SRI Sultan Hamengkubuwono IX pada 5 Januari 1979 memerintahkan
dibentuknya semacam kantor agraria di lingkungan Keraton
Yogyakarta. Alasannya: begitu banyak timbul kasus yang
menyangkut tanah milik keraton sedang berapa sebenarnya luas
tanah keraton dan siapa yang sekarang menempatinya pun tidak
diketahui. Senin 5 Pebruari lalu, diresmikanlah Tepas (Kanor)
Panitikismo Keraton Yogyakarta yang dikepalai Raden Mas Praboto
Gondokusumo SH.
"Tugas yang mendesak dari kantor ini adalah untuk
mengidentifikasikan tanah yang menurut keterangan resmi atau
tidak resmi adalah milik keraton atau yang diistilahkan dengan
SG (Sultans Grorlden) kata KPH (Kanjeng Pangeran Haryo)
Soedarisman Poerwokoesoemo, bekas Walikota Yogyakarta yang
sekarang memimpin Tim Hukum Keraton Yogyakarta. Usaha pertama
adalah untuk mengusahakan sertifikat dari semua tanah keraton,
kemudian mengadakan perjanjian tertulis antara penghuni dengan
keraton.
Keraton Yogyakarta memiliki tanah yang luas di segala penjuru
yang dikenal sebagai Kagunan Dalem. Banyak di antaranya yang
dihuni para kerabat keraton atau para abdi dalem. Puluhan tahun
terakhir ini makin banyak penduduk biasa yang menghuni tanah
ini, dengan atau tanpa sepengetahuan keraton. Banyak yang
menghuni hanya dengan ijin lisan dari seorang kerabat keraton
hingga saat ini misalnya ada suatu dalem pangeran yang dalamnya
penuh sesak dengan penghuni baru demikian padatnya hingga
terbentuk 3 Rukun Tetangga. Penghunian dan penggarapan tanpa
sepengetahuan keraton ada juga yang terjadi karena penyelewengan
kerabat keraton sendiri. Misalnya: tempat peristirahatan
Ambarwinangun sekarang ini lenyap tanpa tersisa satu bata pun
dan telah menjadi sawah karena ijin yang diberikan oleh seorang
bangsawan, yang tentu saja menerima ganti imbalan dari para
penggarapnya.
Agaknya dengan adanya kantor khusus ini, keraton Yogyakarta
ingin menempuh cara hitam atas putih pada penguasaan tanah
keraton. "Kami tidak ingin menimbulkan keresahan pada masyarakat
yang menempati tanah milik keraton," kata Praboto Gondokusumo.
Yang ingin ditertibkan adalah memisahkan tanah yang disewa
rakyat dijadikan hak milik karena paringan dalem (dihadiahkan
sultan).
Kantor baru ini terus dilanda kesibukan begitu diresmikan.
Dalam 3 hari pertama lebih dari 50 penduduk datang untuk
menanyakan status tanah mereka. Malahan ada instansi pemerintah
yang juga menanyakan soal yang sama.
Penertiban tanah keraton diharapkan juga bisa menguntungkan para
penghuninya. Misalnya mereka yang menghuni apa yang disebut
"tanah PJKA". Tanah milik keraton ini disewa untuk 100 tahun
pada 1872 oleh maskapai NIS (Nederlands Indische Spoor).
"Seharusnya pada 1972 tanah ini harus dikembalikan ke keraton,
tapi sampai sekarang statusnya belum jelas," tutur Praboto.
Tanah ini sekarang tidak lagi hanya dihuni anak cucu karyawan
NIS saja, tapi semua penghuni tetap ditarik sewa oleh PJKA.
"Saya baru saja ditarik pembayaran Rp 16.440 untuk kwartal
pertama 1978," cerita Imam Djaid yang tinggal di Lempuyangan.
Pedagang kecil ini tidak tahu apakah yang menagihnya memang
orang instansi PJKA. "Semestinya PJKA tidak berhak lagi memungut
sewah tanah itu. Lagi sewanya kok mahal betul. Keraton tidak
akan tega memungut uang sebesar itu dari rakyat," komentar
seorang staf Panitikismo. Ada 6 penghuni tanah itu yang sudah
mengadukan kasus ini pada kantor Panitikismo.
Kasus lain yang baru saja terjadi adalah di Sekip yang termasuk
dalam kompleks kampus UGM. Di sebidang tanah kosong yang
direncanakan untuk asrama mahasiswa tiba-tiba saja muncul
patok-patok dan papan bertuliskan "Di sini akan dibangun
perumahan purnawirawan ABRI." Karuan saja UGM segera
melaporkannya ke keraton.
Menurut penelitian Tim Hukum keraton, UGM yang paling berhak
atas 2 tanah itu.Pertemuan pada 4 Januari 1979 antara Rektor UGM
Kepala Detasemen Perhubungan AD Korem 072 serta Tim Hukum
Keraton menghasilkan kesepakatan yang diumumkan esoknya melalui
suratkabar. Isinya semua tanah dinyatakan milik keraton. UGM
akan mengajukan permohonan hak magersari (menghuni) ke keraton
untuk sebagian tanah itu, demikian juga Korem 072 akan melakukan
permohonan yang sama untuk sebagian yang lain.
Untuk urusan sosial seperti itu keraton ikhlas tanahnya dipakai.
"Pokoknya ada kulonuwun dan ada pengakuan tanah itu Kagungan
Dalem kata BPH Hadiwijoyo yang membawahi kantor Panitikismo.
Keraton tidak akan memungut sewa pada tanah yang digunakan untuk
kepentingan sosial, "tapi yang dikomersilkan akan tetap dipungut
sewa karena pembiayaan keraton besar," katanya. Misalnya?
"Bioskop Soboharsono, Pusat Perbelanjaan Sasana Guna dan Hotel
Ambarukmo Sheraton."
Berapa sebenarnya luas tanah milik Keraton, Yogyakarta? "Wah,
ribuan hektar. Datanya ada, sukar menjumlahkan," kata salah
seorang dari 15 karyawan Panitikismo. Kenapa Keraton Yogyakarta
tidak tersentuh UU PA? "Ini kan daerah istimewa, ya istimewa,"
seorang kerabat keraton menjelaskan.
"Memang betul Yogyakarta belum tersentuh UUPA ini," Dirjen
Agraria Daryono membenarkan. Ini karena sejarah dan peranan yang
unik dari Sultan Hamengkubuwono IX dalam sejarah republik,
Indonesia, serta status Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Penertiban masalah tanah dan inventarisasi yang dilakukan
keraton menurut Daryono dimaksudkan untuk membantu pemerintah.
Tahun ini Ditjen Agraria merencanakan untuk membentuk aparatnya
di Yogyakarta sampai tingkat kabupaten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini