Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Popularitas Film Festival versus Film Populer

Juara film festival sepi penonton. Mengapa banyak film laris relatif tak tersentuh Piala Citra?

24 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Konferensi Pers Peluncuran “Festival Film Indonesia 2024" di Plaza Senayan, Jakarta, 22 April 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Panitia Festival Film Indonesia mulai menyeleksi seratusan film untuk FFI 2024.

  • Dewan juri menjawab mengapa film-film peraih Piala Citra FFI kerap hanya disaksikan relatif sedikit penonton.

  • Pengamat menyatakan popularitas suatu film tidak bisa semata-mata dilihat dari jumlah penonton di bioskop.

FESTIVAL Film Indonesia (FFI) kembali bergulir. Diketuai Prilly Latuconsina, panitia mengumumkan susunan kepengurusan mereka di bioskop XXI Plaza Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin, 22 April lalu. Mereka akan bekerja hingga malam penganugerahan pada akhir tahun nanti. Budi Irawanto, ketua bidang penjurian FFI 2024, mengatakan tim juri meriset sekitar seratus film festival dengan periode penayangan 1 September 2023 sampai 31 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Presiden Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ini, para juri menggunakan sistem penilaian yang hampir sama dengan FFI tahun lalu. Misalnya, film wajib telah tayang, baik di bioskop, secara online, maupun menggunakan media pemutaran lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjurian berlangsung secara hibrida, yakni menggabungkan pemungutan suara dan penilaian kualitatif. Dari proses pendaftaran, seleksi oleh komite bidang penjurian, tahap nominasi oleh anggota Akademi Citra, hingga proses penjurian penutup untuk menentukan pemenang. "Juri akhir menempatkan film sebagai produk kebudayaan yang tidak hanya dinilai secara kuantitatif, tapi juga kualitatif," ujar Budi. Itulah alasan mengapa film pemenang festival tidak melulu populer.

Ekky Imanjaya, salah satu juri akhir di kategori film panjang FFI 2023, mengatakan proses seleksi FFI menekankan pada kualitas dan estetika, bukan popularitas. Doktor kajian film di University of East Anglia, Inggris, itu mengutip akademikus Salim Said saat mengkritik Koboi Cengeng, film populer yang dibintangi Bing Slamet pada 1974. "Film bagus belum tentu laku, film laku belum tentu bagus," kata Ekky. Sebagai satu barometer kualitas film Indonesia, dia melanjutkan, FFI mengutamakan penilaian soal estetika dan eksplorasi tema.

Suasana konferensi pers film Women From Rote Island, Kuningan, Jakarta, 16 Februari 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Sebut saja Women from Rote Island. Film karya Jeremias Nyangoen itu menyabet empat Piala Citra sekaligus pada FFI 2023. Dari sutradara terbaik, sinematografi terbaik, penulis skenario terbaik, dan film cerita panjang terbaik. 

Namun penontonnya tidak seberapa. Film itu hanya ditayangkan di sejumlah bioskop di delapan kota. Contoh lain adalah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin yang meraih lima Piala Citra di FFI 2022 yang cuma ditonton sekitar 80 ribu orang di bioskop. 

Kontras dengan Sewu Dino. Tanpa menggondol Piala Citra, film horor besutan Kimo Stamboel tersebut sukses mendatangkan 4,89 juta penonton dan menjadi film paling laku pada 2023. Bahkan, KKN di Desa Penari, film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan 10 juta penonton, hanya disebut sebagai salah satu nomine di FFI 2022.

Menurut Ekky, satu alasan film festival kerap kurang populer adalah memang tidak dirancang untuk tujuan komersial. Namun bukan berarti film festival tidak mendapat profit. "Pemasukan bisa dari dana hibah, investor, dan sponsor," katanya.

Meski demikian, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta 2021-2023 ini mengatakan penilaian juri dan popularitas tidak selalu bertentangan. Dia mencontohkan Pengabdi Setan. Film horor karya Joko Anwar itu mendulang tujuh Piala Citra pada 2017 dan mendatangkan 4,2 juta penonton ke bioskop—tertinggi pada tahun itu. 

Ario Bayu, Ketua Komite FFI, menyebutkan kepopuleran suatu film sepenuhnya ditentukan oleh selera penonton. "FFI berfungsi sebagai festival demokrasi. Tidak ada diskriminasi antara film populer dan tidak," ujar pemeran Bung Karno dalam Soekarno (2013) dan Sultan Agung dalam Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018) ini.

Film Soekarno: Indonesia Merdeka. Dok. Netflix

Peneliti perfilman, Hikmat Darmawan, menyatakan kepopuleran suatu film tidak bisa semata-mata dinilai dari jumlah penonton. Dia mencontohkan Eksil pada 2022. Film dokumenter karya Lola Amaria ini disaksikan 60 ribu penonton di bioskop. Pada tahun sebelumnya, hadir Yuni karya Kamila Andini yang ditonton 117 ribu orang. "Namun film ini populer sekali. Sampai jadi pembicaraan internasional," katanya.

Menurut Hikmat, jumlah penonton yang kecil juga bisa merupakan dampak dari jumlah jam tayang yang memang hanya sedikit. Sebaliknya, dia melanjutkan, banyak variabel yang juga dapat mengindikasikan popularitas suatu film. Misalnya, intensitas percakapan di media sosial dan jumlah pemberitaan.

Hikmat menilai jumlah penonton bioskop tidak bisa dijadikan indikator tunggal karena makin lebarnya akses publik terhadap tayangan film lewat streaming dan televisi. "Kalau mau hitung jumlah penonton, yang paling banyak, ya, Pengkhianatan G30S/PKI yang menjadi tontonan wajib di era Orde Baru," katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus