BILA RRC mengkhususkan konsentrasi penanaman modal asing hanya di provinsi Guangdong saja -- yang terletak berseberangan dengan Hong Kong -- maka Indonesia tidak terlalu pilih-pilih. Memang Batam dikembangkan sebagai proyek khusus di bawah otorita tersendiri, namun pintu untuk investasi modal asing terbuka di pelosok mana saja. Malah sejak awal tahun 1980-an dan terutama pada Pelita terakhir (V) dari Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I), sangat dianjurkan kepada calon investor asing untuk menanamkam modalnya di kawasan luar Jawa. Kalau Guangdong ditampilkan di sini tak lain karena kemajuan pesat yang diperlihatkannya sejak investasi asing masuk ke sana 13 tahun silam. Oleh majalah Newsweek, Guangdong dijadikan indikator keberhasilan RRC dan diproyeksikan sebagai calon macan Asia, sesudah Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Kisah Guangdong menyiratkan sukses RRC dalam memanfaatkan investasi asing. Indonesia, yang 12 tahun lebih dulu dari Cina dalam urusan dengan para pemodal asing, ternyata belum bisa mencatat keberhasilan yang menyamai Guangdong. Mengapa? Harus diakui, Indonesia sejak Pelita I sudah menyadari perlu modal asing, tapi sangat berhatihati. Mungkin karena itu, tidak sejak awal dianjurkan PMA 100%. Padahal keharusan untuk berpatungan dengan pemilik modal dalam negeri acap membatalkan minat investor asing ke sini. Barulah melalui PP No. 17 (April 1992), kita menerima PMA 100%. Selain itu kita tidak seagresif Muangthai yang sengaja membuka kantor di Tokyo untuk bisa menjaring investor Jepang, langsung di negeri mereka sendiri. Mengenai hak guna usaha (HGU) yang menyangkut hak pemakaian tanah, Indonesia juga ketat. HGU semula hanya diberikan untuk jangka waktu 30 tahun saja, sedangkan Malaysia (kalau tidak salah) 90 tahun, Vietnam bahkan 100 tahun. Barulah dengan Paket Juli 1992, HGU yang 30 tahun bisa diperpanjang bertahap dengan 20 tahun, lalu diperpanjang lagi dengan 30 tahun. Faktor lain yang ikut menahan aliran modal asing ke sini adalah tidak memadainya prasarana yang diperlukan untuk menggelindingkan proyek-proyek mereka. Fasilitas seperti jalan raya, pelabuhan, telekomunikasi, air, dan terutama listrik sebagai sumber energi masih serba kurang. Jawa adalah kawasan yang relatif lebih baik dalam prasarana, hingga wajar sekali bila investor asing mengerubung pulau ini. Dengan uraian tersebut di atas, agaknya secara umum terungkap mengapa Indonesia kurang begitu sukses dengan investasi asing selama PJPT I. Juga sepintas terjawab mengapa investasi tidak merata dari Barat sampai ke Timur. Hal ini terlihat pada daftar persetujuan dan realisasi penanaman modal dari 1967/1968-Juli 1992, yang diterbitkan BKPM baru-baru ini. Di situ tampak jelas bahwa sepanjang kurun waktu 25 tahun, lebih dari 65% penanaman modal asing maupun lokal terpusat di Jawa. Nilainya berjumlah US# 40,4 milyar (PMA) plus Rp 131 trilyun. Akan halnya pulau-pulau luar Jawa, yang "beruntung masuk hitungan" hanyalah Sumatera. Pulau "harapan" ini berhasil menyerap 17,6% PMA dan 18% PMDN. Setelah Sumatera, menyusul Kalimantan, Sulawesi, dan Bali yang tingkat penyerapan investasinya tak lebih dari 9%. Provinsi di luar Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali boleh dibilang sangat tidak beruntung, hingga oleh BKPM, Maluku, NTT, NTB, dan Irian Jaya dikelompokkan sebagai "provinsi lain". Pada tahun 1991 hingga Juli lalu, di empat provinsi ini hanya ada empat proyek PMA yang total investasinya US$ 23,3 juta. Tapi Indonesia Bagian Timur (IBT) agak tertolong karena ada investor lokal. Dengan menggarap proyek-proyek seperti penangkapan dan pengolahan ikan, budi daya udang, dan perkebunan, dalam periode 9192 empat provinsi yang tidak beruntung itu akhirnya "kecipratan" 54 proyek PMDN yang bernilai Rp 3,3 trilyun. Namun jika dilihat lokasinya, penanaman modal yang kecil itu pun tidak merata. Timor Timur sejak 1991 sama sekali tidak diacuhkan oleh pemodal domestik. Bahkan sejak lima tahun silam tak satu pun PMA masuk ke provinsi ini. Walaupun infrastruktur di Jawa relatif lumayan, juga belum menjamin Indonesia bisa dengan mudah menarik investor asing. Persaingan memperebutkan modal asing tiba-tiba mengetat. Dewasa ini negaranegara Eropa Timur, Vietnam, RRC, dan India merupakan saingan serius Indonesia, bahkan juga AS. Arus investasi beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa investor terbesar di dunia, yaitu Jepang, cenderung menanamkan modalnya ke Eropa Barat dan Amerika Serikat. Tiap tahun, dari US$ 300 milyar modal asing yang berkeliaran di pasar internasional, hampir separuhnya tertanam di AS. Negara-negara maju di Eropa menyerap antara 30 milyar dan US$ 40 milyar. Yang tersisa -- kira-kira US$ 110 milyar -- diperebutkan oleh kawasan Asia Selatan dan Asia Timur. Indonesia sendiri, menurut Kepala Biro Promosi BKPM Doktor Asril Noer, kebagian hanya kira-kira US$ 8 milyar (sekitar Rp 16 trilyun) setiap tahun. Angka yang lebih baik tercapai pada tahun 1990 ketika Indonesia berhasil menjaring 432 proyek PMA dengan nilai investasi US$ 8,751 juta, dan tahun 1991 senilai US$ 8,778 juta. Sedangkan pada tahun 1992, grafik investasi tampaknya akan menurun. Selama tujuh bulan pertama, hingga Juli lalu, proyek PMA yang disetujui baru mencapai US# 3,750 juta. Atau hanya 42% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka investasi yang menukik itu agaknya telah mendorong Pemerintah untuk menawarkan imingiming yang lebih ampuh. Maka keluarlah Paket Juli 1992, yang itu pun masih dinilai serba tanggung. Berdasarkan Paket Juli 1992, investor asing boleh masuk hanya dengan US# 250 ribu (sekitar Rp 500 juta). Bandingkan dengan batas investasi pengusaha kecil di Indonesia yang Rp 600 juta. Untuk investor asing kelas teri itu diberlakukan syarat yang ringan: pertama, mengekspor 65% dari total produksinya, kedua, mempekerjakan minimal 50 karyawan. Dan PMA ini mesti berpatungan dengan pemodal lokal yang cukup menyertakan ekuiti 5% saja. Bagi pemodal asing ukuran kakap, dengan setoran modal minimal US# 50 juta, mereka boleh jadi PMA 100% asalkan perusahaannya mengambil lokasi di 14 provinsi yang telah ditetapkan (IBT, Kalimantan, Bengkulu, dan Jambi). Pembolehan 100% ini diambil, "Agar investor asing tidak harus melakukan perundingan yang bertele-tele dengan calon mitra lokalnya," kata Menko Ekuin Radius Prawiro ketika itu. Ketua BKPM Sanyoto memperkuat pernyataan ini dengan keterangan bahwa banyak calon pemodal asing yang mengeluh lantaran sulit memperoleh mitra lokal yang baik. Paket Juli 92 juga memangkas daftar larangan investasi, memangkas izin lokasi (yang semula harus seizin Mendagri dan Kepala BPN Pusat, kini cukup ditangani oleh perangkat di daerah), hingga kebolehan mengimpor mesin bekas dengan lebih mudah. Ini kaitannya tentu dengan relokasi industri dari Hong Kong, Taiwan, dan Singapura. Sudah demikian lunaknya persyuaratan Indonesia, namun Bank Dunia menilainya masih juga kurang. Lembaga internasional ini menganjurkan supaya ketentuan kaitan ekspor dengan local content harus diperlonggar, regulasi di tingkat daerah perlu dikurangi lagi, dan bea masuk barang-barang modal harus ditinjau kembali. Sanyoto sendiri mengakui, iklim investasi di Indonesia masih kurang menarik antara lain karena kekurangan tenaga listrik. Memang impor pembangkit tenaga listrik dibebaskan bagi investor asing, tapi itu dianggap tidak praktis. Para pemodal asing tak ubahnya seperti tamu hotel berbintang. "Mereka punya uang, dan mereka ingin nyaman. Ibarat begitu masuk kamar, bisa langsung tidur nyenyak," kata seorang pejabat di BKPM. Sementara itu, program untuk menswastanisasi listrik masih saja tersendat. Pendapat James Castle juga penting disimak. "Hukum dan birokrasi juga harus diubah perannya dari lembagai kontrol menjadi lembaga pencatat." Direktur Amcham-Jakarta (semacam Kadin AS) ini rupanya ingin menegaskan lagi bahwa perangkat hukum dan birokrasi di Indonesia jangan terlalu banyak mencampuri urusan bisnis investasi. Seperti diketahui, keberhasilan Guangdong juga sebagian besar karena minimalnya campur tangan birokratis dari Beijing. James juga menganjurkan agar Pemerintah menghapuskan sistem persetujuan bagi investor asing dan menggantinya dengan sistem pendaftaran saja. Praktek semacam ini sudah lama berlaku di Hong Kong maupun Singapura. Selain itu, daftar negatif investasi pun masih perlu dipangkas, dengan membuka sektor-sektor yang menarik seperti perdagangan eceran, distribusi, real estate, dan beberapa sektor jasa. Dan tak boleh dilupakan adalah kualitas tenaga kerja, karena dalam hal pendidikan tinggi, "Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, Indonesia kalah jauh," katanya. Dengan kata lain, tenaga kerja Indonesia yang murah akan tidak menarik jika tidak disertai tingkat produktivitas yang memadai. Tak aneh bila pengamat ekonomi Djisman Simanjuntak menyarankan agar pemerintah Indonesia segera membuka kacamata-kudanya. Maksudnya, peran negara-negara pesaing harus dengan segera diperhitungkan. Lantas baigaimana menghadapi mereka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini