Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pengamat: Pajak E-Commerce Dongkrak Penerimaan Rp 342 Miliar

Sri Mulyani menerbitkan aturan pajak untuk e-commerce.

14 Januari 2019 | 08.10 WIB

Pekerja menaruh barang pesanan konsumen saat Harbolnas 2018 di Warehouse Lazada, Depok, Rabu, 12 Desember 2018. Harbolnas merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan bersama berbagai e-commerce di Indonesia pada 12 Desember 2018. ANTARA/Sigid Kurniawan
Perbesar
Pekerja menaruh barang pesanan konsumen saat Harbolnas 2018 di Warehouse Lazada, Depok, Rabu, 12 Desember 2018. Harbolnas merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan bersama berbagai e-commerce di Indonesia pada 12 Desember 2018. ANTARA/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengapresiasi terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Baca: Sri Mulyani Teken Aturan Perpajakan E-Commerce, Berlaku 1 April

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Menurut dia, potensi penerimaan pajak dari penerapan aturan itu sebesar Rp 342 Miliar. "Nilai itu jika dilihat dengan tarif 0,5 persen dan hanya atas tiga marketplace, yaitu Bukalapak, Tokopedia, dan Blanja.com," kata Yustinus saat dihubungi, Ahad, 13 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Yustinus menilai aturan tersebut sudah cukup lama ditunggu untuk memberi kepastian bagi para pelaku usaha dan diskus di lapangan. "Apalagi ada waktu sosialisasi tiga bulan," ujar dia.

Secara substansi, kata Yustinus aturan itu cukup moderat, karena lebih fokus pada pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat umum, dan menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang. "Tidak ada jenis pajak baru, sehingga kewajiban yang ada terkait PPh, PPh Final PP 23, dan PPN (bagi yang memenuhi syarat)," ujarnya.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi meneken PMK itu pada 31 Desember 2018. “Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2019,” bunyi beleid anyar tersebut sebagaimana dikutip dari siaran pers di situs resmi Sekretariat Kabinet, setkab.go.id, Sabtu, 12 Januari 2019.

Aturan itu diharapkan para pelaku usaha bisa menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan mudah sesuai model transaksi yang digunakan. Dengan berlakunya peraturan ini, nantinya penyedia platform marketplace wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak alias NPWP dan wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak alias PKP. Kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP, menurut PMK ini, juga diberlakukan kepada penyedia platform marketplace, kendati ia memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam PMK mengenai batasan pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Lebih lanjut Yustinus mengatakan kunci keberhasilan PMK ini salah satunya ada pada pemilik platform, yang akan menjadi tulang punggung pemastian pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform. Untuk itu sosialisasi, kata dia, koordinasi, dan pengawasan harus betul-betul bagus.

Pada pasal 3 ayat 3 dan 5 PMK, mewajibkan pemilik platform menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) meski termasuk pengusaha kecil. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan di UU PPN. "Meski dapat dipahami pewajiban ini dimaksudkan untuk memastikan capturing potensi pajak terlaksana dengan lebih baik. Maka perlu sosialisasi dan jalan tengah, termasuk konsekuensi penalti yang akan ditanggung pemilik platform apabila lalai melaksanakan kewajiban," ujar dia.

Menurut Yustinus kewajiban pemilik platform menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi pedagang juga akan menambah beban administrasi, maka jika biaya administrasi tinggi, sebaiknya ada kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan tersebut.

Pekerjaan rumah berikutnya, kata dia adalah pengenaan pajak pengguna digital seperti selebgram atau youtubers yang sifatnya self-entrepreneurship dan kewajibannya dilaksanakan secara self assessment, karena pemilik platform belum dapat ditetapkan sebagai subyek pajak dalam negeri.

"Sosialisasi dan edukasi harus dioptimalkan sejak sekarang sampai April, agar diperoleh pemahaman yang baik, tidak menimbulkan gejolak, tidak kontradiktif karena distorsi informasi. Sekaligus penyiapan perangkat administrasi untuk registrasi dan pelaporan," kata Yustinus.

HENDARTYO HANGGI | CAESAR AKBAR

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus