Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - SETARA Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mencatat pergeseran pidana mati yang semula pidana pokok menjadi pidana alternatif dalam KUHP baru turut berkontribusi pada peningkatan skor Hak Hidup dalam variabel Hak Sipil dan Politik atau Hak Sipol Indeks Kinerja HAM 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETARA Institute dan INFID menyampaikan pidana mati yang diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir setidaknya bisa dimaknai sebagai itikad baik pemerintah untuk menihilkan pidana mati dalam sistem pemidanaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Selain perubahan paradigma sistem penjatuhan pidana mati, ketiadaan eksekusi mati di tahun 2022 juga turut menyumbang kenaikan +0,8 pada skor Hak Hidup,” menurut SETARA Institute dan INFID dalam ringkasan eksekutif Indeks Kinerja HAM 2022 yang dirilis pada Sabtu, 10 Desember 2022.
Meski demikian, ada beberapa catatan yang perlu diberikan, misalnya masa percobaan 10 tahun yang terlalu lama bagi terpidana mati. Ini berarti membuka potensi terpidana akan menjalani dua masa hukuman, yaitu pidana penjara 10 tahun sekaligus pidana mati sepanjang terpidana dinilai tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji.
“Selain itu, moratorium eksekusi mati secara de jure juga perlu dilakukan oleh pemerintah,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani dalam keterangan tertulis, Sabtu, 10 Desember 2022.
Selain secara de facto sejak 2017 memang telah terjadi moratorium eksekusi mati, tren global juga menunjukkan 73 persen dari seluruh negara di dunia sedang mengarah pada penghapusan hukuman mati. Hanya 27 persen, termasuk Indonesia, yang masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem pemidanaan.
SETARA Institute dan INFID mencatat Hak Sipil dan Poltik atau Hak Sipol di Indonesia mengalami penurunan skor 0,1 menjadi 3,1 dalam Indeks Kinerja HAM 2022.
Pengukuran diberikan terhadap 6 indikator Hak Sipol dan 5 indikator Hak Ekosob serta 19 indikator untuk Isu HAM Khusus yang terdiri dari 6 indikator isu HAM Papua dan 13 indikator untuk isu kelompok minoritas. Nilai dari setiap indikator berasal dari rata-rata nilai seluruh sub-indikator dalam satu indikator. Adapun basis pengukuran dan pengumpulan data berasal dari berbagai sumber dan proses, di antaranya berasal dari dokumen yang mencatat kinerja HAM pemerintah, laporan media dan laporan berbagai lembaga yang relevan maupun respons terhadap peristiwa-peristiwa penting terkait HAM yang kemudian diolah menjadi narasi penegakan HAM.
Dalam indeks ini, skala pengukuran ditetapkan dengan rentang nilai 1-7, di mana angka 1 menunjukkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang paling buruk dan angka 7 menunjukkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang paling baik.
Adapun enam subindikator Hak Sipol antara lain hak hidup, kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak turut serta dalam pemerintahan, serta kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Dari enam subindikator tersebut, kebebasan berekspresi dan berpendapat menyumbang skor terkecil dengan 1,5. Sementara hak hidup dan hak atas rasa aman pada skor sama 3,3. Kemudian hak memperoleh keadilan pada skor 3,6. Lalu yang tertinggi adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan hak turut serta dalam pemerintahan. Kedua subindikator tersebut berada pada skor 3,7.
Selain indikator Hak Sipol, skor terendah juga terjadi pada indikator Isu HAM Khusus dengan skor 2,5. Isu HAM Papua juga belum mengalami kemajuan dengan subindikator yang bahkan tidak menyentuh skor 2,5.
Adapun peningkatan skor pada Indeks Kinerja HAM 2022 ini disumbang oleh indikator-indikator pada variabel Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau Hak Ekosob, terutama hak atas pendidikan sebagai penyumbang skor terbesar pada variabel tersebut. Meski demikian, angka 4,4 pada indikator hak atas pendidikan ini sebetulnya mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan skor pada Indeks Kinerja HAM 2020, yaitu pada angka 4,6.
Berdasarkan Indeks Kinerja HAM 2022 ini, SETARA Institute dan INFID meminta Presiden Joko Widodo kembali meneguhkan kembali janji politiknya dalam pemajuan HAM di sisa dua tahun kepemimpinannya. Presiden Jokowi bisa melakukan ini dengan memperkuat politik kemajuan HAM melalui pengarusutamaan program-program yang terukur dan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap nilai-nilai HAM.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.