RATUSAN santri dari pondok-pondok pesantren di Jawa Timur berkumpul di Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang, pekan ini. Mereka ramai-ramai bermusabaqah tilawatil Quran, berlomba mengarang dan berpidato dalam bahasa Arab, dan berlomba olah raga. Inilah pekan pesantren pertama kali di Indonesia, melibatkan sekitar 280 pondok pesantren seluruh Jawa Timur, yang berlangsung 24-27 Januari ini. Di balik acara sukan itu, para kiai punya acara sendiri. Dan sebenarnya ini intinya: diskusi soal-soal pesantren. Banyak masalah dibicarakan, dalam diskusi yang idenya datang dari Rabithah Ma'ahid Islamiyah NU Jawa Timur, penyelenggara acara ini. Tapi yang pokok, para kiai berharap menemukan jawab untuk pertanyaan, "mengapa tampaknya sekarang ini orang Islam banyak yang menjauhi pesantren," kata Wahid Syamsuddin, sekretaris Rabithah Jawa Timur. Sejarah pesantren di Indonesia memang mengalami surut, justru di zaman Indonesia merdeka. Pada tahun 1942, misalnya, jumlah santri di seluruh Jawa sekitar 140 ribu, atau lebih kurang 2,6% dari penduduk Jawa seluruhnya. Ketika Republik Indonesia berdaulat dan pemerintah dengan giat mendirikan sekolah umum di mana-mana, pondok pesantren mulai kekurangan santri. Bahkan pondok-pondok yang tak begitu kuat akhirnya membubarkan diri. Tercatat, 1977, hanya ada sekitar 680 ribu santri, atau cuma sekitar 1,3% dari penduduk Jawa. Pondok pesantren memang sebagian besar ada di Pulau Jawa. Persentase 1,3% itu rupanya bertahan hingga 1980-an kini. Menurut catatan Departemen Agama, pada 1981 ada lebih dari 1,2 juta santri di antara lebih dari 91 juta penduduk Jawa (termasuk Pulau Madura, tentu). Sementara itu, pondok-pondok pesantren kecil yang bubar, menurut Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren, karena tak mampu mendirikan sekolah formal, atau madrasah, hingga daya tariknya musnah. Kecuali, tentu, yang masih punya kiai dengan nama besar. Itulah mengapa Pekan Pesantren ini mengambil tempat di Tambak Beras, Jombang. Bukan karena nama pondok itu Bahrul Ulum atau Lautan Ilmu. Tapi inilah salah satu contoh pondok yang telah mengalami banyak perubahan. Didirikan oleh Kiai Sihah pada 1830, kini Pondok Bahrul Ulum menempati tanah seluas 4 hektar, mempunyai tiga kompleks bangunan, yang dihuni sekitar 750 santri pria dan 1.200 santri wanita. Suasana di sini terasa santai. Santri-santri putri bergerombol sendiri, tapi tak pakai kerudung. Yang pria pun banyak yang berkaus oblong dan bercelana jean. Di Tambak Beras, kurikulum pondok memang tetap dipertahankan. Misalnya pengajian sorogan, wetonan, dan berbagai pengajian kitab-kitab lama. Tapi pondok ini sekali sebulan membuka pengajian khusus, yakni belajar pengetahuan umum. Misalnya, dibuka semacam ceramah tentang jurnalistik, manajemen kepemimpinan, dan metode diskusi, dengan mendatangkan penceramah dari luar. Hasilnya? Kalau dulu keluaran pondok ini paling cuma jadi guru mengaji kalau tidak kembali jadi petani, tutur Ahmad Djauli, sekretaris Pondok Bahrul Ulum itu, kini banyak yang bisa jadi pegawai negeri, juga tentara. Kenapa adi pegawai negeri atau tentara? Apakah itu tidak melenceng dari tujuan pondok pesantren dulu yang biasanya ingin menciptakan santri dan wiraswasta? Agaknya K.H. Nadjib Wahab, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras termasuk kiai yang setuju pada kebutuhan zaman. Ia termasuk kiai yang dengan lapang menyadari bahwa umat Islam pun memerlukan bermacam jenis pengetahuan nonagama untuk memenuhi kebutuhan sistem pekerjaan aman sekarang. Yang penting, kata K.H. Nadjib, perubahan itu "jangan dibuka selebar-lebarnya hingga menghilangkan ciri khas pondok." Di Tambak Beras itu sudah sejak lama berdiri madrasah dari tingkat SD (ibtidaiyah) sampai SMTA (aliyah). Bahkan madrasah tsanawiyah dan aliyahnya sudah berstatus negeri. Dan di madrasah itu sebagian besar santri Bahrul Ulum menambah pengetahuan umumnya. Dari kaca mata pendidikan formal, boleh dikata Bahrul Ulum memang contoh pondok yang melakukan perubahan-perubahan. Tapi, di Jawa Timur pun ada Pondok Raudlatul Mua'allimin di Sawah Pulo, Surabaya. Meski pondok ini berlokasi terbilan di tengah kota, dan baru didirikan pada 1930 oleh K.H. Usman, warna dan bau kolot kuat melekat pada sistem pesantrennya. Pondok ini cuma mengajarkan ilmu keagamaan, titik. Raudlatul Mua'allimin kini dipimpin K.H. Ahmad Asrari, anak K.H. Usman yang meninggal sebulan lalu. Ahmad, meski memahami perkembangan dunia, tetap bertahan pada sistem yang diletakkan ayahnya. "Pondok ini tetap khusus memberikan pelajaran keagamaan," katanya. "Sebab, agama itu petuniuk hidup." Tak sebesar Tambak Beras, Sawah Pulo hanya menampun sekitar 250 santri pria, yang selalu tampak berpeci putih Disiplin memang keras. Dalam salat jamaah (bersama) mereka diharuskan memakai jubah dan diabsen. Bolos sekali atau dua kali didenda baca shalawat seribu kali. "Tapi kalau kami bolos salat jamaah tiga kali, dendanya ditambah dengan kepala digundul," kata Munir, salah seorang santri asal Purwodadi, Jawa Tengah. Tapi pribadi santri hasil penajian Sawah Pulo memang lain. Tentang pekerjaan masa depan, misalnya, Munir menjawab, "Rezeki di tangan Tuhan. Yang penting, kita berusaha." Dan katanya lebih lanjut, "Belajar jangan dicampuradukkan dengan soal masa depan. Belajar itu untuk menghilangkan kebodohan." Sikap seperti itu, di tengah pendidikan umum yang terasa cuma sebagai "pabrik ijazah", memang boleh. Tapi apa hasil Raudlatul. Mua'allimin atau "Taman Guru-guru" ini? "Kebanyakan keluaran sini bertani atau berwiraswasta atau mendirikan pondok pesantren," tutur K.H. Ahmad Asrari. Jadi, apa salahnya bertahan.?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini