatan paling penting dari Kabupaten Lombok itu paling tinggi mencapai US$ 80 per tahun. Sebutlah suami-isteri Saleh, penjual bubur di Kelurahan Pagesangan di Mataram, ibu kota Provinsi NTB, yang berpenghasilan tak menentu. Begitu pula Muhammad, tetangga Saleh, penjaga sapi di pasar yang diupah lima ratus rupiah untuk seekor yang laku. "Kalau tidak laku, ya, saya rugi ongkos transpor dari rumah ke pasar," kata Muhammad. Di Bali, yang kabarnya tergolong maju, masih ada penjaga toko di Duty Free Shop di Bandara Internasional Ngurah Rai yang bergaji Rp 130.000 per bulan, tanpa uang makan, transpor, apalagi uang pengobatan. Itu pun dia harus melek dari pukul 5 pagi hingga pukul 5 sore alias 12 jam kerja, termasuk di hari Minggu. Protes? Si penjaga toko hanya tersenyum mendengar kata itu. "Tak ada itu di sini," jawabnya. Gambaran penghasilan manusia di Indonesia pun menjadi kian bengkok, kalau saja diingat di Republik ini ada lapisan manusia yang disebut sebagai eksekutif yang bergaji berjuta rupiah per bulan, misalnya, di Jakarta dan Surabaya. Sebenarnya ketimpangan seperti itu, sekalipun tak sebesar sekarang, sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pusat kegiatan ekonomi waktu itu juga di Jawa. Sedangkan penduduk di daerah luar Jawa yang kaya dengan bahan mentah dan mineral -- yang dulu dikenal sebagai buiten gewesten -- tak seberuntung mereka yang tinggal di Jawa. Malangnya, di zaman Orde Baru yang menumpahkan perhatian pada pembangunan di berbagai sektor, Jawa masih saja menjadi daya tarik orang-orang pintar dari luar Jawa. Kecenderungan di atas antara lain telah dikemukakan oleh ahli demografi, Doktor Mayling Oey dan Peter Gardiner, dalam majalah Prisma dua tahun silam. Kedua pakar tersebut telah membuktikan betapa kecenderungan migrasi dari Jawa ke luar Jawa dilakukan oleh kaum yang berpendidikan rendah. Sebaliknya arus migrasi, terutama ke pusat kota di Jawa, dilakukan oleh sejumlah orang dari luar Jawa yang berpendidikan tinggi. Mereka menilai kebijaksanaan transmigrasi, baik oleh Pemerintah maupun yang swadaya masyarakat, merupakan indikasi kuat akan semakin lebarnya kesenjangan Jawa dengan luar Jawa. Maka, kelak di pertengahan abad mendatang, kedua ahli kependudukan itu khawatir jumlah penduduk luar Jawa akan mencapai 55-60% dari seluruh penduduk Indonesia. Dengan latar belakang perbedaan kualitas penduduk serta sarana penunjang lalu lintas ekonomi yang dimiliki Jawa dan luar Jawa, kegiatan keuangan dan birokrasi pemerintahan akan kian sarat berputar di kota-kota besar di Jawa. Demikian pula pertumbuhan ekonominya. Ambil saja contoh, Jawa Timur yang sudah lama menikmati rezeki nomplok dari kapal-kapal pembawa kayu cendana dari Nusa Tenggara yang mau diekspor dari pelabuhan Tanjungperak. Juga hasil perkebunan dari Sumatera Selatan yang akan dilempar ke mancanegara mesti melalui pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta, yang dikenal sebagai pengekspor hasil perkebunan nomor 6 di Indonesia. Tahun lalu pertumbuhan di Jawa Timur mencapai tujuh persen, satu persen lebih tinggi dari pertumbuhan nasional. Sedangkan Provinsi Riau yang kaya akan minyak bumi -- cuma tumbuh dengan 3,2% tahun lalu. Untunglah masih ada Iwan Jaya Aziz yang menilai "trend pemerataan pembangunan semakin baik". Doktor ekonomi lulusan Cornell University AS, yang dikenal sebagai ahli ekonomi regional itu menggunakan ukuran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Menurut Iwan, pemerataan pembangunan di Indonesia tidak kian memburuk dalam waktu 20 tahun mendatang. Kecenderungan ini antara lain disebabkan mulai banyaknya penanaman modal swasta di daerah. Iwan melihat pembangunan di Indonesia bergerak seperti jarum jam: dari Jawa ke Sumatera, lalu Kalimantan, Maluku, dan ke daerah di belahan timur Indonesia lainnya. Untuk lebih memacu pemerataan pembangunan di daerah, Iwan melihat kunci utamanya adalah pada alokasi Daftar Isian Proyek (DIP) yang perlu lebih banyak disebar alias dideregulasi ke luar Jawa. Selama 25 tahun ini DIP masih banyak terjadi di Jawa. Dan inilah, menurut Iwan, yang memperlambat kemajuan ekonomi di daerah, terutama di Indonesia Bagian Timur (IBT). Jika Pemerintah mengalokasikan DIP lebih besar dan menciptakan insentif lebih banyak ke IBT, maka kegiatan pemrosesan dan juga impor akan dapat berlangsung dari luar Jawa. Jika ini yang akan ditempuh oleh Pemerintah, maka menurut Iwan, ada dua insentif yang tercipta. Pertama, depresiasi bisa dihitung lebih cepat, dan biaya pun akan berkurang. Kedua, para investor di daerah yang masih merugi selama delapan tahun pertama perlu dibebaskan dari kewajiban pajak PBB. Tapi ekonom yang gemar bermain komputer tersebut mengakui masalah laten yang masih sulit diatasi adalah dibangunnya infrastruktur di daerah IBT, yang merupakan daya tarik utama bagi investor mana pun. Namun bicara tentang perbaikan hajat hidup orang banyak di luar Jawa, terutama IBT, Iwan dan banyak ekonom lainnya melihat jalan keluar yang cukup kuno: desentralisasi alias pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Negara ribuan pulau ini, yang merentang luas sepanjang jarak antara London dan Ankara, memang sulit untuk diatur seragam dari pusat. Apalagi kalau kita bicara soal pembagian rezeki yang adil. ~~Ag~us Basri dan Supriyanto Khaffid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini