Sebab tanah adalah tanah. Ia satu-satunya yang punya janji
sumber hidup sepanjang jaman.
(Toha Mohtar dalam novelnya "Pulang").
SUASANA meriah meliputi desa Jatisari, Kecamatan Jatisari,
Kabupaten Karawang Sabtu 8 Pebruari lalu. Ada apa? Hari Jadi
Kabupaten Karawang yang ke-356 tahun ini dipusatkan di desa itu.
Acaranya: panen padi awal tahun ini. "Ini untuk membuktikan
keadaan Karawang sudah membaik dari tahun sebelumnya," kata
seorang pejabat Kabupaten. Diharapkan Karawang dalam musim panen
tahun ini akan kelebihan sekitar 74.000 ton.
Desa-desa di Karawang saat ini memang sedang bersiap menghadapi
panen. Butir-butir padi tampak mulai menggayuti padi yang
tertanam di sawah. Wajah para petani tampak semringah. Tapi
banyak juga yang terpekur. Antara lain Kencur (43 tahun) yang
menjadi Uluulu (pengatur saluran air sawah) di kampung Karajan,
Desa Pacing, Kecamatan Jatisari. "Yang panen kan bapak-bapak.
Kalau saya kan hanya penggarap," katanya sembari menuding sawah
seluas 1 bahu (0,7 Ha) yang sejak 4 tahun terakhir ini
digarapnya. "Bapak," yang dimaksudnya adalah seorang pejabat
tinggi yang pernah menjabat Kuasa Usaha Indonesia di luar
negeri. Di desa ini ada 63 Ha sawah kelas I dan II yang dimiliki
6 "bapak" dari Jakarta, yang seluruhnya digarap sekitar 70
penggarap seperti Kencur. Para pemilik, yang memakai nama
beberapa kerabat mereka dalam surat girik yang terearat di desa
tinggal terima bersih hasil sawahnya. Setelah dipotong uang
Ipeda dan pajak lain, tiap musim panen para penggarap rata-rata
harus menyerahkan 1 ton gabah kering untuk tiap hektar.
Tapi "bapak" yang dimaksud, Brigjen Herman Sarens Sudiro
membantah keras pemilikan ini. "Itu dulu memang saya miliki.
Sekitar 4 atau 5 tahun lalu telah saya lepas, sebelum saya
berangkat ke Malagasi," katanya pekan lalu. Kenapa? "Buat apa,
karena tidak pernah menghasilkan beras. Sekarang saya pikir
lebih baik beli beras saja daripada punya sawah. Makan banyak
ongkos saja." Ia juga menganggap cerita pemilikan tanah oleh
beberapa "bapak" di desa Pacing hanya sekedar "isyu".
Desa Pacing memang bisa dianggap contoh tentang masalah tanah
yang belakangan ini makln ramai dan "laris".Dengan luas 1.675 Ha
yang dihuni oleh 7.367 jiwa ( 1.763 KK), desa Pacing memiliki
1.24] Ha sawah. Hidup rakyatnya hampir seluruhnya bertumpu pada
pertanian. Tapi yang teracatat sebagai pemilik sawah hanya. 311
orang. Jumlah buruh tani yang tidak punya tanah 3.662 orang.
Sedang mereka yang sekaliber Kencur dan menggarap sawah orang
lain tercatat 1.086 orang. Pemilik sawah terluas di desa ini,
seorang haji, punya 6 Ha. Jadi siapa pemilik lainnya? Mereka
tinggal di luar desa, banyak di antaranya "bapak-bapak" dari
Jakarta. Mereka inilah yang lazim disebut sebagai pemilik tanah
guntai (absentee).
Wajah desa Pacing bisa dijadikan misal bagi banyak desa
persawahan lain, terutama di Jawa. Potret sebuah desa yang
bagian terbesar penduduknya petani miskin yang tak punya tanah.
Yang jumlahnya makin bertambah, karena banyak pemilik sawah
kecil yang melepaskan tanahnya, sebagian karena desakan
kebutuhan mereka, sebagian lain juga karena tergoda oleh bujukan
rupiah yang ditawarkan pada mereka.
Dalam keadaan seperti itu sering para pamong desa tidak mampu
atau kurang membantu menahan menaiknya jumlah petani tak
bertanah. "Pihak desa kan mendapat komisi dari jual beli tadi.
Jadi wajar kalau mereka malah bergairah membantu penjualan itu,"
tutur beberapa petani penggarap Karawang. Di banyak desa di
Karawang, komisi 3 sampai 5% dari jumlah transaksi memang
disahkan dalam peraturan desa. Tapi bukan menjadi rahasia lagi
tidak semua komisi itu masuk ke kas desa.
Desa Pacing bisa juga dijadikan contoh lain bahwa Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada 1960 serta beberapa
peraturan agraria lain masih jauh dari terlaksana di Indonesia.
Pemilikan tanah di atas batas maksimum, pemilikan tanah guntai
dan sebagainya yang dilarang undang-undang masih bertebaran di
banyak tempat. Sampaipun di tanah Kesultanan Yogya. (Lihat Box).
Banyak yang melanggarnya secara terang-terangan, walau ada yang
karena memang kurang mengetahui ketentuan peraturan itu.
Ramainya suara yang datang dari DPR menunjukkan betapa masalah
tanah sekarang ini telah menjadi primadona di panggung politik
Indonesia. Para wakil rakyat seakan berlomba dan bersaing untuk
membela rakyat dalam menyelesaikan masalah tanah. Bertubi-tubi
masing-masing fraksi mengeluarkan pernyataan mengenai ini. Ketua
Fraksi Karya Pembangunan (FKP) DPR, Sugiharto, malahan bulan
lalu sempat membuat kegegeran ketika menyatakan bahwa fraksinya
telah menyampaikan daftar nama pejabat pusat dan daerah pada
Opstib. Maksudnya untuk diteliti seberapa jauh keterlibatan
mereka dalam penguasaan tanah secara berlebihan dan melanggar
perundang-undangan yang berlaku. "Tidak semua pejabat pemerintah
mendukung sepenuhnya program pemerintah," kata Sugiharto.
"Mereka itu adalah orang-orang penyabot."
Pemerintah tampaknya menyadari ini. Dalam buku Rancangan Pelita
III dikemukakan pemerintah akan mengambil langkah kebijaksanaan
untuk mencegah kemungkinan tanah kaum tani dibeli atau dikuasai
orang-orang kaya bukan petani, agar jurang pemisah antara petani
penggarap 'dengan pemilik tanah tidak semakin melebar.
Kerawanan sosial memang bisa timbul akibat terbatasnya tanah.
Salah satu contoh adalah makin banyaknya sengketa yang timbul
dalam memperebutkan tanah. Luas tanah tetap sedang peminatnya
terus bertambah. Akibatnya petani tanpa tanah makin banyak,
demikian juga pemilikan tanah semakin sempit. Pada 1905,
sebanyak 31% petani lapisan bawah di Jawa menguasai tanah
rata-rata 0,27 Ha. Hampir 70 tahun kemudian, menurut sensus
pertanian 1973 jumlah petani lapisan bawah yang memiliki tanah
rata-rata 0,25 Ha meningkat menjadi 59%.
Menyempitnya pemilikan tanah oleh petani serta meningkatnya
jumlah petani tak bertanah pernah disebut Sugiharto sebagai
bukti terjadinya "proses pemelaratan" petani Indonesia. Dan
tampaknya kecenderungan ini tidak lagi hanya terjadi di Jawa.
Menurut Masri Singarimbun, Direktur Lembaga Kependudukan
Universitas Gajah Mada (UGM), suatu penelitian di Pidie, Aceh,
pada 1973 mengungkapkan keluarga petani rata-rata memiliki 0,4
Ha sawah. Bahkan 53% responden mengatakan tidak mempunyai tanah
persawahan. Tanah yang mereka garap kebanyakan dimiliki para
pedagang dan pejabat pemenntah yang tinggal di Banda Aceh Medan
atau Jakarta.
Beberapa data itu menimbulkan Pertanyaan Betulkah kebanyakan
tanah sekarang ini dimiliki orang kaya? Dengan kata lain:
Betulkah saat ini timbul tuan-tuan tanah baru?
Istilah tuan tanah sering menimbulkan kenangan pahit. "Di
Kalimantan Barat, orang takut bicara masalah tanah karena takut
dituduh PKI," kata anggota DPR dari Fraksi PDI Sabam Sirait.
Mungkin itu sisa warisan anggapan, bahwa Landreform atau UUPA
merupakan "karya PKI". Adanya anggapan yang salah ini diakui
oleh Dirjen Agraria Daryono. "Yang sering menuduh PKI itu
umumnya calo. Dan biasanya mereka tidak bekerja sendiri, tapi
bekerjasama dengan orang dalam, " katanya. Agaknya, "senjata"
ini masih dianggap ampuh, hingga sampai kini tuduhan itu masih
sering dipakai.
"Begitu negara kita merdeka, karena negara kita ini agraris,
seharusnya masalah yang harus kita tangani pertama adalah
masalah tanah," kata Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI) Martono yang juga menjabat Menteri Muda Urusan
Transmigrasi. Masalah tanah seharusnya diselesaikan dulu secara
tuntas, apalagi karena pembangunan pertanian yang menjadi pusat
pembangunan ekonomi memerlukan tanah. Ia melihat UUPA ini belum
pernah dilaksanakan secara konsekwen. Artinya: apa yang
ditentukan UU itu harus dilaksanakan.
"UUPA memang belum sepenuhnya dilaksanakan. Tapi tidak benar
bahwa selama ini pemerintah tidak bekerja apa-apa," bantah
Daryono. Sebagai aparat pelaksana ia akan melaksanakan sejauh
mungkin ketentuan UU yang ada. "Jelas ada kemauan politik
pemerintah untuk menjalankan UUPA dan menertibkan
pelaksanaannya," katanya. Ia menunjuk pada tekad pemerintah
bahwa pemanfaatan tanah akan makin diarahkan untuk menjamin
kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dengan penataan kembali
penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Pemunculan kembali
banyak sengketa tanah lama saat ini menunjukkan bahwa masyarakat
menganggap situasinya cukup baik untuk mempermasalahkannya.
Rencana dibentuknya Tim Khusus Opstib juga membuktikan adanya
tekad pemerintah membereskan sengketa tanah yang ada.
Pelanggaran ketentuan agraria yang kini merajalela mungkin
karena tiadanya sanksi yang jelas. Tidak ada ancaman hukuman
misalnya pada pemilik tanah yang berlebihan atau tuan tanah
absen itu. "Tapi apabila bukti seseorang memiliki sertifikat
yang tidak benar, pihak Agraria bisa meninjau atau mencabutnya."
kata Daryono.
Ditjen Agraria menganut sistim pasif dalam pendaftaran tanah dan
memang tidak ada wewenang untuk menjatuhkan sanksi. "Tapi mulai
Pelita III kita mau mencoba untuk lebih aktif dengan akan
dimulainya wajib daftar tanah bagi para pemiliknya." Ditjen
Agraria, katanya, selama ini tidak bisa mengetahui adanya
pemilikan yang melanggar ketentuan undang-undang. Banyak pemilik
yang memakai nama orang lain waktu mendaftarkan tanah, begitu
juga pemindahan hak sering dilakukan di bawah tangan tanpa
sepengetahuan kantor Agraria. Dengan adanya inventarisasi tanah
melalui wajib daftar ini adanya pelanggaran bisa diketahui. Tapi
agaknya para pelanggar masih boleh bernapas lega: inventarisasi
tanah ini bisa memakan waktu puluhan tahun.
Masalah tanah memang bukan masalah agraria semata. Banyak
masalah lain yang berkaitan dengannya: politik, sosial ekonomi,
keamanan dan juga keadilan. Ini jelas terlihat dalam masalah
sengketa tanah. Kasus lama umumnya antara petani penggarap
dengan perkebunan, sedang kasus baru kebanyakan sengketa antara
rakyat pemilik atau penggarap tanah dengan pemerintah atau
instansi pemerintah serta perusahaan swasta.
Sumatera Utara menempati kedudukan teratas dengan jumlah 156
kasus sengketa tanah, hampir semuanya antara petani penggarap
dengan perkebunan. Banyak perkebunan besar milik asing di
Sumatera Timur yang lahir setelah pemberian konsensi tanah oleh
Sultan Deli Mahmud Perkllsa Alamsyah, menyusuli perjanjiannya
dengan Belanda pada 1862. Antara lain perkebunan tembakau yang
diusahakan oleh Deli Mij di daerah Deli Serdang dan Langkat
(kini PTP IX).
Ada ketentuan pada waktu itu penduduk sekitar perkebunan boleh
menanami tanah perkeblnan dengan tanaman padi selama tembakau
tidak ditanam di situ. Penggarapan tanah yang disebut hak pakai
"tanah jaluran" ini berjalan mulus.
Sekitar 1950-an keruwetan mulai timbul, ketika para petani yang
sementara itu sudah bertambah dengan pendatang baru, mulai
menanami tanah jaluran itu dengan tanaman keras. Ketika
perkebunan mau memakai sendiri tanahnya, para petani menolak
sebelum mereka dibayar ganti rugi. Dan biasanya kesepakatan
sulit dicapai. Bentrokan pisik sering terjadi dan pihak
perkebunan terpaksa melakukan kekerasan. Tak jarang timbul
bentrokan berdarah, yang terkenal misalnya Peristiwa Tanjung
Morawa dan Bandar Betsy di mana PKI turut main.
Begitu laparnya petani atas tanah, hingga misalnya, dari 59 ribu
Ha tanah yang diberikan Hak Guna Usaha pada PTP IX pada 1965
ketika belum lama ini diteliti, 7 ribu Ha di antaranya sudah
digarap petani.
Di Kabupaten Langkat, Simalungun Deli Serdang, Asahan dan
Labuhan Batu malah lebih parah. Dari 570 ribu Ha tanah
perkebunan di daerah ini, setelah diteliti ternyata tanah
perkebunan yang tinggal hanya berkisar 25 ribu Ha saja. Kasus
sengketa tanah dianggap peka dl Sumatera Utara, hingga setiap
kali terjadi suasana yang panas -- misalnya waktu terjadi kasus
'Gunung Bokor' tahun lalu -- selalu muncul isyu 'revolusi
sosial'. Tapi untung yang berwajib di sana menganggap desas
desus itu tidak berdasar karena tidak ada yang menghendaki
kejadian seperti itu terulang kembali.
Jawa Barat, juga Jakarta, serta Jawa Timur mencatat lebih dari
100 sengketa tanah. Kasus tanah yang terjadi di daerah perkotaan
biasanya akibat proyek pembangunan yang menggeser tanah milik
rakyat. Rencana pembangunan suatu proyek sering tidak diumumkan
secara terbuka hingga menimbulkan spekulasi tanah serta
'permainan' yang melibatkan juga banyak pejabat.
"Sebenarnyaprinsip yang dianut adalah keterbukaan. Tapi
keterbukaan juga mengandung risiko timbulnya spekulasi," kata
Daryono.
Penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan tidak selamanya
memuaskan rakyat. Alasannya orang ragu akan "bersihnya" aparat
pengadilan. Para petani memang tidak selalu berhasil dalam
penyelesaian lewat pengadilan. Kasus tanah desa Mentul di Cepu
bisa dijadikan contoh. Pada 1974, mendadak ada suatu panitia
yang mengumpulkan surat tanah dan sawah dari 53 penduduk desa
ini melalui Sarekat Desa. Alasannya: surat itu mau diperbaharui.
Panitia mulai mcngukur tanah di sana sini. Para pemilik bingung.
Baru setelah berpuluh truk menurunkan bahan bangunan di atas
tanah dan sawah mereka serta merusak tanaman, barulah mereka
sadar latar belakang pengumpulan surat tanah mereka.
Tiga hari setelah "penyerbuan", baru panitia menyempatkan diri
memberitahu maksud mereka. Tanah mereka direncanakan sebagai
tempat pembangunan gedung Pusdik Migas (Pusat Pendidikan Minyak
& Gas). Para petani digiring ke kelurahan. Di sana panitia
mengambil keputusan sepihak. Ganti rugi ditetapkan Rp 80 dan Rp
90 per meter. Siapa yang menolak bisa dicap PKI dan tanahnya
tetap akan ditraktor. "Siapa yang berani menentang, ngacung
(tunjuk jari)," begitu ancam panitia menurut laporan Aris,
seorang penduduk desa Mentul pada Irjen Depdagri. Tentu saja
tidak ada yang berani dicap PKI.
Panitia jalan terus, cap jempol penduduk dikumpulkan di atas
kertas kosong secara paksa. Ternyata ini kemudian digunakan
panitia untuk membuat laporan pernyataan kerelaan penduduk pada
Gubernur Jawa Tengah. Berikutnya kembali rakyat dikumpulkan di
kelurahan. Kali ini mereka dibagi amplop berisi uang ganti rugi.
Tidak tertera angka yang menyebutkan perincian ganti rugi per
meter, bahkan penerima dilarang menghitung bagiannya langsung.
Tak semua mau menerima, banyak yang menghindar. Nasib mereka
ternyata lebih buruk: mereka ditangkap, ditahan disertai
berbagai ancaman. Akibatnya banyak yang melarikan diri, malahan
ada yang mengungsi ke hutan. Melalul seorang pengacara Yogya,
Marhaban Zainun, para petani mengajukan gugatan perdata ke
Pengadilan Negeri Blora. Yang digugat: Kepala Pusdik Migas Cepu
dan Bupati Blora.
24 Januari lalu Pengadilan Negeri Blora menjatuhkan
keputusannya. Hari itu tampak pasukan keamanan siap siaga, suatu
hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan hakim
menolak gugatan penggugat seluruhnya sera menghukum penggugat
untuk membayar biaya perkara. Malamnya di desa Mentul diadakan
jam malam, tapi tidak terjadi suatu apapun. Hanya Nasran, salah
satu di antara para petani penggugat, mencoba bunuh diri, tapi
berhasil digagalkan. Bahwa mereka tidak puas, itu jelas.
Kabarnya mereka akan meneruskan perkara ini ke Opstib Pusat.
Dalam banyak kasus sengketa, rakyat hampir selalu dirugikan.
Protes mereka terkadang keras. Mungkin merasa suara mereka tidak
banyak didengar. Pada dinihari 9 Januari lalu misalnya, 16 orang
berseragam hitam membabat 2 Ha tanaman tebu pabrik gula Semboro
di desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji (Jember). Dua hari
sebelumnya got-got di kebun ini sudah dirusak. Pembabatan tebu
ini berulang siang harinya, 2 Ha lagi dalam waktu 2 jam.
Terang-terangan.
Komres Jember sudah memanggil ke 16 orang ini, tapi tidak ada
yang ditahan. Kabarnya pembabatan ini karena mereka jengkel:
tanah mereka disewa pabrik gula secara sepihak untuk ditanami
tebu dengan uang sewa Rp 253 ribu per Ha. Sejak semula ke 16
orang ini menolak untuk disewa. Mereka malahan mengembalikan
uang sewa yang dikirimkan pada mereka lewat poswesel. Akhirnya,
setelah ditempuh berbagai jalan, mereka bersedia juga menerima
uang sewa itu.
Tapi sebelum pabrik sempat menggarap tanah ini, mereka mulai
membajak sawah untuk menanam padi gadu. Perundingan dilakukan
lagi. Para petani akhirnya mengalah, tanah akan diserahkan
setelah panen padi gadu. Dibuat surat pernyataan dengan cap
jempol yang juga menyebutkan mereka tetap menolak uang sewa
meskipun berjanji tidak akan mengadakan penuntutan di kemudian
hari.
Dua minggu setelah pernyataan ini Bupati Jember mengirim kawat
ke PG Semboro. Isinya: Sesudah panen tanah harus disewakan pada
PG Semboro. Kalau tidak disewakan dipatok merah. Tentang
kemungkinan kurangnya harga sewa akan diperjuangkan.
"Berdasar kawat ini PG Semboro berani melakukan penggarapan,"
kata Sugiyono, sinder PG itu. Para petani membiarkan tanah
mereka digarap. Rupanya mereka mengharapkan sekali kalimat
"kemungkinan kurangnya uang sewa akan diperjuangkan." Ini
dianggap janji sang bupati. Baru setelah 3 bulan tidak ada kabar
lanjut dari "perjuangan" ini, mereka jengkel dan mengambil
tindakan sendiri. Tarip sewa di luar untuk tanah kelas I seperti
milik mereka disewa Rp 250 ribu/Ha per tahun, sedang PC Semboro
menyewanya Rp 253 ribu untuk 18 bulan. Jika ditanami padi bisa
menghasilkan sekitar Rp 1 juta, sedang kalau ditanami tebu
sendiri bisa menghasilkan sekitar Rp 500 ribu.
Jumat 2 Pebruari lalu terjadi pembabatan tebu lagi seluas 5 Ha.
Kali ini pelakunya lebih banyak lagi, sekitar 60-an orang.
Mereka melakukannya terang-terangan dengan pakaian sehari-hari
mereka yang serba hitam. Komres Jember langsung menahan 6 orang
yang diduga tokohnya. Tapi apakah penahanan itu akan
menyelesaikan sengketa itu?
Tanah buat petani memang berarti segalanya. Tanah adalah hidup
mereka. Sedumuk batuk senyari bumi yen perlu den toh pati kata
sebuah ungkapan Jawa (Sekalipun sedikit, kalau perlu dibela
sampai mati). Mungkin inilah yang mendorong petani mengapa
mereka bisa begitu keras bersikap untuk mempertahankan tanah
mereka. Dan juga mengapa mereka begitu mudah terpikat oleh janji
yang disertai pembagian tanah. Mungkin juga sekarang mereka
lebih bijaksana: mereka telah melihat nasib sejawat mereka yang
melepaskan tanah mereka dan terpaksa lari memburuh ke kota dan
kehilangan "akar" mereka.
Di kota-kota, tanah telah mempunyai arti lain. Tanah dianggap
sebagai tabungan yang tidak lagi mempunyai nilai sakral, tapi
bernilai sosial ekonomis. Tanah di kota makin padat dengan harga
yang semakin melangit. Akibatnya: modal kota menyerbu ke desa
yang tanahnya sudah terpecah sempit oleh sistim pewarisan yang
berlaku. UUPA dan perundangan yang ada ternyata belum mampu
melindungi petani seperti yang dimaksudkan. Hanya satu
alasannya: UUPA belum bisa dijalankan sepenuhnya. Bagaimana
penyelesaiannya?
"Kontrol sosial terutama oleh parpol perlu ditingkatkan," kata
Mubyarto, tokoh ekonomi pertanian dari UGM. Ia menganggap
kebijaksanaan pemerintah yang mengatur penggunaan tanah
terkadang kurang tepat. Misalnya, seharusnya daerah yang subur
dilarang didirikan pabrik. Ia juga punya usul. Perlu adanya
undang-undang yang melarang penjualan tanah pertanian yang
sempit. "Misalnya tanah setengah hektar tidak boleh dijual,
paling sedikit misalnya dua hektar." Ini bisa menghindarkan
petani kecil untuk tidak kehilangan tanahnya. Tapi Mubyarto
masih meragukan kemungkinan peraturan semacam itu dijalankan.
Bagaimana kalau petani betul-betul memerlukan uang? "Apakah
petani itu harus dihukum kalau menjual tanahnya yang sempit? ".
"Banyak kasus yang tidak terselesaikan karena kita segan-segan.
Misalnya karena tanah ini punya bapak anu hingga tak berani
ditindak sekalipun memang salah. Ini sisa pengaruh feodalisme,"
kata Ketua HKTI Martono. Ia melihat perlunya semua pihak,
masyarakat dan pemerintah, untuk ikut secara terbuka
mengemukakan dan mengetahui pelaksanaan UUPA ini.
Oka Mahendra, Ketua Tim Tanah FKP berpendapat perlunya kembali
disusun administrasi tanah dan menegakkan kembali tertib hukum
agar tidak terjadi lai penyalahgunaan.
Usaha seperti itu tampaknya mulai dilakukan Ditjen Agraria.
Pertanyaannya: Apakah orang cukup bersabar untuk menunggu
puluhan tahun sebelum masalah penyalahgunaan tanah ini bisa
dibereskan? Transmigrasi diharapkan akan membantu mengurangi
kelaparan tanah di Jawa. Tapi pemilikan tanah yang berlebihan
menyangkut segi yang lebih peka lagi: rasa keadilan masyarakat
yang belakangan ini makin meningkat. Sementara kota bertambah
padat dan orang kota menyerbu pedesaan dengan membawa serta gaya
hidup mereka, jurang yang ingin dipersempit antara kedua
kelompok ini bisa jadi makin melebar.
Mungkin potret pantai Carita di Banten, bisa melukiskan
perkembangan ini. Pantai sepanjang 5 Km dengan lebar rata-rata
30 meter di desa Sukarame, Kecamatan Labuhan, Pandeglang ini
masih pantai asli dan sepi, penuh pohon kelapa di tahun 1970-an.
Harga tanah pada 1972 Rp 150 permeter. Seorang Jerman, Dr. Axel
Ridder melihat indahnya pantai ini dan menjadi orang pertama
yang mendirikan pesanggerahan pada 1972. Berbondong-bondong
segera orang Jakarta menyerbu pantai itu dan kini tidak ada lagi
penduduk asli yang tinggal di situ.
Harga tanah melonjak menjadi Rp 3 ribu per meter tahun lalu.
Puluhan villa pribadi dan hotel memenuhi pantai yang kini tidak
sepi ini. Banyak di antaranya dimiliki "bapak-bapak" dari
Jakarta yang namanya cukup beken. Suasananya kini berobah. Mulai
Jum'at sampai Minggu pantai ini diramaikan dengan mobil mewah
yang lalu lalang. Hingga sering timbul kesan tak enak buat
penduduk Carita. "Hendaknya mereka jangan foya-foya di depan
kami yang hidup melarat," keluh seorang penduduh Carita.
Adakah cerita Carita ini mewakil Indonesia sekarang ini?
Mudah-mudahan tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini