Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Peringatan 11 Tahun UU Keistimewaan Yogyakarta, Ini Sejarah Benteng Baluwerti Keraton

Benteng Baluwerti yang mengelilingi Keraton Yogyakarta dulunya merupakan pertahanan dari serangan penjajah.

31 Agustus 2023 | 22.48 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta. (Dok. Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperingati 11 tahun disahkannya Undang-Undang Keistimewaan pada hari ini, Kamis, 31 Agustus 2023. Sederet acara digelar pemerintah kabupaten/kota dalam peringatan itu, salah satunya gelaran Living Museum yang dihelat Pemerintah Kota Yogyakarta di Ndalem Pakoeningratan, Sampilan, Kraton Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Living Museum ini terdiri dari beberapa agenda, seperti festival permainan tradisional, pertunjukan kesenian, festival kuliner dan jamu tradisional. Ada pula pameran edukasi bertajuk Njero Benteng yang mengajak warga dan wisatawan mengenal jejak sejarah budaya di lingkungan Keraton, seperti sejarah Benteng Baluwerti, Toponing Kampung, Ageman, juga arsitektur cagar budaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Semangat event Living Museum ini membuka wawasan bagi publik, bagaimana Yogyakarta melewati perjalanan sejarah panjang sehingga menghasilkan keanekaragaman budaya di setiap wilayahnya," kata Penjabat Wali Kota Yogyakarta Singgih Raharjo.

Sejarah Benteng Baluwerti 

Satu hal yang menarik dari event itu yakni edukasi sejarah Benteng Baluwerti, sebuah dinding kuno yang mengelilingi kawasan Keraton Yogyakarta.

Dokumentasi Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menghimpun sejumlah fakta bahwa Benteng Baluwarti dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I dan selesai pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Bangunan ini dibuat untuk melindungi wilayah inti kraton. Kraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok benteng. Lapisan dalam berupa tembok cepuri yang mengelilingi kedhaton, atau kawasan keraton. 

Tembok berikutnya jauh lebih luas dan kuat, disebut dengan tembok Baluwarti, yang memiliki kesamaan bunyi dengan kata baluarte dari Bahasa Portugis yang juga berarti benteng. 

Selain kedhaton, tembok Baluwarti juga melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan permukiman abdi dalem, area yang kini sering disebut sebagai kawasan Jeron Beteng.

Pada awalnya benteng ini sebagai pertahanan dari serangan penjajah. Keseluruhan beteng itu dulunya terdiri dari lima buah pintu sebagai akses atau yang dikenal dengan plengkung dan dikelilingi oleh empat bastion pada empat sudut beteng. 

Plengkung tersebut antara lain Plengkung Tarunasura (Wijilan), Plengkung Nirbaya (Gadhing), Plengkung Jagasura, Plengkung Jagabaya, dan Plengkung Madyasura/Tambakbaya (Plengkung Bunthet). 

Bentuk benteng mirip persegi empat, namun lebih besar bagian timur. Benteng keraton dari timur ke barat memiliki panjang 1.200 meter, sedang arah utara ke selatan 940 meter.

Peristiwa Geger Sepoy

Benteng Baluwarti merupakan saksi bisu terjadinya peristiwa Geger Sepoy yang terjadi pada 19-20 Juni 1812. Bala tentara Inggris  yang saat itu menguasai Jawa menyerang Keraton Yogyakarta. Pasukan Inggris dibawah Kolonel James Watson berhasil meledakkan gudang mesiu yang berada di Pojok Beteng Timur Laut. 

Perang ini juga membuat Plengkung Madyasura ditutup secara permanen sebagai bagian dari strategi pertahanan, setelah pihak Keraton Yogyakarta mendengar bahwa pasukan musuh berencana masuk melalui plengkung tersebut. 

Akibat ledakan yang dahsyat tersebut, sekarang benteng Baluwati hanya menyisakan tiga bastion, yakni Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Kulon, dan Pojok Beteng Lor (sekarang depan taman parkir Ngabean).

Saat ini, di Benteng Baluwarti digunakan sebagai salah satu tempat untuk melaksanakan kegiatan tradisi Malam 1 Suro di keraton. Pada Malam 1 Suro dilaksanakan upacara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng Baluwarti keraton yang biasanya diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. 

Living Museum ini pun diselenggarakan di Ndalem Pakoeningratan yang juga bersejarah. Area itu merupakan tempat yang dilestarikan sejak dibangun pada awal abad 18, dan konon pernah menjadi kediaman Pangeran Diponegoro saat menjadi wali Sri Sultan Hamengku Buwono V.  

Dulunya area itu bernama Ndalem Purbayan dan sekarang menjadi Ndalem Pakuningratan.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti mengatakan untuk acara ini, pihaknya menggandeng mahasiswa dari Ilmu Sejarah UGM dan Tata Kelola Seni Yogyakarta yang menggali dan menyajikan potensi wilayah dalam sajian Living Museum. 

PRIBADI WICAKSONO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus