Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Saat becak mulai langka di berbagai kota karena dianggap biang kerok kemacetan, becak menjadi sarana transportasi alternatif yang ramah lingkungan di Wamena, Papua. Di daerah 1.650 meter dari atas permukaan laut, becak lalu lalang untuk mengantar anak sekolah, mama-mama yang pergi ke pasar, sampai mengangkut hasil bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan bentuk becak di Wamena serupa dengan becak di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tempat duduk penumpang cukup sempit, sehingga lebih cocok untuk mengangkut satu orang beserta barang bawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Becak-becak ini didatangkan dari Makassar pada 1979 dengan menggunakan kapal laut," kata Hari Suroto kepada Tempo, Rabu 2 Desember 2020. Becak-becak itu kemudian diangkut ke Bandara Sentani, Jayapura, kemudian diterbangkan dengan pesawat kargo sampai ke Bandara Wamena.
Keberadaan becak ini, menurut Hari Suroto, mengubah kebiasaan masyarakat Wamena yang sebelumnya berjalan kaki dalam semua aktivitasnya. "Lambat laun mereka beralih naik becak untuk pergi ke sekolah atau pasar," kata Hari yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih.
Ada kisah unik tentang becak dan masyarakat Papua. Saat pemerintah menggencarkan Operasi Koteka pada 1977, masyarakat yang memakai koteka dilarang naik becak. Operasi Koteka adalah program pembangunan masyarakat untuk 'membusanakan' masayarakat Papua.
Artikel terkait:
Dulu Ada Operasi Koteka, Program 'Membusanakan' Masyarakat Papua
Pemerintah Soeharto membentuk tim khusus bernama Task Force Pembangunan Masyarakat Pedalaman di Irian Jaya. "Ketika itu, penumpang becak atau kendaraan umum harus mengenakan celana bukan koteka," kata Hari. Itu sebabnya masyarakat Papua yang memakai koteka memilih berjalan kaki saat bepergian.
Wisatawan yang datang ke Wamena bisa langsung naik becak saat tiba di Bandara Wamena. Becak juga berseliweran di kawasan pasar, seperti Jibama, Sinakma, Potikelek, dan Wouma. Tarif becak tergantung jarak. Jika dekat, ongkosnya Rp 10 ribu.
Apabila jarak yang ditempuh cukup jauh, tarif becak akan berlaku sesuai kelipatan Rp 5.000. Jadi kenaikannya mulai Rp 15 ribu, Rp 20 ribu, Rp 25 ribu, dan seterusnya. Untuk mencegah kesalahpahaman antara penumpang dengan pengemudi becak, Hari Suroto menyarankan lakukan kesepakatan sebelum naik becak.
Wisatawan yang ingin berfoto dengan pengemudi becak di Wamena juga harus minta izin dulu. Tentu setelah menyewa becak itu berkeliling Wamena.
Pemerintah Kabupaten Jayawijaya juga menerbitkan peraturan demi melindungi eksistensi becak sekaligus pengemudinya. Dalam peraturan daerah tentang becak, hanya pemuda Suku Dani saja yang boleh menjadi pengemudi becak.