Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut baik langkah pemerintah untuk memberikan amnesti terhadap narapidana penggunaan narkotika. Meski demikian, mereka tetap memberikan catatan agar pemerintah seger membahas revisi Undang-Undang Narkotika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Direktur ICJR Maidina Rahmawati menyatakan pihaknya sepakat dengan langkah pemerintah memberikan amnesti tersebut. "Mengenai pemberian amnesti bagi narapidana pengguna narkotika, ICJR juga sudah menyuarakan hal tersebut sejak pemerintahan presiden sebelumnya bahwa pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi harus dikeluarkan dari pemenjaraan," kata Maidina melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Ahad, 15 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, Maidina menyatakan pihaknya tak sepakat jika seluruh narapidana pengguna narkotika yang mendapatkan amnesti harus menjalani rehabilitasi. Mengutip data dari UNODC, Badan Persatuan Bangsa-Bangsa yang bertugas memerangi kejahatan narkotika dan kejahatan internasional lainnya, ICJR menyatakan hanya 13 persen pengguna narkotika yang masuk dalam kategori penggunaan bermasalah. Data tersebut juga menyatakan hanya 1 dari 9 pengguna narkotika yang membutuhkan rehabilitasi.
"Jika pengguna narkotika dikeluarkan dari pemenjaraan namun seluruhnya diwajibkan rehabilitasi, maka hal tersebut hanya memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke lembaga rehabilitasi," kata Maidina.
ICJR juga meminta pemerintah segera merevisi Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu poin revisi yang penting, menurut mereka adalah dekriminalisasi bagi pengguna narkoba. "Artinya adalah respon non penghukuman dan pidana bagi penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi," ujarnya.
Soal amnesti bagi para narapidana, tidak hanya narapidana kasus penggunaan narkotika, ICJR pun memberikan catatan hal itu harus dilakukan secara akuntabel dan efisien. Mereka meminta kebijakan tersebut harus bisa diakses publik untuk dinlai dan dikritisi. Teknis pemberian amnesti, menurut ICJR, pun harus dirumuskan dalam peraturan minimal setara peraturan menteri. Tujuannya, untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh DPR.
"Penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan," kata Maidina.
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan pemerintah berencana memberikan amnesti atau pengampunan dengan penghapusan pidana terhadap 44 ribu narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menangani kelebihan narapidana di rumah tahanan (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.
Supratman menyatakan terdapat 4 kriteria narapidana yang akan mendapat amnesti. Pertama, narapidana perkara tindak pidana ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang penghinaan kepada kepala negara; kedua, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa; Ketiga narapidana kasus makar tidak bersenjata di Papua; keempat, pengguna narkotika yang seharusnya mendapat hukuman rehabilitasi.
Pemerintah, menurut Supratman, juga akan memasukkan para narapidana yang mendapat amnesti tersebut ke dalam program swasembada pangan dan komponen cadangan (Komcad).