Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Delapan komunitas difabel di Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar pameran seni bersama bertajuk Suluh Sumurup Art Festival: Gegandengan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Pameran seni yang dikuratori Budi Sukri Dharma, Nano Warsana dan Budi Irwanto itu berlangsung mulai 14 hingga 22 September 2023 dan menyajikan total sebanyak 159 karya seni dua dan tiga dimensi.
Karya Warna-warni dari Komunitas Difabel
Yang menarik, hampir semua karya penuh nuansa warna-warni menggambarkan ekspresi keceriaan. Sulit menemukan karya yang menyiratkan kemuraman atau kepedihan meski para difabel itu berkekurangan secara fisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu contoh, karya Zaka Nurul Giffani Hadi berjudul Kisah Petualang bersama Elang yang melukiskan objek oval saling bertubrukan membentuk sosok manusia dan elang dengan bingkai penuh warna cerah. Lalu lukisan karya Muhammad Hariyanto x Bagas yang berjudul Bahasa Isyarat Bahasa Ibu, Difabel Sedunia Menyatulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana pameran bertajuk Suluh Sumurup Art Festival : Gegandengan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang digelar kelompok difabel Yogyakarta. Tempo/Pribadi Wicaksono.
Meski seakan judul lukisan itu mengingatkan seruan garang Karl Marx dan Friedrich Engels pada kaum buruh di abad 19, namun karya yang tergambar lebih dominan sosok sosok penuh senyuman, bukan kemarahan. Ada pula fragmen kumpulan karya dari kelompok difabel asal Kabupaten Gunungkidul yang dilukis menggunakan bahan tepung membentuk berbagai pola tak seragam namun tampak padu satu sama lain.
"Dari karya yang dipamerkan ini kami justru melihat kelompok difabel yang selama ini dilihat sebagai subjek tergantung, tapi di sini mereka subjek yang sangat kreatif," kata Budi Irwanto, salah satu tim kurator Kamis, 14 September 2023.
Tema Karya Beragam dan Jujur
Tim kurator, kata Budi, mencoba tak menggunakan parameter hasil akhir karya para kelompok difabel sebagai ukuran melihat kreativitas mereka. Tapi daya ungkap dari karya yang dihasilkan sarat kejujuran. Hal ini menjadi penting lantaran sebagai pintu masuk untuk melihat proses pergulatan mereka membuat karya yang sangat beragam tema dan aliran.
Suasana pameran bertajuk Suluh Sumurup Art Festival : Gegandengan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang digelar kelompok difabel Yogyakarta. Tempo/Pribadi Wicaksono.
"Keberagaman berproses itu menjadi keunikan yang layak kita hormati," kata Budi. Lebih dari itu, Budi melanjutkan, dari pameran itu bisa terlihat bahwa seni tak hanya bisa merepresentasikan kondisi disabilitas tapi sekaligus mencairkan kesalahpahaman tentang disabilitas itu.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi menuturkan seni harus inklusif sehingga memperkaya potret kebudayaan di Yogyakarta. "Ruang melalui pameran ini sebagai bagian untuk mewujudkan inklusivitas seni itu, agar tercipta kreativitas yang lainnya," tutur Dian.
Tak hanya pameran seni, para pengunjung TBY juga bisa membeli produk karya kreasi kelompok disabilitas dihadirkan sepanjang dilangsungkannya pameran. Ada stand-stand Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), pementasan potensi serta workshop dan diskusi.