Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi kemarin, Rabu, 21 Agustus 2019, baru saja meninjau tambak garam eks tanah Hak Guna Usaha (HGU), di Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jokowi saat itu ingin memastikan program untuk urusan garam benar-benar sudah dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi sadar, setiap tahunnya Indonesia masih mengimpor 3,7 juta ton garam. Angka ini merupakan besaran kebutuhan garam industri pada 2019. Sementara, produksi nasional baru mencapai 1,1 juta ton. “Masih jauh sekali,” kata Jokowi, dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, setkab.go.id, Kamis, 22 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini sebenarnya sudah terjadi bertahun-tahun lamanya. Dikutip dari laman Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor 6,5 juta ton selama 2015 hingga 2017. Dengan rincian, 1,86 juta ton pada 2015, 2,14 juta ton pada 2016, dan 2,55 juta ton pada 2017. Lalu di tahun 2018, Kementerian Perdagangan menyatakan realisasi impor garam mencapai 3,1 juta ton, dari total kuota 3,7 juta ton.
Dengan demikian, selama empat tahun Jokowi, 2015-2018, Indonesia mengimpor sekitar 10,2 juta ton. Jumlah ini lebih besar dibandingkan empat tahun terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, 2011-2014, yang sebesar 9,2 juta ton. Namun, sepanjang delapan tahun tersebut, dua per tiga impor garam yang masuk ke Indonesia berasal dari satu negara saja, yaitu Australia.
Jumlahnya bahkan terus naik setiap tahun. Pada 2011, 63 persen dari garam impor yang masuk ke Indonesia berasal dari Australia. Jumlahnya meningkat hingga 82 persen pada 2013 dan sempat turun hingga 72 persen pada 2015. Namun hingga 2017, jumlahnya sudah mencapai 89 persen. Selain dari Australia, mayoritas garam impor yang masuk ke Indonesia berasal dari India dan Cina.
Dalam kunjungan kerjanya ini, Jokowi sempat menyebut kalau NTT memiliki potensi tambak garam yang bisa dikerjakan seluas kurang lebih 21 ribu hektare. Di Kupang saja, kata Jokowi, terdapat kurang lebih 7 ribu hektare tambak garam. Akan tetapi, luas tambak yang baru baru diselesaikan hanya sekitar 10 hektare. “Jadi memang ini baru dimulai,” kata Jokowi.
Meski luas tambak garam di NTT ditambah, sebelum itu penyusutan atau lenyapnya lahan tambak garam lebih dulu terjadi di Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur. Sampang merupakan salah satu sentra produksi terbesar di Indonesia, selain Cirebon dan Indramayu di Jawa Barat dan Pati di Jawa Timur.
Data ini terungkap dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sampang pada awal Agustus 2018. Lahan menyusut karena beralih fungsi menjadi area pemukiman. "Saat ini luas lahan tambak garam produktif masyarakat dan perusahaan hanya sekitar 2.800 hektar," kata Kepala Bidang Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Sampang, Moh Machfud dikutip dari Antara.
Awalnya pada 2011, luas lahan tambak garam di Sampang mencapai 4.382,7 hektar dengan produksi 397.922 ton. Rata-rata produktivitas tambak garam ini sekitar 80-100 ton per hektar. Artinya, telah telah terjadi penyusutan rata-rata produksi garam masyarakat sekurang-kurangnya hingga 36 persen dalam 7 tahun terakhir, dari 350.616 ton menjadi 224.000 ton. "Ini menyebabkan penurunan produksi garam tiap tahun," kata Machfud.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Brahmantya Satyamurti Poerwadi, mengatakan kementeriannya tidak dapat berbuat banyak terkait penyusutan lahan tambak garam ini. Sebab, lahan tambak tersebut sepenuhnya milik masyarakat. "Yang punya lahan bukan KKP, tetapi masyarakat," kata Brahmantya saat ditemui di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa, 8 Oktober 2018.