Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah menargetkan aturan baru tentang UMP dapat rampung dalam dua hari.
Pengusaha berharap penetapan upah minimum untuk 2025 masih mengikuti ketentuan sebelum terbitnya putusan MK.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia mengatakan 5 juta buruh siap mogok nasional apabila pemerintah tidak menaati putusan MK.
PRESIDEN Prabowo Subianto menggelar rapat internal di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin, 4 November 2024, guna menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi perihal uji materi atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Putusan MK tersebut salah satunya berdampak pada upah minimum provinsi (UMP). Pemerintah menargetkan aturan baru soal UMP rampung dalam dua hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan pemerintah punya waktu hingga 7 November 2024 untuk menyelesaikan aturan tentang UMP melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan ataupun surat edaran. "Kami banyak berbicara tentang upah minimum karena memang menjadi deadline dalam dua hari ke depan. Arahan beliau (Prabowo) sangat jelas dan nanti teman-teman silakan tunggu hasil rumusan kami," kata Yassierli seusai rapat tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan Prabowo dan para menteri sepakat untuk langsung melaksanakan putusan MK itu. Namun ada urgensi khusus soal UMP karena semua provinsi harus menetapkannya pada 21 November 2024.
Supratman menyebutkan indeks hidup layak harus diperhitungkan dalam formula penetapan UMP. Namun ia menyerahkan hitung-hitungan teknisnya kepada Menteri Ketenagakerjaan. "Untuk yang lain-lain, kan ada waktu dua tahun untuk mengeluarkan undang-undang mengenai ketenagakerjaan yang baru," ucap politikus Gerindra ini mengacu pada 20 pasal lain yang dibatalkan dalam UU Cipta Kerja.
Pada Kamis, 31 Oktober 2024, MK mengabulkan sebagian uji materi atas UU Cipta Kerja. Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 itu dibacakan pada hari yang sama. Gugatan uji materi yang dilayangkan sejumlah serikat buruh ini mengubah beberapa aturan dalam dunia ketenagakerjaan.
MK memutuskan mencabut dan merevisi 21 pasal dalam UU Cipta Kerja yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, termasuk norma-norma yang mengatur upah minimum. Sebanyak 21 pasal itu dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum karena dinilai merugikan hak konstitusi pekerja serta bertentangan dengan prinsip kesejahteraan buruh.
Dengan adanya putusan ini, penghitungan upah minimum harus mengikuti prinsip kebutuhan hidup layak. Pernyataan bahwa setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dalam Pasal 88 ayat 1 dan Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang mencukupi kebutuhan hidup layak bagi buruh serta keluarganya.
MK juga menyatakan ketentuan yang memberi pemerintah pusat kewenangan menetapkan kebijakan pengupahan tidak konstitusional. Dengan demikian, kebijakan pengupahan harus melibatkan dewan pengupahan daerah, termasuk unsur pemerintahan daerah. Pernyataan mengenai struktur dan skala upah yang tertulis dalam Pasal 88 ayat 3 huruf b dan Pasal 81 angka 27 juga dinilai bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai struktur dan skala upah yang proporsional.
Beda Penghitungan Upah Minimum
Selain itu, istilah "indeks tertentu" yang disebut dalam Pasal 88D ayat 2 dan Pasal 81 angka 88 dianggap inkonstitusional, kecuali dimaknai sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Upah di atas upah minimum juga harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.
Sebelumnya, formula penghitungan upah minimum merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023. Dalam aturan ini, penghitungan upah minimum harus mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Beda Penghitungan Upah Minimum
Indeks tertentu yang disimbolkan dengan alfa itu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota. Simbol alfa merupakan variabel yang berada di rentang nilai 0,10-0,30. Nilai variabel ini ditentukan oleh dewan pengupahan provinsi atau kabupaten/kota dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja, rata-rata upah, dan faktor lain yang dinilai relevan dengan kondisi ketenagakerjaan.
Dengan adanya ketetapan MK tersebut, penghitungan upah tidak lagi merujuk pada PP Nomor 51 Tahun 2023, melainkan menggunakan mekanisme yang memperhitungkan kebutuhan hidup layak. Dengan demikian, indeks tertentu atau variabel alfa tidak lagi digunakan. Namun ketentuan itu mendapat penolakan dari kalangan pengusaha karena dianggap menimbulkan kerumitan di semua daerah.
"Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) berharap proses penetapan upah minimum untuk 2025 tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK," ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam dalam keterangan resmi pada Jumat, 1 November 2024. Bob menilai formula pengupahan yang baru akan meningkatkan beban operasional perusahaan dan berdampak pada kemampuannya menjaga daya saing.
Apindo khawatir putusan MK yang membatalkan beberapa ketentuan kunci dalam UU Cipta Kerja itu juga memicu ketidakpastian regulasi yang berdampak pada iklim investasi. Bob menyatakan beban operasional yang lebih tinggi akan menekan stabilitas produksi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur. Sektor manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar akan sensitif terhadap kenaikan upah tenaga kerja.
Suasana sidang putusan putusan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 31 Oktober 2024. ANTARA/Aprillio Akbar
Sehari sebelum pembacaan putusan MK tersebut, Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani menemui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Shinta berharap pemerintah tidak hanya berfokus pada UMP, tapi juga mempertimbangkan struktur upah dan skala upah (SUSU).
Skema pengupahan berbasis SUSU menetapkan kenaikan upah melalui hasil negosiasi bipartit antara pengusaha dan pekerja. Untuk pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun, kenaikan upah akan ditetapkan berdasarkan produktivitas pekerja dan perusahaan. "Jadi, untuk pengupahan di atas UMP, sebaiknya diserahkan kepada pelaku usaha masing-masing karena ini tentu saja kondisinya berbeda-beda," ujar Shinta di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu, 30 Oktober 2024, seperti dikutip dari Antara.
Menanggapi permintaan itu, Airlangga mengatakan hingga saat ini pembahasan UMP belum mencapai kesimpulan. Menurut dia, pemerintah masih akan menunggu laporan Badan Pusat Statistik sebelum menetapkan formula kenaikan upah minimum. Laporan yang dimaksudkan itu adalah perkembangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang merupakan salah satu penggugat UU Cipta Kerja, menyatakan kecewa jika pemerintah mengabulkan permintaan pengusaha itu. "Putusan MK menegaskan perlunya upah minimum yang adil dan tidak hanya menguntungkan pihak pengusaha," ujar Presiden KSPI Said Iqbal, Senin, 4 November 2024. Ia mengatakan 5 juta buruh siap mogok nasional apabila pemerintah tidak taat pada putusan MK.
Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, berpandangan bahwa permintaan Apindo untuk menetapkan UMP 2025 tanpa mengikuti putusan MK tidak berdasar. Sebab, putusan MK pada dasarnya mengembalikan ketentuan lama sebelum UU Cipta Kerja disahkan, yakni mengakomodasi komponen hidup layak.
Penentu komponen hidup layak tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 yang digunakan secara umum sebelumnya. Jika putusan MK tersebut akan berdampak negatif terhadap dunia usaha karena perekonomian sedang tertekan, menurut Andri, hal itu justru menunjukkan UU Cipta Kerja selama ini tidak efektif dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Ekonom Center of Reform on Economics, Yusuf Rendy Manilet, menilai putusan MK dalam penghitungan upah minimum memicu reformulasi yang lebih komprehensif. Sebab, penghitungan UMP perlu mencerminkan kondisi nyata kebutuhan hidup pekerja melalui survei kebutuhan hidup layak yang diadakan secara rutin. "Reformulasi ini menjadi sangat penting agar standar hidup pekerja lebih terjamin dan upah yang mereka terima dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka secara memadai," ujarnya.
Selain terhadap UMP, menurut Yusuf, putusan MK berdampak pada ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Selama ini, PKWT kerap memberikan fleksibilitas berlebih kepada pengusaha, tapi kini perlu diatur lebih ketat untuk melindungi pekerja kontrak. Hal ini membuat kontrak jangka pendek tidak bisa digunakan perusahaan untuk menghindari kewajiban pengangkatan pekerja tetap.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Daniel A Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini