Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo memberi penjelasan soal Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gara-gara DBH ini, polemik muncul antara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Polemik dan kesimpangsiuran ini tak perlu terjadi ketika waktu meminta pembayaran DBH 2019 ini, jika Pemprov DKI tidak terkesan seperti orang nagih utang jatuh tempo dan belum dibayar,” kata Prastowo dalam keterangan di Jakarta, Sabtu, 9 Mei 2020.
Polemik muncul ketika Anies menagih pencairan DBH sebesar Rp 5,1 triliun kepada Sri Mulyani. Dana tersebut akan digunakan untuk penanganan Covid-19. Pada 17 April 2020, Sri Mulyani pun menjawab bahwa DBH tersebut harus diaudit terlebih dahulu oleh BPK, baru kemudian dibayarkan pada Agustus atau September.
Kemarin, 8 Mei 2020, Sri Mulyani pun menyatakan Rp 2,6 triliun dari total DBH tersebut sudah disetorkan kepada Pemprov DKI Jakarta. Sisa yang belum dibayarkan akan disalurkan setelah rampungnya audit Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK soal Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Lebih lanjut, Prastowo mengatakan ketentuan penyaluran DBH ini sudah tertuang dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Prinsip penyaluran DBH adalah berdasarkan realisasi penerimaan negara. Masalah muncul karena realisasi baru diketahui di penghujung tahun.
Untuk kasus DKI Jakarta misalnya. Realisasi penerimaan tahun 2018 baru diketahui setelah audit BPK rampung pertengahan 2019. Jika ada kekurangan bayar 2018, kata dia, maka akan dibayarkan di 2019 dan seterusnya. “Ini yang sekarang terjadi. DKI punya hak atas kurang bayar DBH 2019 sebesar Rp 5,1 T dan audit BPK 2019 belum selesai,” kata dia.
Namun, polemik muncul seolah-olah Kemenkeu mempunyai utang kepada Pemprov DKI Jakarta dan tidak menahannya. Padahal, kata Prastowo, Kemenkeu justru peka melihat situasi tidak normal yang menyebabkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) turun.
Sehingga, pembayaran DBH kurang bayar ke pemerintah daerah termasuk DKI dipercepat. Dari biasanya setelah Agustus, menjadi April. “Untuk DKI, sesuai PMK 36 Tahun 2020, dibayar 50 persen atau Rp 2,5 T,” kata Prastowo.
Dengan pembayaran DBH yang lebih awal ini, kata dia, maka DKI bisa membagi Bantuan Sosial bagi warga terdampak Covid-19 tepat waktu. Menurut Prastowo, pandemi ini mengajari bahwa saatnya bersinergi dan berkolaborasi. “Kita utamakan kemanusiaan, bukan justru berpolemik dan bersitegang,” kata dia.
FAJAR PEBRIANTO