Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas mengeluhkan rasio jumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dengan populasi dan luas wilayah Indonesia masih tidak sebanding. Komite BPH Migas, Muhammad Ibnu Fajar, menilai hal tersebut menjadi salah satu penyebab masyarakat kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) dengan mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibnu menjelaskan, saat ini, perbandingan rasio SPBU terhadap populasi 1:35.000. Sedangkan perbandingan rasio SPBU dengan wilayah 1:300 kilometer. "Idealnya, perbandingan rasio SPBU terhadap populasi 1:500 dan perbandingan dengan wilayah 1:7 kilometer," katanya saat ditemui di kantornya, Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan, Rabu, 7 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, Ibnu melanjutkan, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan LPG, urusan perizinan makin dipermudah dan sub-penyalur BBM makin banyak.
Adapun untuk penyediaan sub-penyalur BBM di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia, BPH Migas telah bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Daerah.
Pada Februari 2018, sub-penyalur baru saja diresmikan di Selayar, Sulawesi Selatan, dan di tiga distrik di Kabupaten Asmat, Papua. Selanjutnya, BPH Migas akan meresmikan sub-penyalur di Gorontalo. Selain itu, ada 170 lokasi di 20 kabupaten yang mengajukan keberadaan sub-penyalur kepada BPH Migas.
"Kita memiliki 22 ribu desa. Artinya, jika setiap desa terdapat sub-penyalur ini akan sangat luar biasa. Kemudian jika di luar daerah 3T terdapat sekitar 85 ribu desa," kata Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa dalam keterangannya, Senin, 26 Februari 2018.