Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Dilema Konsesi Tambang untuk Perguruan Tinggi, Walhi Jatim: Potensi Besar Konflik Kepentingan

Jika kampus memiliki keterlibatan langsung dalam bisnis konsesi tambang, menurut Walhi Jatim maka ada potensi besar terjadinya konflik kepentingan.

16 Februari 2025 | 15.30 WIB

Truk membawa hasil galian dari area tambang nikel Harapan East Hill, Blok Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Tempo/Caesar Akbar
Perbesar
Truk membawa hasil galian dari area tambang nikel Harapan East Hill, Blok Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Tempo/Caesar Akbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Lucky Wahyu Wardana, anggota Wahana Lingkungan (WALHI) Jawa Timur, menyoroti bahwa kebijakan pemberian konsesi tambang kepada institusi pendidikan bukanlah hal baru di ranah global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sejumlah negara, terutama di Eropa dan Amerika Selatan, telah lama mengarahkan keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan ke dalam subsidi pendidikan dan kesehatan. Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh ekonom Amerika, John Hartwick, dalam jurnalnya Non-Renewable Resources Program and Market pada 1977.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Kebijakan pemberian izin (Izin Usaha Pertambangan atau IUP) kepada institusi pendidikan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru,” ujar Lucky Wahyu Wardana dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Amnesty Universitas Airlangga (Unair) yang bertajuk ‘Konsesi Tambang Untuk Perguruan Tinggi, Upaya Mencapai Kemandirian Finansial atau Ancaman Terhadap Independensi Akademik?’ pada Kamis, 13 Februari 2025. 

Namun, implementasi kebijakan ini dalam konteks Indonesia memiliki latar belakang yang lebih kompleks, terutama pasca reformasi 1998. Pada era Orde Baru, meskipun ekonomi sangat bergantung pada investasi asing, sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi tetap dikelola oleh negara. Reformasi membawa gelombang kebijakan baru yang dikenal sebagai neoliberalisme, di mana pemerintah mulai mengurangi subsidi terhadap sektor publik, termasuk pendidikan.

Salah satu kebijakan yang menandai perubahan ini adalah diperkenalkannya konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1999 di era Presiden Abdurrahman Wahid. Kebijakan ini memberikan status khusus kepada perguruan tinggi untuk mengelola dananya secara mandiri, yang kemudian diperkuat melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tahun 2002 di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Meskipun sempat dibatalkan pada 2010 oleh Universitas Andalas melalui judicial review, konsep otonomi kampus kembali muncul dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (UU PTNBH) 2012. Dalam regulasi ini, beberapa universitas seperti Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) diberikan kewenangan untuk mengelola badan usaha demi kemandirian finansialnya.

Pasca pemberian izin tambang kepada organisasi masyarakat, muncul wacana bahwa perguruan tinggi juga akan diberikan hak yang sama. “Pasca pemberian izin tambang kepada ormas memang sempat ada diskusi kecil di WALHI Jawa Timur, soal kemungkinan bahwa perguruan tinggi akan diberikan konsesi tambang,” ujar Lucky. Argumentasi utama di balik kebijakan ini adalah untuk memastikan kampus memiliki sumber pendanaan mandiri, sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada subsidi pemerintah.

Namun, menurut Lucky, tujuan utama dari kebijakan ini bukanlah untuk menekan biaya pendidikan agar lebih murah bagi mahasiswa, melainkan untuk menarik subsidi pemerintah dari sektor pendidikan. Studi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Unair pada tahun 2019 menunjukkan bahwa meskipun universitas PTNBH mendapatkan kebebasan finansial, subsidi pendidikan justru terus meningkat setiap tahunnya.

“Jadi waktu itu, tahun 2019 itu sedang gencar isu soal Universitas Brawijaya berubah menjadi PTNBH, temuan teman-teman adalah sejak tahun 2014 sampai 2019 ternyata subsidi pendidikan yang diberikan kepada 7 Universitas PTNBH ini terus naik tiap tahun,” katanya. Menurut Lucky, hal ini menjadi ironi karena meskipun subsidi terus naik, kebijakan ini juga memicu kekhawatiran bahwa perguruan tinggi yang memiliki kepentingan dalam industri ekstraktif akan kehilangan independensi akademiknya. 

Lucky juga mengatakan jika kampus memiliki keterlibatan langsung dalam bisnis pertambangan, maka ada potensi besar terjadinya konflik kepentingan, terutama dalam riset-riset yang berkaitan dengan lingkungan dan kebijakan energi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus