Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peringatan Hari Anak Nasional 2019 bisa menjadi momentum untuk membangkitkan kepedulian dan partisipasi seluruh masyarakat untuk menjamin terpenuhinya dan menghargai hak-hak anak, termasuk Anak dengan HIV (ADHIV). Hak tersebut khususnya adalah hak bermain, mengingat banyaknya lingkungan pendidikan yang diskriminatif dan orang tua yang melarang anaknya bergaul dengan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kegiatan untuk mengembalikan hak bermain ADHIV adalah melalui kegiatan “Main denganku, yuk!”. Kegiatan ini digagas oleh beberapa orang yang peduli dengan ADHIV, dan didukung oleh Lentera Anak Pelangi yang merupakan program pendampingan ADHIV di DKI Jakarta dan Yayasan Tegak Tegar. Tujuannya untuk mengajak siapapun bermain bersama ADHIV. Ini penting untung mendorong ADHIV berani berekspresi, serta menunjukkan kepada anak-anak tersebut dan orang tua bahwa masih banyak yang peduli dengan mereka.Kegiatan bermain bersama anak dengan HIV dalam 'Main denganku, yuk!' pada Ahad 28 Juli 2019, di Sentul, Bogor/Main Denganku, Yuk!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan yang digelar di Taman Budaya Sentul, Bogor, Jawa Barat pada 28 juli 2019 ini juga diharapkan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ADHIV, melalui interaksi langsung dan menyenangkan. Selain itu, “Main denganku, yuk!” juga ingin menyampaikan pesan bahwa bermain dan kontak sosial dengan ADHIV bukanlah suatu hal yang berisiko menularkan HIV.
Menurut salah satu penggagas kegiatan, Dokter Adiyana Esti, stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ADHIV adalah karena kurangnya pemahaman masyarakat. Minimnya pemahaman masyarakat terhadap HIV dan AIDS menjadi penyebab munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ADHIV. “Padahal kontak sosial, termasuk bersentuhan, berpelukan, dan berbagi alat makan; tidak menularkan HIV. Main denganku, yuk! ingin mengajak siapapun bermain dengan ADHIV dan mengembalikan hak mereka untuk bermain”, ujarnya.
Stigma dan diskriminasi menjadi penyebab utama sejumlah hak Anak dengan HIV dilanggar, antara lain hak untuk bermain dan belajar, hak diperlakukan setara, hak berekspresi, dan hak berprestasi. Di saat anak belum dewasa dan memahami apa yang terjadi dengan dirinya, stigma dan diskriminasi terhadap mereka menambah beban psikologis, terlebih ketika mereka harus bergelut dengan kondisi kesehatannya.
Menurut data Kementerian Kesehatan per Maret 2019, dari 338.363 jiwa jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan, 4.121 diantaranya adalah Anak dengan HIV. Sementara menurut data World Health Organization (WHO), di Indonesia diperkirakan terdapat 14.000 ADHIV dan yang tercatat menerima pengobatan adalah 3.500 anak. Menurut WHO, perkiraan jumlah ADHIV di Indonesia sebanyak 14.000 anak tersebut memiliki rentang usia 0-14 tahun.
Sama seperti anak lainnya, ADHIV juga memerlukan dukungan sosial untuk tumbuh kembangnya secara optimal. Selain dengan tidak mendiskriminasi mereka, dukungan dapat berupa menciptakan lingkungan bermain dan belajar yang inklusif. Penolakan masuk sekolah terhadap tiga anak dengan HIV di kabupaten Samosir, Sumatera Utara (Oktober 2018) dan 14 anak di Solo, Jawa Tengah (Februari 2019) merenggut hak mereka sebagai anak. Padahal, hak-hak anak dijamin oleh Undang Undang Perlindungan Anak dan Indonesia memperingati hari Anak Nasional setiap tanggal 23 Juli.
Menurut Natasya Sitorus, Manager Advokasi Lentera Anak Pelangi yang menaungi sejumlah ADHIV tersebut, kegiatan ini memberikan doronga moril dan psikologis yang besar bagi anak-anak asuh mereka. “Kegiatan ini sangat positif dalam memberikan dukungan moril bagi mereka, sehingga mereka tidak merasa terasingkan dan menjadi bagian dari lingkungan sekitar. Kami berharap semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa ADHIV juga memiliki hak bermain dan diterima di lingkungan sekitar”, kata Natasya.
Dalam kegiatan “Main denganku, yuk!” ini, sekitar 50 ADHIV akan diajak bermain mulai dari melukis hingga bermain layangan. Menurut Esti, mereka akan diajak bermain oleh para relawan yang berasal dari berbagai macam profesi, agama, pandangan politik, namun memiliki keinginan yang sama dalam menyuarakan hak-hak ADHIV. Sejumlah influencer juga akan berpartisipasi, salah satunya aktris Atiqah Hasiholan.
Pengurus yayasan Tegak Tegar Veronica Juwaryanti berharap kegiatan seperti ini akan semakin banyak dilakukan, untuk membantu menghapus tigma dan diskriminasi khususnya terhadap ADHIV. “Kegiatan bermain bersama ADHIV ini kami harapkan menjadi norma baru dalam kehidupan bermasyarakat kita. Bila kegiatan ini dilakukan secara massif, bukan tidak mungkin stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ADHIV lama-lama akan terkikis. Peran pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk mensosialisasikan gerakan ini”, kata Veronica.