Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Meski sempat menyentuh rekor tertingginya di level 7.915, pasar saham Indonesia mengalami volatilitas yang cukup tinggi sepanjang 2024. Pada 2025, Mirae Asset Sekuritas memproyeksi IHSG bisa tembus level 8.000 di tengah potensi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Head of Research & Chief Economist Mira Asset, Rully Arya Wisnubroto mengatakan beberapa faktor yang membuat IHSG berpotensi kembali terkerek tahun depan. “Prediksi positif pasar modal domestik tersebut terutama didukung kuatnya dua faktor makroekonomi dalam negeri yaitu inflasi yang stabil dan daya beli yang terjaga,” ujar Rully dalam Investor Network Summit 2024, Kamis, 5 Desember 2024 dikutip dari keterangan resminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, Indonesia menunjukkan tren penurunan inflasi yang didukung stabilitas harga bahan makanan. Rully memprediksi harga makanan akan tetap stabil di 2025 selama tidak ada gangguan cuaca ekstrem yang memengaruhi produksi pangan.
Selain itu, rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen ia perkirakan tidak berpengaruh signifikan terhadap pasar modal. Asalkan, kata dia, bahan pokok dikecualikan dari kenaikan pajak tersebut.
Pengendalian inflasi, lanjutnya, dapat membuat daya daya beli khususnya pada sektor pangan tetap terjaga. “Kami optimistis bahwa belanja masyarakat (belanja rumah tangga) akan tetap terjaga dan tumbuh stabil pada tahun mendatang,” kata Rully.
Menurut dia, dengan mempertimbangkan berbagai faktor makroekonomi tersebut, pasar modal Indonesia tetap memiliki prospek yang positif pada 2025. Kondisi global yang penuh tantangan diharapkan dapat dihadapi dengan kebijakan yang tepat dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan.
Tentang faktor global, Rully memprediksi kebijakan ekonomi AS yang lebih berorientasi ke dalam (inward-looking) berpotensi memicu perang dagang dengan mitra dagang utama, yang dapat mengganggu aktivitas perdagangan global. “Selain itu, kebijakan tersebut juga diperkirakan memicu inflasi di AS dan mempersempit ruang penurunan suku bunga acuan Bank Sentral AS,” ujarnya.
Hal itu, kata dia, bisa berdampak pada perekonomian negara berkembang termasuk Indonesia. Namun, dari segi pasar modal ia prediksi tetap tumbuh positif.
Pilihan editor: Cara Mudah Mengikuti Lelang Barang Sitaan KPK