PADA mulanya sebuah niat. Yakni: memberi penjelasan, agar keluarga Kartorejo bersedia didaftar sebagai calon pemilih pada pemilu mendatang. Tapi akhirnya peristiwa berdarahlah yang ditemui Koptu Bambang Sunarto. Dan kini, Babinsa yang telah 15 tahun bertugas di Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Tengah, itu terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Peristiwa nahas itu terjadi 20 Mei lalu sekitar pukul 11.00. Adalah Supiatno Hadiwardoyo, Kepala Desa Sumberhadi, yang meminta bantuan Koptu Bambang. Pak Lurah rupanya sudah kewalahan menghadapi sikap Kartorejo. Ayah empat anak, serta kakek 12 cucu, ini dua hari sebelumnya menolak mendaftarkan diri menjadi pemilih pada Pemilu 1987. "Pak Lurah kemudian meminta bantuan Koramil untuk memberi wejangan," ujar Koptu Bambang. Maka, berangkatlah Koptu Bambang, Sersan Warsono, bersama Pak Lurah ke rumah Kartorejo. Tapi, menurut pihak Kartorejo, kedatangan petugas desa itu bukanlah hendak memberikan nasihat. "Mereka datang untuk menanyakan anak saya," kata Kartorejo kemudian. "Ketika saya menjawab agak keras, Kopral Bambang marah, dan hendak menangkap saya." Menurut versi Koptu Bambang, Kartorejo ketika ditanyai baik-baik tiba-tiba saja menyerang Pak Lurah. Bambang lalu menangkap tangannya. Tapi, kemudian datanglah serangan beruntun dari anak-anak Kartorejo, yang membawa tombak, linggis, pedang, serta celurit. "Tiba-tiba kepala saya terasa pecah, dan kemudian saya tidak ingat apa-apa lagi." Keluarga Kartorejo, di Desa Sumberhadi (225 km dari Tanjungkarang), dikenal penduduk sering bersikap aneh. "Mereka tidak pernah mau ikut gotong royong, dan juga tidak mau membayar pajak Ipeda," kata Lurah Supiatno. Kartorejo selalu berkata, "Negara sudah merdeka. Merdeka artinya bebas, tak diatur-atur." Begitulah, keluarga Kartorejo dinilai selalu membangkang. Mereka tak mau disensus. Terakhir, keluarga ini pun tak bersedia mendaftarkan diri sebagai calon pemilih untuk pemilu nanti. Mengapa? Pendirian tak mau diatur-atur oleh siapa pun itu, menurut Pak Lurah, sesuai dengan ajaran atau ilmu Sapta Darma yang dianut keluarga Kartorejo. "Saban malam Jumat Kliwon, Kartorejo bersama empat anaknya berendam di sungai," kata Lurah Supiatno. Acara berendam itu berlangsung hingga pagi hari. Hasilnya? Penduduk mempercayai keluarga ini menjadi kebal. Kabarnya, pernah karena jengkel, penduduk melempar kepala Kartorejo. dengan sebuah batu besar. Ternyata, tak berakibat apa pun. Sejak itu, keluarga Kartorejo makin tak hirau pada masyarakat sekitar. Tapi apa itu ajaran Sapta Darma? Soewartini Martodihardjo, S.H., yang juga dipanggil dengan nama Sri Pawenang, membantah keras bahwa Kerohanian Sapta Darma mengajar orang bertingkah "aneh-aneh". Orang Sapta Darma, katanya, harus bisa sujud, bisa wewarah tujuh, dan bisa menjelaskan simpul pribadi manusia. "Wewarah tujuh adalah ajaran yang wajib diamalkan," katanya. Yakni: antara lain, setia dan tawakal pada Allah, setia pada Pancasila, jujur dan suci hati, serta harus setia menjalankan perundang-undangan negara. Jadi, Kartorejo, "adalah orang yang hanya mengaku-aku sebagai warga Sapta Darma," ujar Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, yang juga Ketua Ikadin Cabang Yogya, serta anggota MPR dari Golkar. Kartorejo sendiri, berusia 70, kini ditahan di Kores Metro, Lampung. Seorang anaknya, Sumani, tewas karena melawan dan terpaksa ditembak, kata sumber TEMPO di kepolisian. Dua anaknya yang lain, setelah mencoba melarikan diri ke hutan, akhirnya pun menyerah. Koptu Bambang mengatakan tak pernah bertindak kasar pada penduduk. "Saya ingin segera dioperasi, agar segera bisa berkumpul dengan anak saya di Lampung," kata Babinsa yang pernah ikut operasi DI/TII di Ja-Bar dan operasi Timor Timur ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini