Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Swadaya Masyarakat AKSI Keadilan Indonesia menyoroti celah hukum yang menyebabkan polisi diduga memeras penonton DWP (Djakarta Warehouse Project) 2024. Sebanyak 18 polisi lintas satuan dari Polda Metro Jaya diduga melakukan tes urine acak ke penonton asal Malaysia dan menagih total Rp 32 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Bantuan Hukum dan Advokasi AKSI Keadilan Indonesia, Totok Yuliyanto, menyebut belum ada peraturan teknis tentang pelaksanaan tes urine narkoba. Sehingga itu cenderung menciptakan kesewenang-wenangan. "Mendorong aparat penegak hukum melakukan pemerasan dan pelanggaran HAM melalui modus tes urin," ucap Totok lewat keterangannya pada Senin, 23 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Totok menganalisis bahwa kemunculan tes urine yang masif dan acak itu dilatarbelakangi oleh pemaksaan rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Padahal, kata Totok, tes urine itu tidak bisa dipaksakan dan harus didapat atas persetujuan. Ia berpendapat pengecekan tes urine kepada WN Malaysia itu menyalahi Undang-Undang Nomor 35 tentang Narkotika.
Dalam pasal 75 huruf L menyebut bahwa tes urine merupakan kewenangan penyidik untuk melakukan penyidikan. "Seharusnya tidak bisa dilakukan tes urine tanpa ditemukan narkotika pada seseorang sebelumnya," kata Totok. Belasan polisi yang diduga memeras WN Malaysia itu tidak bertindak sebagai penyidik yang melakukan upaya lanjutan dari temuan narkoba.
Walhasil, Totok menyebut kasus DWP 2024 serupa dengan pengaduan yang diterima oleh AKSI Keadilan yang memberi bantuan hukum bagi pengguna narkotika yang diperas atau dipaksa rehabilitasi. Totok menyadari para korban DWP yang tidak paham dengan regulasi terpaksa harus memenuhi pungutan liar agar tidak dimasukkan ke tempat rehabilitasi.
Berkaca pada kejadian ini, Totok mendesak pemerintah Indonesia untuk menggunakan pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika agar tidak menjadi obyek penahanan dan pemerasan. Totok juga mendorong Pemerintah unruk membuat aturan konkret soal tes urine.
"Sehingga tidak membuka kesempatan beberapa pihak untuk melakukan pemerasan dan pelanggaran HAM," kata Totok. Terakhir, ia meminta agar Polri mengusut kasus pemerasan terhadap penonton DWP 2024 secara akuntabel dan transparan.