MARXISME tidak dilahirkan oleh Marx di meja perpustakaan British
Museum. Pancasila tak ditemukan Bung Karno di lapangan belakang
sebuah rumah di Pegangsaan Timur. Apakah masuk-akal jika kita
katakan Dr. Sun Yatsen mendapatkan San Min Chu-I ketika ia habis
makan bakso?
Ideologi lahir, oleh proses panjang-paduan semangat dan percikan
permenungan yang tak cuma milik orang seorang. Marx membaca
Hegel, Bung Karno membaca Marx, Pak Ruslan Abdulgani membaca
Bung Karno. Semuanya membaca sejumlah buku, berita koran,
melihat hidup, mengalaminya dan berbisik-bisik dengan jutaan
jiwa yang takut, yang berharap, atau yang membisu.
Itulah sebabnya ideologi, seperti halnya suatu sistem filsafat,
tidak mudah ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke
masyarakat lain, dari seorang individu ke individu lain.
Pengarang buku termashur The tory of Phlosopy, Will Durant,
pernah berkata tentang filsafat "suatu proses yang tak sadar
dari bawah menentukan fikiran sadar yang berada di atasnya."
Bahkan seseorang mungkin memilih saham atau ideologinya karena
kecenderungan watak dan kepribadiannya yang terbentuk semenjak
ia kecil. Seorang psikolog mungkin bisa menjelaskan radikalisme
Mao Tse-tung antara lain disebabkan oleh pembarigkangannya
terhadap bapaknya.
Sudah barang tentu sistem filsafat, dan juga ideologi, bisa
memberi petunjuk dan menularkan sikap. Namun ia tak bisa
menciptakan mukjizat. Sebagaimana omong kosong untuk memastikan
bahwa hanya faktor ideologilah yang menyebabkan terjadinya
pergolakan politik suatu negeri, demikian juga omong kosong bila
menyangka ideologilah yang menyebabkan ketimun tumbuh. Seorang
petani Cina yang mengaku bahwa buah ketimunnya tumbuh lebih
besar berkat ia tiap pagi membaca kutipan Mao adalah umat yang
terlanjur. Ia mengira Maoisme seperti mantera.
Untung, kita di Indonesia agaknya belum terlanjur. Di masa
ketika kita kini sibuk dengan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila), rasanya kita toh masih sempat menakar
kemungkinan daya penaruh ideologi bagi kehidupan. Dan, tentu
juga, menakar batas-batasnya. Sebab kita sering dengar orang
berkata: "Ah, agamanya sih baik, tapi orang-orangnya . . . "
dan itu berarti bahwa kita mengakui ada faktor-faktor dalam
diri manusia yang independen dari ajaran yang betapapun baik dan
kuatnya.
Dengan kata lain, doktrin tak akan bisa menyulap. Penataran
apapun tak akan bisa mentransformasikan manusia lumrah menjadi
insan kamil.
**
Tak akan ada manusia yang sempurna, dan itu berarti tak ada
manusia yang bisa jadi tauladan yang lengkap. Mencari model
"manusia Pancasilais paripurna" paling-paling sama dengan
mencari dongeng ketika kita sudah uzur. Memang, dalam Wedatama,
orang Jawa diminta nuladba laku utama, meneladan perilaku luhur,
dari Panembahan Senapati yang berkuasa di Mataram dulu. Tapi di
jaman seperti sekarang, ketika daya kritis begitu tinggi dan
kemampuan memperoleh informasi serta perbandingan begitu banyak,
tokoh-tokoh besar menjadi relatif.
Namun itu tak berarti tak ada tauladan yang baik. Hanya mungkin
kita perlu lebih berendah-hati marilah yang kita jadikan
tauladan bukan orang-orang, melainkan perbuatan-perbuatan. Sebab
sikap dan tindakan tertentu bisa bernilai mulia dan mengagumkan,
tapi tokohnya, si A atau si B, belum tentu selamanya mulia dan
mengagumkan.
Atau barangkali kita justru harus meneladan seseorang lengkap
dengan kesalahan dan kelemahannya -- serta bagaimana ia
mengatasi itu. Dengan kata lain, tak mungkinkah contoh "manusia
Pancasila" justru berwujud dalam manusia yang terus-menerus
memperbaiki diri sendiri -- dan karenanya tak takut kritik yang
paling tajam sekalipun?
Iskandar Zulkarnain dari Macedonia berkirim surat kepada gurunya
bahwa ia ingin lebih unggul dalam pengetahuan tentang apa yang
baik, ketimbang unggul dalam luasnya jajahan dan kekuasaan. Dan
gurunya mafhum untuk berkuasa hanya diperlukan tindakan, untuk
menjadi baik diperlukan kebiasaan, proses yang tak
putus-putusnya. Seperti kata sang guru, Aristoteles, dalam
risalah etiknya "Bukan seekor burung layang-layang atau sepotong
hari cerah ang membikin sebuah musim semi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini