Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pakel mati sendirian, meskipun ia memiliki anak dan istri.
Tapi siapa pula yang tahan dengan bau pesing sekaligus bau busuk dari kamar itu?
Kamar tempat Pakel selama bertahun-tahun berbaring, makan, kencing, dan berak.
MAYAT itu sudah kaku saat ditemukan. Patut diduga tidak ada satu pun orang yang mengawal kematiannya. Pakel mati sendirian, meskipun sebenarnya ia masih memiliki anak dan istri. Tapi siapa pula yang tahan dengan bau pesing sekaligus bau busuk yang menguar dari kamar paling belakang rumah itu? Yah, kamar tempat Pakel selama bertahun-tahun berbaring, makan, kencing, dan berak. Pakel mati sendirian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat akan dipindahkan, kulit punggung mayat Pakel mengelupas, menempel di tikar pandan yang menjadi alas tidurnya selama bertahun-tahun. Orang-orang yang sudah berpengalaman dengan mayat mengerti belaka bahwa kulit punggung mayat yang mengelupas dan menempel di tikar adalah akibat dari tak pernah digantinya posisi tubuh dan tikar yang bertahun-tahun sudah menyatu dengan air kencing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kematian Pakel yang begitu menyedihkan sekaligus menjijikkan itu tidak bisa tidak membuat Mak Goroh mengaitkannya dengan perilaku Pakel selama hidupnya. Pakel dikenal memiliki perangai yang buruk semasa hidupnya, lebih tepatnya perilaku kurang ajar terhadap ibunya. Ketika masih hidup, Pakel atau nama aslinya Wargiman adalah seorang guru agama terkemuka di desanya, bahkan ia guru pertama yang memiliki sepeda motor di desanya.
Pakel hidup bersama ibunya, Nini Ham, seorang buruh tani. Jangan tanya ayahnya. Ayahnya telah meninggalkan Pakel dan keluarganya saat ia masih kecil. Ayahnya mencoba peruntungan menjadi seorang transmigran di Sumatera, tapi sampai sekarang tak pernah pulang. Berkirim kabar pun tidak, boro-boro kirim duit.
Pakel tentu saja berutang banyak kepada ibu satu-satunya itu. Dan Nini Ham sebagai ibu tentu saja sangat berharap anaknya kelak akan menjadi orang. Tapi memang terkadang apa yang diharapkan sering kali meleset, jauh panggang dari api. Pakel, yang digadang-gadang menjadi kebanggaan keluarga dan diharapkan akan membantu adik-adiknya mentas, malah menjadi orang berengsek, anak mursal yang tak tahu diri. Ia memang berhasil dalam capaian kariernya. Tapi, sebagai seorang pribadi, ia pribadi rusak yang kurang ajar kepada ibu. Harapan Nini Ham mungkin kurang lengkap, harusnya ia berdoa dan berharap agar Pakel menjadi orang; orang yang baik dan benar. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Pakel tetaplah Pakel; Si Malin Kundang abad ke-20.
Hal ini bermula sekitar lima tahun lalu. Saat ia belum terkena stroke menahun, dan lambat laun merenggut kesadarannya. Diserang skizofrenia, lalu sebelum kemudian menjadi gila. Menurut cerita yang didengar Mak Goroh, tetangga Nini Ham. Kegilaan Pakel dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, sebuah kejadian ajaib, nyaris berlangsung singkat tapi menjungkirbalikkan hidup Pakel 180 derajat. Itu mengubah Pakel dari orang yang terhormat menjadi orang gila, akibat sebuah kutukan yang sekali diucapkan langsung terjadi.
“Kira-kira begini ceritanya,” ujar Mak Goroh memulai ceritanya di depan ibu-ibu yang sedang merubunginya. Dalam sebuah pengajian rutin ibu-ibu, bertahun-tahun setelah kematian Pakel.
“Pada suatu siang yang panas, Nini Ham baru saja selesai mengikuti pengajian tarikat di Sokaraja. Ia lalu pulang dengan berjalan kaki. Pakel waktu itu sudah menjadi guru agama terkemuka yang kebetulan tengah pulang dari kantornya dengan menaiki sepeda motor. Tapi, memang dasar anak mursal durhaka, saat ia tengah berpapasan dengan Nini Ham yang tengah berjalan kaki, Pakel pura-pura tidak melihatnya. Bahkan ia melengos memalingkan wajah dengan sengaja. Coba bayangkan teman-teman,” ucap Mak Goroh tanpa jeda.
“Nini Ham yang melihat itu tentu saja tidak habis pikir bahwa anak lelaki satu-satunya di keluarga akan melakukan hal tolol dan kurang ajar semacam itu. Maka ucapan seorang ibu adalah benar, dan mulut seorang ibu yang baru selesai mengaji takkan pernah meleset ucapannya, tajam, ampuh, dan kontan. Maka dengan rasa kesal Nini Ham melontarkan umpatan itu dari mulutnya ‘O… Guru gemblung’ dan ya kalian tahu setelah itu apa yang terjadi. Apa yang terjadi, maka terjadilah.”
“Masak gara gara itu saja bisa membuat orang menjadi gila, Yu?” celetuk seorang ibu-ibu di kerumunan lingkaran pergibahan itu.
“Lo, memang kelihatannya sepele, tapi apakah kamu sangsi dengan ucapan seorang ibu? Apalagi kata-kata dari seorang ibu yang baru pulang mengaji itu mandhi, ampuh. Sekali ucap langsung terkabul. Makanya kalian itu para ibu, jangan suka mengutuk anak-anak, meskipun anak kalian itu bandel, bajingan, maling, pencoleng, atau koruptor sekalipun, seorang anak ya tetap anak. Anak akan tetap menjadi anaknya ibu. Jadi, jangan sembarangan kalau ngomong. Mau memang kalau anak kalian jadi seperti Pakel?”
“Nauzubillah, amit-amit jabang bayi, Yu,” ucap salah satu ibu-ibu menimpali sambil merinding dan mengelus dada.
“Lalu setelah kejadian itu apa yang terjadi pada Nini Ham Yu?” tanya ibu-ibu yang lain penasaran
“Menurut cerita yang kudengar, Nenek itu menyesal seumur hidupnya. Bahkan saat anaknya mati, ia tidak bisa melihatnya untuk yang terakhir kali.”
“Kasihan ya, Yu.”
“Ya, kasihan enggak kasihan. Mau bagaimana lagi, sudah begitu jalannya. Makanya kalian yang sekarang menjadi ibu jangan suka mengumpati anak.”
“Yah, tapi kalau anaknya kurang ajar seperti Pakel ya kita juga sepertinya akan melakukan hal yang sama seperti Nini Ham, Yu.”
“Makanya anak-anak kalian dididik yang benar,” timpal Mak Goroh.
“Sudah Yu, anak tetap bandel, ngeyel,” bantah ibu-ibu yang lain.
“Ya, sudah, pasrah ke Allah.”
“Nah, kalau pasrah nanti memangnya akan berubah, Yu?”
“Ya doakan, yang penting jangan sampai kalian mengutuk anak kalian sendiri.”
Selesai Mak Goroh melakukan diskusi tanya-jawab dengan lingkaran gibahnya itu, ia kemudian mendengar teriakan di seberang jalan dari seseorang yang memanggil namanya.
“Yu… Yu Goroh!!! Ini lihat anakmu mendhem lagi,” seorang pria paruh baya membawa seorang anak yang berjalan sempoyongan dengan muntahan yang belepotan di mulut dan di dadanya.
“Ya, Alloh Gusti Pangeran, anakku cah bagus, kamu mendhem lagi,” Mak Goroh segera berlari menuju anaknya yang tengah mabuk dan menempiling anaknya. Lalu ia segera memapah anak bujangnya itu pulang.
Purwokerto, November 2024
Juli Prasetya adalah penulis muda asal Banyumas, Jawa Tengah. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo