Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Faktor Dalam Diri Manusia

Indonesia disibukan dengan penataran p4 untuk mentransformasikan manusia lumrah menjadi manusia teladan. Keberhasilannya tidak akan terlepas dari faktor-faktor yang ada dalam diri manusia yang independen.

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Faktor Dalam Diri Manusia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MARXISME tidak dilahirkan oleh Marx di meja perpustakaan British Museum. Pancasila tak ditemukan Bung Karno di lapangan belakang sebuah rumah di Pegangsaan Timur. Apakah masuk-akal jika kita katakan Dr. Sun Yatsen mendapatkan San Min Chu-I ketika ia habis makan bakso? Ideologi lahir, oleh proses panjang-paduan semangat dan percikan permenungan yang tak cuma milik orang seorang. Marx membaca Hegel, Bung Karno membaca Marx, Pak Ruslan Abdulgani membaca Bung Karno. Semuanya membaca sejumlah buku, berita koran, melihat hidup, mengalaminya dan berbisik-bisik dengan jutaan jiwa yang takut, yang berharap, atau yang membisu. Itulah sebabnya ideologi, seperti halnya suatu sistem filsafat, tidak mudah ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, dari seorang individu ke individu lain. Pengarang buku termashur The tory of Phlosopy, Will Durant, pernah berkata tentang filsafat "suatu proses yang tak sadar dari bawah menentukan fikiran sadar yang berada di atasnya." Bahkan seseorang mungkin memilih saham atau ideologinya karena kecenderungan watak dan kepribadiannya yang terbentuk semenjak ia kecil. Seorang psikolog mungkin bisa menjelaskan radikalisme Mao Tse-tung antara lain disebabkan oleh pembarigkangannya terhadap bapaknya. Sudah barang tentu sistem filsafat, dan juga ideologi, bisa memberi petunjuk dan menularkan sikap. Namun ia tak bisa menciptakan mukjizat. Sebagaimana omong kosong untuk memastikan bahwa hanya faktor ideologilah yang menyebabkan terjadinya pergolakan politik suatu negeri, demikian juga omong kosong bila menyangka ideologilah yang menyebabkan ketimun tumbuh. Seorang petani Cina yang mengaku bahwa buah ketimunnya tumbuh lebih besar berkat ia tiap pagi membaca kutipan Mao adalah umat yang terlanjur. Ia mengira Maoisme seperti mantera. Untung, kita di Indonesia agaknya belum terlanjur. Di masa ketika kita kini sibuk dengan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila), rasanya kita toh masih sempat menakar kemungkinan daya penaruh ideologi bagi kehidupan. Dan, tentu juga, menakar batas-batasnya. Sebab kita sering dengar orang berkata: "Ah, agamanya sih baik, tapi orang-orangnya . . . " dan itu berarti bahwa kita mengakui ada faktor-faktor dalam diri manusia yang independen dari ajaran yang betapapun baik dan kuatnya. Dengan kata lain, doktrin tak akan bisa menyulap. Penataran apapun tak akan bisa mentransformasikan manusia lumrah menjadi insan kamil. ** Tak akan ada manusia yang sempurna, dan itu berarti tak ada manusia yang bisa jadi tauladan yang lengkap. Mencari model "manusia Pancasilais paripurna" paling-paling sama dengan mencari dongeng ketika kita sudah uzur. Memang, dalam Wedatama, orang Jawa diminta nuladba laku utama, meneladan perilaku luhur, dari Panembahan Senapati yang berkuasa di Mataram dulu. Tapi di jaman seperti sekarang, ketika daya kritis begitu tinggi dan kemampuan memperoleh informasi serta perbandingan begitu banyak, tokoh-tokoh besar menjadi relatif. Namun itu tak berarti tak ada tauladan yang baik. Hanya mungkin kita perlu lebih berendah-hati marilah yang kita jadikan tauladan bukan orang-orang, melainkan perbuatan-perbuatan. Sebab sikap dan tindakan tertentu bisa bernilai mulia dan mengagumkan, tapi tokohnya, si A atau si B, belum tentu selamanya mulia dan mengagumkan. Atau barangkali kita justru harus meneladan seseorang lengkap dengan kesalahan dan kelemahannya -- serta bagaimana ia mengatasi itu. Dengan kata lain, tak mungkinkah contoh "manusia Pancasila" justru berwujud dalam manusia yang terus-menerus memperbaiki diri sendiri -- dan karenanya tak takut kritik yang paling tajam sekalipun? Iskandar Zulkarnain dari Macedonia berkirim surat kepada gurunya bahwa ia ingin lebih unggul dalam pengetahuan tentang apa yang baik, ketimbang unggul dalam luasnya jajahan dan kekuasaan. Dan gurunya mafhum untuk berkuasa hanya diperlukan tindakan, untuk menjadi baik diperlukan kebiasaan, proses yang tak putus-putusnya. Seperti kata sang guru, Aristoteles, dalam risalah etiknya "Bukan seekor burung layang-layang atau sepotong hari cerah ang membikin sebuah musim semi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus