Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Dua mantan hakim Pengadilan Negeri Surabaya terdakwa kasus suap dan gratifikasi Ronald Tannur mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator. Dua hakim itu ialah Erintuah Damanik dan Mangapul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat keduanya itu disampaikan langsung kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 18 Februari 2025. "Kami, atas kesepakatan dengan klien kami, mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator," kata penasihat hukum Erintuah dan Mangapul, Philipus Sitepu, kepada majelis hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah justice collaborator seringkali disamakan dengan peran whistleblower. Sebenarnya, dua istilah tersebut memiliki perbedaan.
Studi dari American Journal of Industrial and Business Management terbitan 2019, menyatakan whistleblower merupakan rujukan dari suatu tindakan seorang anggota atau mantan anggota yang menemukan perilaku ilegal atau tidak etis dalam organisasi.
Seorang whistleblower akan mengungkapkannya kepada suatu individu atau organisasi yang dapat mempengaruhi sikap dan keputusan dari organisasi itu sendiri. Kebanyakan laporan dari whistleblower dilakukan melalui hotline rahasia atau surat anonim untuk menjaga kerahasiaan.
Pernyataan yang dilaporkan harus mengungkap informasi bagi kepentingan publik. Seseorang dapat saja menyampaikan tentang suatu kejadian di masa lalu, bahkan sampai kekhawatiran yang akan terjadi dalam waktu dekat. Setidaknya ada dua jenis whistleblower, yaitu:
1. Laporan internal
Kasus mengarah langsung kepada kepemimpinan dan manajemen dalam organisasi.
2. Laporan eksternal
Melaporkan masalah kepada lembaga pemerintah, media, atau organisasi profesional.
Pengertian whistleblower juga dapat ditemukan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.
Dilansir dari laman Transparency International Indonesia, konsep whistle blower menjadi piranti tata kelola pemerintahan yang disebut whistle blowing system (WBS). WBS merupakan suatu sistem yang dapat dijadikan media bagi saksi pelapor untuk menyampaikan informasi mengenai tindakan penyimpangan yang diindikasi terjadi di dalam suatu organisasi.
Pengaturan WBS misalnya tertuang di 5 Inpres No. 7/2015 yang kemudian diganti dengan Inpres No. 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017.
Sementara itu, justice collaborator diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana. SEMA ini menjelaskan adanya pemberian perlindungan hukum bagi seseorang yang dapat membantu melaporkan temuan baru dalam menegakan hukum pada suatu kasus.
Dalam jurnal The Role Of Justice Collaborator In Uncovering Criminal Cases In Indonesia, agenda ini dilakukan dengan tujuan memberikan kejelasan tentang suatu kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap ancaman atau intimidasi yang dapat merugikan jiwa dan raganya. Selain itu juga berpotensi mengkriminalisasi sisa masa hidup seseorang.
Prosedurnya ialah memberikan ruang bagi saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat hukum. Pelaku dapat jadi tersangka, terdakwa atau terpidana. Seseorang yang akan melakukan justice collaborator atas permintaan sendiri maupun oleh orang atau lembaga lain.
Orang yang melakukan justice collaborator berhak mendapatkan pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana dengan tersangka, terdakwa, atau narapidana yang diungkap tindak pidananya, pemisahan pemberkasan, keringanan hukuman, hingga hukuman pidana penjara paling ringan di antara terdakwa yang lain.
Justice collaborator juga berhak mendapatkan pembebasan bersyarat dan remisi tambahan dibanding dengan terdakwa atau narapidana lainnya.
Fathur Rachman dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.