Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bogor - Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International untuk Indonesia, menyesalkan proses hukum yang sedang berjalan terhadap Suzethe Margaretha di Pengadilan Negeri Cibinong. Suzethe adalah perempuan yang dikenal dalam kasus anjing masuk masjid di Sentul City pada Juli 2019 dan karenanya dijerat pasal pidana penodaan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usman menilai proses hukum terhadap Suzethe tidak proporsional. Alasannya, hukum sudah mengatur bagaimana jika seorang terdakwa mengalami gangguan jiwa. Negara justru melakukan pelanggaran HAM terhadap Suzethe jika menjalankan hukum yang sedang berjalan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintah boleh saja mengatakan perbuatan itu memang dilarang, tetapi apakah pelarangan dan penghukuman itu diperlukan? Atau apakah tindakan itu juga proporsional dengan perbuatannya atau tidak? Apalagi dengan alasan kejiwaan yang dialami yang bersangkutan,” kata Usman menuturkan kepada Tempo usai sesi diskusi Keberagaman dan Kebebasan Pers dalam Krisis Demokrasi di Asia Tenggara di Bogor, Jumat 8 November 2019.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia harus berhati-hati ketika menghadapi kasus-kasus semacam itu. Jangan sampai pemerintah hanya terpengaruh oleh tekanan massa sehingga proses hukumnya seperti dipaksakan.
Usman mengungkapkan, perkara semacam ini kerap mendapat sorotan masyarakat dunia. Dia menyebut contoh kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, Meliana.
Massa yang tergabung dalam organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) dan presidium 212 saat melakukan demo terkait sidang peninjauan kembali (PK) Terpidana kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 26 Februari 2018. TEMPO/Subekti.
Usman khawatir, vonis atas Suzethe hanya akan mengikuti jejak dua vonis kasus penodaan agama yang terjadi sebelumnya itu. Menurutnya, hampir seluruh kasus penodaan agama berakhir dengan vonis bersalah karena bukti-bukti tidak dianggap penting.
Untuk perkara Suzethe, dia menjelaskan, “Karena sudah jelas-jelas orangnya memiliki kondisi kejiwaan yang tidak memungkinkannya berpikir secara rasional, tapi masih saja dihukum seolah semuanya berjalan normal."
Dia mengimbau lembaga-lembaga pengawas independen memberikan pendapat bagaimana jaksa dan hakim seharusnya memproses perkara penodaan agama. Jangan sampai ada pelanggaran etik atau perbuatan penegak hukum yang bertentangan dengan undang-undang ataupun perspektif HAM.
Sebelumnya, dalam persidangan Suzethe, saksi ahli dokter jiwa dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Laharjo Karumben, menjelaskan bahwa dia sudah dua tahun menangani dan merawat terdakwa. Dari hasil pemeriksaannya, dia menilai terdakwa memperlihatkan gejala gangguan jiwa yang di sebut Skizofrenia atau paranoid yang berlebihan.
Skizofrenia, menurut Laharjo, bisa kambuh kapan saja dan orang yang menderitnya akan melakukan hal apa saja, sesuai dengan apa yang menurut dia dengar dan memerintahkannya. "Saat kejadian SM ke masjid membawa anjing dan memakai alas kaki, saya menyimpulkan kambuh lagi penyakitnya," kata saksi ahli tersebut.
Andrinus Santoso, kakak Suzethe, menguatkan keterangan tersebut. Dia menuturkan, kakaknya mulai mengalami gangguan jiwa sejak 2010/2011. Hal itu diketahui saat terdakwa mulai melakukan hal aneh, seperti bicara tidak nyambung dan terkadang emosinya tidak terkontrol.
Selama persidangan berlangsung, Suzethe hanya diam dan memperhatikan jalannya persidangan. Rencananya, sidang kasus anjing masuk masjid itu akan dilanjutkan pada Selasa, 26 November 2019, dengan agenda mendengarkan keterangan Suzethe.
Mahfuzulloh Al Murtadho