Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA politikus Golkar membelah kemacetan dari pusat belanja Pacific ¡©Place menuju Gedung Dewan ¡©Perwakilan Rakyat di Jakarta Selatan. Andi ¡©Sinulingga duduk di jok belakang mobil Yorrys Raweyai yang dikemudikan sopirnya. Di lantai 12 ruang Fraksi Partai Golkar itu sudah menunggu Kahar Muzakir dan Agus Gu¡©miwang Kartasasmita.
Ketika mereka tiba, politikus Golkar lain, seperti Ibnu Munzir dan Ketua Golkar DKI Jakarta Fayakhun Andriadi, sudah ada di sana. Yorrys dan Andi langsung terlibat pembicaraan yang tengah membahas perkara yang mengentak jagat politik Indonesia hari-hari ini: megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang menyeret Ketua Umum Golkar Setya Novanto.
Selama dua jam mereka membicarakan korupsi senilai Rp 5,9 triliun dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun itu. Jaksa menyebut nama Setya dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pekan sebelumnya. Ketika matahari merendah, Kahar pamit. "Dipanggil Sekretaris Jenderal Idrus Marham," katanya kepada teman-temannya, seperti didengar Tempo.
Seorang politikus tiba-tiba menyebut pesan pendek yang diterimanya dari Bendahara Golkar Robert Joppy Kardinal. Pembicaraan menjadi tak jelas sampai mereka menyebut "opsi-opsi jika Setya Novanto menjadi tersangka". Belakangan, seorang politikus Golkar menunjukkan pesan pendek (SMS) yang dikirim Robert itu. "Jangan ada pengkhianat di antara kita."
Robert tak membalas konfirmasi Tempo atas isi SMS tersebut. Seorang politikus mengatakan SMS tersebut berkaitan dengan topik korupsi e-KTP yang sedang hangat dibicarakan di kalangan politikus Golkar. Di tempat yang sama, sehari sebelumnya, Yorrys juga bertemu dengan Ketua Komisi Hukum DPR Bambang Soesatyo dan Zainudin Amali. Topiknya sama: membicarakan perkara tersebut.
Meskipun para politikus itu tak eksplisit menyebut musyawarah nasional luar biasa, seorang peserta pertemuan mengatakan soal ini semakin mengemuka menjadi pembicaraan di Golkar. Munas luar biasa adalah rapat anggota partai untuk mengganti ketua umum. Yorrys mengakui banyak pertemuan di ruang Fraksi Golkar yang membahas situasi politik mutakhir, termasuk gejolak di Golkar setelah sidang korupsi e-KTP. "Pertemuan biasa saja. Orang kumpul-kumpul masak enggak boleh?"
Setya Novanto bukannya tak mendengar ada kumpul-kumpul koleganya membicarakan korupsi yang menyeret namanya itu. Sementara Kahar dan Yorrys bertemu di lantai 12, ia mengundang Sekretaris Jenderal Idrus Marham dan Robert Kardinal ke ruang kerja Ketua DPR di lantai 3. Menurut seorang politikus, Setya juga membahas perkara korupsi yang membelitnya dalam pertemuan tersebut.
Setya, kata politikus ini, juga mencium gerakan kolega-koleganya mendorong penggantian Ketua Umum Golkar. Nama-nama peserta pertemuan lantai 12 termasuk yang disebut. Kepada wartawan seusai pertemuan, Idrus bersuara lantang. "Tidak ada munaslub," ucapnya. "Kalau ada yang menggulirkan, patut dicurigai."
Pernyataan Idrus itu menegaskan bunyi SMS yang dikirim Robert Kardinal kepada politikus Golkar dan menguatkan gonjang-ganjing di partai ini sejak korupsi e-KTP bergulir. Jauh sebelum pernyataan Idrus, akun Facebook dan Twitter Aburizal Bakrie juga menyebut isu munaslub di Golkar.
Pada 10 Maret lalu, akun Ketua Dewan Pembina Golkar itu mengingatkan kadernya agar tak pragmatis memanfaatkan isu e-KTP untuk menggoyang kursi Setya. "Jangan setiap ada persoalan langsung berpikir untuk menyelenggarakan Munaslub," tulis Aburizal.
Masalahnya, keterlibatan Setya Novanto dalam korupsi e-KTP semakin terang begitu sidang perdana dimulai pada Kamis pekan lalu. Bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni menguatkan pernyataannya dalam berkas pemeriksaan dan dakwaan bahwa ia bertemu dengan Setya Novanto untuk membicarakan proyek itu pada 2010 di Hotel Gran Melia, Jakarta Selatan. "Beliau bilang e-KTP merupakan program strategis nasional. Jadi ayo kita jaga bersama," kata Diah.
Jaksa menyebut Setya mengendalikan proyek ini bersama Andi Narogong, pengusaha kontraktor proyek e-KTP, yang disebut para politikus Golkar sering mampir ke ruang fraksi di lantai 12. Mantan Ketua Komisi Pemerintahan Chairuman Harahap, yang memimpin pembahasan proyek ini di DPR, menguatkan kedekatan Setya-Andi. Setya, kata dia, yang mengenalkannya kepada Andi di DPR.
Isu penggulingan Setya dan munculnya faksi-faksi di Golkar bukan tanpa penyebab. Para politikus Golkar acap menggunjingkan gaya Setya yang terlalu mengandalkan orang dekatnya dalam mengambil keputusan penting. Robert Kardinal dan Fahd el Fouz adalah dua orang kepercayaan Setya di Golkar.
Cara Setya memimpin Golkar juga banyak dikeluhkan koleganya. Rapat-rapat partai ia gelar di Restoran Patio di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, yang berada di seberang rumahnya. Saat bertandang ke kantor Tempo pada Rabu dua pekan lalu, Setya mengakui sering menerima tamu di restoran tersebut.
Hubungan Setya dengan Kahar Muzakir juga tak lagi gayeng. Awalnya, Kahar dipercaya Setya. Selain sebagai Ketua Bidang Kepartaian dan Ketua Fraksi di DPR serta Ketua Badan Anggaran, Kahar didapuk sebagai Ketua Mahkamah Partai. Belakangan, kursi Ketua Badan Anggaran diberikan kepada Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Umum.
Kahar mulai berpaling ketika ia jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan pergantian sejumlah ketua Golkar di daerah. Padahal kewenangan tersebut ada di tangannya selaku Ketua Koordinator Kepartaian. Kasus terakhir adalah adanya anggota DPRD dari Partai Gerindra dipilih sebagai Ketua Golkar Kabupaten Langsa, Aceh.
Pemilihan kader Gerindra itu, menurut Kahar, melanggar aturan partai. Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Golkar, seseorang baru memenuhi syarat sebagai ketua partai jika telah menjadi pengurus di wilayahnya selama lima tahun berturut-turut. "Saya ini ingin menegakkan aturan yang diteken Ketua Umum," kata Kahar ketika dimintai konfirmasi.
Maka Kahar menggalang beberapa politikus yang berseberangan dengan Setya dalam Munas Golkar di Bali tahun lalu untuk menyikapi korupsi e-KTP, seperti Yorrys, mantan Ketua DPR Ade Komarudin, dan Bambang Soesatyo. Menurut koleganya, Kahar meminta teman-temannya membuat peta pengurus Golkar pusat seandainya ada rapat pleno karena Setya menjadi tersangka.
Dalam pemetaan itu, Kahar akan menjadi pelaksana tugas Ketua Umum Golkar dan Agus Gumiwang menjadi Ketua DPR. Dua jabatan itu kini dipegang Setya Novanto. Ketika dimintai konfirmasi soal itu, Kahar menjawab diplomatis. "Biarin saja, namanya juga organisasi politik," katanya.
Faksi di Golkar bukan hanya kubu Setya dan kelompok Kahar. Faksi lainnya dimotori Aburizal Bakrie, yang acap disebut faksi Bakrie Tower-merujuk pada tempat pertemuan-pertemuan resmi partai Golkar selama dipimpin Aburizal. Di kubu ini ada Ketua Harian Golkar Nurdin Halid dan Aziz Syamsuddin. Dalam Munas Bali 2016, Aburizal menyokong Aziz untuk menjadi Ketua Umum Golkar.
Menurut seorang politikus, jika Setya menjadi tersangka, faksi ini akan mengusung Nurdin menjadi Ketua Umum Golkar dan Aziz sebagai Ketua DPR. Ketika ditanya soal itu, Aziz menolak bicara banyak. "Kita hormati saja apa yang terjadi di pengadilan," katanya.
Keretakan Golkar menguat ketika tiap kubu menggelar rapat sendiri-sendiri pekan lalu. Agung Laksono, yang memimpin Dewan Pakar, menggelar rapat di kantor Golkar pada Selasa. Esoknya giliran Pengurus Pusat menggelar pertemuan. Hari berikutnya anggota Dewan Pembina diundang Pengurus Pusat.
Setya Novanto beralasan ia perlu mengundang para politikus senior Golkar untuk membahas kondisi ekonomi dan pemilihan kepala daerah. "Ada saran-saran soal pertumbuhan ekonomi," tuturnya. Namun, kata politikus lain, rapat lebih banyak mengulas korupsi e-KTP. "Ada sejumlah masukan dari para senior," ucap Yorrys.
Seusai rapat-rapat itu, Aburizal meminta semua kader Golkar menghargai proses hukum dan melihat perkembangan korupsi e-KTP di pengadilan. Idrus Marham sekali lagi mengingatkan koleganya yang bermanuver mengusung musyawarah nasional luar biasa agar menghentikan isu tersebut. "Jangan ada yang memecah belah," katanya.
Wayan Agus Purnomo | Linda Trianita
Setya dan Dakwaan Turut Serta
DALAM dakwaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), jaksa menyebut Setya Novanto turut serta dan bersama-sama melakukan korupsi dengan Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang menjadi terdakwa. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini disebut mengatur dan menjamin persetujuan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Dalam berbagai kasus korupsi, banyak pejabat menjadi terdakwa setelah disebut "turut serta" melakukan korupsi bersama terdakwa lain.
Jejak Pertemuan
2010 Awal Maret
Setya bertemu dengan Irman, Sugiharto, Andi Narogong, dan Diah Anggraeni di Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta Selatan. Setya ketika itu berjanji mendukung proyek e-KTP.
Pertengahan Maret
Setya bertemu dengan Irman di ruang Ketua Fraksi Partai Golkar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, pukul 10.00. Setya didampingi Andi Narogong. "Pak Irman, mengenai anggaran untuk e-KTP, akan saya koordinasikan dan mudah-mudahan bisa dipenuhi," kata Setya seperti ditirukan Irman kepada penyidik KPK.
Akhir 2010
Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengikuti pertemuan dengan Setya, Anas Urbaningrum, dan Andi Narogong di Gedung DPR, membahas cara menilap anggaran proyek e-KTP Rp 5,9 triliun. Sebesar 49 persen dialokasikan untuk dibagi-bagi kepada anggota DPR sebagai fee. Anas dan Setya membantah cerita ini.
2011
Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Nazaruddin bersaksi ia melihat bagi-bagi uang kepada anggota DPR di ruang kerja Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto di gedung DPR.
Tuduhan
Bersama-sama Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang dan jasa, Diah Anggraeni selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dan Drajat Wisnu Setyawan sebagai ketua panitia pengadaan melakukan atau turut serta melakukan korupsi e-KTP.
Kerugian negara
Menurut hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, kerugian proyek ini Rp 2,3 triliun. Kerugian ini berupa anggaran negara yang tak dipakai untuk membiayai proyek, tapi mengalir ke 62 anggota DPR, pejabat Kementerian Dalam Negeri, pengusaha, dan korporasi.
Turut Serta, Lalu Tersangka
- Gubernur Banten Atut Chosiyah menjadi tersangka dalam suap terkait dengan penanganan sengketa pemilihan Bupati Lebak pada Desember 2013. Dalam dakwaan kepada Chaeri Wardana, Atut disebut "bersama-sama atau turut serta" menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Atut lalu menjadi terdakwa.
- Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom dan pengusaha Nunun Nurbaetie menjadi tersangka suap cek pelawat kepada anggota DPR. Dalam dakwaan kepada 39 anggota DPR, keduanya disebut "turut serta" melakukan korupsi dalam perkara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo