Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang Tak Tersentuh UUPA

Status Yogyakarta sebagai daerah istimewa dan sejarah keraton Yogyakarta menyebabkan tanah-tanah milik keraton belum tersentuh UUPA. Sultan memerintahkan penertiban dan inventarisasi. (nas)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SRI Sultan Hamengkubuwono IX pada 5 Januari 1979 memerintahkan dibentuknya semacam kantor agraria di lingkungan Keraton Yogyakarta. Alasannya: begitu banyak timbul kasus yang menyangkut tanah milik keraton sedang berapa sebenarnya luas tanah keraton dan siapa yang sekarang menempatinya pun tidak diketahui. Senin 5 Pebruari lalu, diresmikanlah Tepas (Kanor) Panitikismo Keraton Yogyakarta yang dikepalai Raden Mas Praboto Gondokusumo SH. "Tugas yang mendesak dari kantor ini adalah untuk mengidentifikasikan tanah yang menurut keterangan resmi atau tidak resmi adalah milik keraton atau yang diistilahkan dengan SG (Sultans Grorlden) kata KPH (Kanjeng Pangeran Haryo) Soedarisman Poerwokoesoemo, bekas Walikota Yogyakarta yang sekarang memimpin Tim Hukum Keraton Yogyakarta. Usaha pertama adalah untuk mengusahakan sertifikat dari semua tanah keraton, kemudian mengadakan perjanjian tertulis antara penghuni dengan keraton. Keraton Yogyakarta memiliki tanah yang luas di segala penjuru yang dikenal sebagai Kagunan Dalem. Banyak di antaranya yang dihuni para kerabat keraton atau para abdi dalem. Puluhan tahun terakhir ini makin banyak penduduk biasa yang menghuni tanah ini, dengan atau tanpa sepengetahuan keraton. Banyak yang menghuni hanya dengan ijin lisan dari seorang kerabat keraton hingga saat ini misalnya ada suatu dalem pangeran yang dalamnya penuh sesak dengan penghuni baru demikian padatnya hingga terbentuk 3 Rukun Tetangga. Penghunian dan penggarapan tanpa sepengetahuan keraton ada juga yang terjadi karena penyelewengan kerabat keraton sendiri. Misalnya: tempat peristirahatan Ambarwinangun sekarang ini lenyap tanpa tersisa satu bata pun dan telah menjadi sawah karena ijin yang diberikan oleh seorang bangsawan, yang tentu saja menerima ganti imbalan dari para penggarapnya. Agaknya dengan adanya kantor khusus ini, keraton Yogyakarta ingin menempuh cara hitam atas putih pada penguasaan tanah keraton. "Kami tidak ingin menimbulkan keresahan pada masyarakat yang menempati tanah milik keraton," kata Praboto Gondokusumo. Yang ingin ditertibkan adalah memisahkan tanah yang disewa rakyat dijadikan hak milik karena paringan dalem (dihadiahkan sultan). Kantor baru ini terus dilanda kesibukan begitu diresmikan. Dalam 3 hari pertama lebih dari 50 penduduk datang untuk menanyakan status tanah mereka. Malahan ada instansi pemerintah yang juga menanyakan soal yang sama. Penertiban tanah keraton diharapkan juga bisa menguntungkan para penghuninya. Misalnya mereka yang menghuni apa yang disebut "tanah PJKA". Tanah milik keraton ini disewa untuk 100 tahun pada 1872 oleh maskapai NIS (Nederlands Indische Spoor). "Seharusnya pada 1972 tanah ini harus dikembalikan ke keraton, tapi sampai sekarang statusnya belum jelas," tutur Praboto. Tanah ini sekarang tidak lagi hanya dihuni anak cucu karyawan NIS saja, tapi semua penghuni tetap ditarik sewa oleh PJKA. "Saya baru saja ditarik pembayaran Rp 16.440 untuk kwartal pertama 1978," cerita Imam Djaid yang tinggal di Lempuyangan. Pedagang kecil ini tidak tahu apakah yang menagihnya memang orang instansi PJKA. "Semestinya PJKA tidak berhak lagi memungut sewah tanah itu. Lagi sewanya kok mahal betul. Keraton tidak akan tega memungut uang sebesar itu dari rakyat," komentar seorang staf Panitikismo. Ada 6 penghuni tanah itu yang sudah mengadukan kasus ini pada kantor Panitikismo. Kasus lain yang baru saja terjadi adalah di Sekip yang termasuk dalam kompleks kampus UGM. Di sebidang tanah kosong yang direncanakan untuk asrama mahasiswa tiba-tiba saja muncul patok-patok dan papan bertuliskan "Di sini akan dibangun perumahan purnawirawan ABRI." Karuan saja UGM segera melaporkannya ke keraton. Menurut penelitian Tim Hukum keraton, UGM yang paling berhak atas 2 tanah itu.Pertemuan pada 4 Januari 1979 antara Rektor UGM Kepala Detasemen Perhubungan AD Korem 072 serta Tim Hukum Keraton menghasilkan kesepakatan yang diumumkan esoknya melalui suratkabar. Isinya semua tanah dinyatakan milik keraton. UGM akan mengajukan permohonan hak magersari (menghuni) ke keraton untuk sebagian tanah itu, demikian juga Korem 072 akan melakukan permohonan yang sama untuk sebagian yang lain. Untuk urusan sosial seperti itu keraton ikhlas tanahnya dipakai. "Pokoknya ada kulonuwun dan ada pengakuan tanah itu Kagungan Dalem kata BPH Hadiwijoyo yang membawahi kantor Panitikismo. Keraton tidak akan memungut sewa pada tanah yang digunakan untuk kepentingan sosial, "tapi yang dikomersilkan akan tetap dipungut sewa karena pembiayaan keraton besar," katanya. Misalnya? "Bioskop Soboharsono, Pusat Perbelanjaan Sasana Guna dan Hotel Ambarukmo Sheraton." Berapa sebenarnya luas tanah milik Keraton, Yogyakarta? "Wah, ribuan hektar. Datanya ada, sukar menjumlahkan," kata salah seorang dari 15 karyawan Panitikismo. Kenapa Keraton Yogyakarta tidak tersentuh UU PA? "Ini kan daerah istimewa, ya istimewa," seorang kerabat keraton menjelaskan. "Memang betul Yogyakarta belum tersentuh UUPA ini," Dirjen Agraria Daryono membenarkan. Ini karena sejarah dan peranan yang unik dari Sultan Hamengkubuwono IX dalam sejarah republik, Indonesia, serta status Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Penertiban masalah tanah dan inventarisasi yang dilakukan keraton menurut Daryono dimaksudkan untuk membantu pemerintah. Tahun ini Ditjen Agraria merencanakan untuk membentuk aparatnya di Yogyakarta sampai tingkat kabupaten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus