Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kendati dinilai kontroversial oleh sejumlah pihak, namun seluruh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap menyetujui draf Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara atau RUU Minerba. Calon regulasi syarat kontroversi itu siap dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan, sebagaimana diputuskan Ketua Badan Legislasi atau Baleg DPR RI Bob Hasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dari delapan fraksi, 100 persen seluruhnya menyetujui,” kata Bob Hasan dalam rapat pleno pengambilan keputusan tingkat satu RUU Minerba di ruangan Baleg DPR, gedung parlemen, Jakarta Pusat, Senin, 17 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bob mengatakan, di dalam naskah final RUU Minerba, terdapat pergeseran aturan menyangkut masyarakat adat dan perguruan tinggi. Dari rapat-rapat yang telah dilakukan, misalnya, pemerintah dan parlemen akhirnya menyetujui perguruan tinggi tidak akan mengelola tambang secara langsung. Sebelumnya, ide tersebut merupakan klausul usulan DPR.
“Pergeseran yang terjadi disebabkan oleh pendapat-pendapat yang dilontarkan berbagai pihak dalam sejumlah rapat dengar pendapat (RDP). Jadi, tidak serta-merta dan tidak tergesa-gesa RUU ini dibuat,” kata dia.
Lantas apa saja kontroversi RUU Minerba ini?
1. Disusun dadakan dan rapat tertutup
Tempo melaporkan, penyusunan RUU Minerba oleh Baleg DPR dilakukan secara tiba-tiba. Rapat pleno Baleg DPR itu dilaksanakan pada Senin malam, 20 Januari 2025. Yang menjadi sorotan, rapatnya tertutup dan digelar pada masa reses. Adapun parlemen baru akan memasuki masa sidang satu hari setelahnya, Selasa, 21 Januari 2025.
Keanehan lainnya, pada Rabu, 22 Januari 2025, Baleg menggelar rapat dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia. Tapi, walau tidak memenuhi kuorum, rapat itu tetap dilaksanakan dengan alasan bukan dalam agenda pengambilan keputusan.
Langkah Baleg yang mendadak membahas revisi UU Minerba ini menuai kritik. Koalisi masyarakat sipil yang berfokus pada transparansi tata kelola energi dan sumber daya alam, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menilai proses revisi yang dilakukan Baleg terlalu ugal-ugalan, sangat kilat, dan tidak transparan.
“Muncul secara tiba-tiba, yang bahkan sebelumnya juga tidak muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025,” kata Koordinator Nasional PWYP Indonesia Aryanto Nugroho dalam siaran persnya.
2. Ada regulasi izin tambang untuk perguruan tinggi
Sejumlah pasal atau poin baru dalam draf rancangan tersebut juga dinilai bermasalah oleh sejumlah praktisi, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Revisi UU Minerba akan mengubah sejumlah pasal untuk menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Oktober 2021 dan 29 September 2022.
Putusan MK itu juga terkait dengan pengujian materiil UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya mengenai perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dan wilayah pertambangan rakyat (WPR).
Salah satu yang dianggap bermasalah adalah Pasal 51A ayat 1 tentang WIUP mineral logam. Dalam pasal ini, perguruan tinggi bisa mendapatkan izin tambang secara prioritas, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1. Rencana pemberian izin usaha tambang untuk perguruan tinggi pun dikritik sejumlah civitas academica.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menilai usaha tambang bukan merupakan ranah universitas. Pihaknya khawatir, ketika kampus masuk bisnis pertambangan, mereka tidak sensitif lagi terhadap pengembangan akademik. Sebab, mereka berisiko lebih condong mengembangkan bisnis tersebut.
“Ada baiknya kampus tetap berfokus pada misi utama, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,” katanya, Selasa, 21 Januari 2025.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, juga menyayangkan hal yang sama. Ia menekankan bahwa, berdasarkan UU Pendidikan, perguruan tinggi memiliki tiga fungsi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian.
“Karena itu perguruan tinggi yang mengelola tambang menabrak UU Pendidikan tersebut. Sebab, pengelolaan tambang di mana pun prosesnya pasti menyebabkan perusakan lingkungan,” ujarnya.
Setelah menuai polemik, Pemerintah dan DPR sepakat membatalkan pemberian izin mengelola tambang kepada perguruan tinggi. Keputusan tersebut dicapai sebelum rapat pleno pengambilan keputusan tingkat satu RUU Minerba, yang digelar di ruangan Badan Legislasi (Baleg) DPR, kompleks parlemen, Jakarta Pusat, Senin, 17 Februari 2025.
“Pemerintah dan DPR sepakat bahwa kami tidak memberi konsesi kepada perguruan tinggi,” kata Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam konferensi pers seusai rapat pleno tersebut.
3. Ancaman serius lingkungan hidup dan hak masyarakat
Selain berimbas pada independensi kampus, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat terdapat tiga hal dalam draf RUU Minerba yang menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup dan hak masyarakat. Pertama, jaminan tak adanya perubahan tata ruang yang disebutkan dalam Pasal 17A, Pasal 22A, Pasal 31A ayat 2, serta Pasal 172B ayat 2.
Deputi Program ICEL Bella Nathania berpendapat pasal-pasal tersebut tidak sejalan dengan pelindungan dan pengelolaan lingkungan. Dengan menyebut tidak akan ada perubahan tata ruang, menurut dia, DPR sama saja mengatakan tidak ada dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tambang.
“Perubahan undang-undang ini menunjukkan bahwa DPR tutup mata terhadap kenyataan bahwa kegiatan usaha pertambangan mengancam ekosistem dan ruang hidup masyarakat dengan dampak yang tidak terpulihkan,” katanya dalam keterangan resmi pada Selasa, 21 Januari 2025.
Menurut Bella, poin bermasalah lainnya adalah isi perubahan UU Minerba lebih berpotensi mengeksploitasi dibanding memperbaiki tata kelola pertambangan. Sebab, dalam draf tersebut wakil rakyat tidak menyinggung soal pentingnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap perizinan pertambangan Minerba yang telah terbit.
4. Disebut sebagai bancakan mengekploitasi kekayaan alam secara sistematis
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga meragukan alasan DPR merevisi UU Minerba ini hanya untuk memenuhi putusan MK. Juru kampanye Jatam, Alfarhat Kasman, menilai revisi ini terkesan condong sebagai upaya membuat bancakan kekayaan alam secara sistematis.
“Pembancakan kekayaan alam itu tak lepas dari latar belakang dan kepentingan elite politik Istana dan parlemen yang mayoritas datang dari latar belakang pebisnis,” kata Alfarhat, Selasa, 21 Januari 2025.
Contohnya, pemberian IUP dengan luas kurang dari 2.500 hektare kepada usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu, usulan Pasal 141 B yang mengatur sebagian penerimaan pendapatan negara bukan pajak dikelola oleh menteri pun dinilai bermasalah.
5. Tidak adil
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey pun menolak kebijakan pemberian prioritas kepada organisasi masyarakat berbasis keagamaan dan perguruan tinggi untuk mengelola lahan tambang. Meidy menyampaikan bahwa ormas keagamaan dan perguruan tinggi memiliki kapabilitas yang berbeda dalam mengelola lahan pertambangan.
“Jangan pernah ada kata prioritas. Saya minta yang adil. Kalau mau menggandeng semuanya, oke. Tapi lelang terbuka,” ucap Meidy ketika ditemui setelah RDP umum Baleg DPR, Rabu, 22 Januari 2025, seperti dikutip Antara.
Nabiila Azzahra, Riani Sanusi Putri, M. Syaifullah, dan M. Rizki Yusrial berkontribusi dalam penulisan artikel ini.