Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan mengaku sempat mengalami gagal nafas saat diserang dengan siraman air keras pada 2017. Ia mengatakan serangan itu bisa saja berakhir fatal jika ia tak segera mendapat pertolongan pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Serangan air keras dalam jumlah banyak itu membuat gagal nafas, dan faktanya saya gagal nafas," kata Novel dalam diskusi bersama Tempo, Senin, 15 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini diungkapkan Novel untuk menegaskan bahwa alat serangan yang digunakan oleh pelaku adalah air keras. Dalam persidangan dua terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, penuntut umum justru menggiring pendapat bahwa air yang digunakan adalah air aki, bukan air keras.
Novel mengatakan bahwa ia bisa saja tewas dalam serangan itu. Namun pertolongan pertama membuat ia bisa bertahan hingga saat ini. "Alhamdulillah karena saya dapat pertolongan cepat, tak lebih dari 20 detik, saya bisa mengguyur air ke wajah saya yang kena air keras, maka saya tertolong.”
Luka di wajahnya pun bisa segera pulih. “Kalau tidak kan berbahaya sekali, bisa membunuh."
Atas dasar ini, Novel mengatakan seharusnya pasal yang digunakan untuk menjerat para pelaku adalah pasal 355 ayat 2 KUHP tentang percobaan pembunuhan berencana juncto 356 tentang penganiayaan berat.
Namun jaksa memilih menggunakan pasa 170 KUHP tentang pengeroyokan. "Satu korban dikeroyok dua orang atau lebih itu pasalnya 170.
Sejak awal Novel meragukan bahwa pasal untuk dua terdakwa penyiraman air keras terhadapnya tepat digunakan dalam perkaranya. Ini kan (di kasus) saya yang nyerang kan satu, yang belakang. Yang serang satu yang bantu banyak.”
Ia telah mengatakan hal itu kepada penyidik. “Masalahnya (pasal) 170 itu tak akan pernah bisa. Kalau dipaksakan pelakunya, kalau betul itu, maka akan bebas," kata Novel Baswedan.