Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) saat ini mendesak Komnas HAM untuk menetapkan kasus kematian Munir Said Thalib sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat. Hal tersebut berdasar pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir, Teo Reffelsen, mengungkapkan sudah belasan tahun berlalu, tetapi penanganan kasus ini seperti jalan di tempat. Kasus pembunuhan aktivis HAM ini masih belum berlanjut pada pengungkapan aktor intelektual sebagai dalang pembunuh Munir.
"Beriringan dengan hal itu, Komnas HAM juga urung menunjukkan langkah yang konkret dan signifikan untuk menetapkan kasus pembunuhan terhadap Munir sebagai pelanggaran HAM yang berat," kata Teo pada siaran pers, Jumat 12 Agustus 2022.
Diketahui bahwa setelah pada tanggal 19 Mei 2022, Komnas HAM menyatakan akan mengumumkan hasil pendalaman dan kajian penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat dalam 2 (dua) bulan. Namun penetapan status pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat hingga saat ini belum terang.
"Jika kasus pembunuhan Munir gagal ditetapkan sebagai pelanggaran HAM yang berat, maka akan sangat berdampak pada upaya mendapatkan keadilan. Selain itu, akan turut dapat menghambat pengungkapan fakta yang sebenarnya, yang kemudian dapat berpotensi melepaskan aktor intelektual atau dalang pembunuhan dari jerat hukuman," kata Teo.
Teo selaku perwakilan KASUM menilai hal ini nantinya akan berkembang menjadi momok menakutkan yang tidak dapat dielakkan oleh para pembela HAM. Para pembela HAM saat menjalankan kerja-kerja perlindungan dan pemajuan HAM akan menjadi rawan mendapat serangan.
Dengan demikian, menurut Teo, secara tidak langsung Komnas HAM telah mengambil andil untuk melanggengkan impunitas karena sudah alpa untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan terhadap Munir.
"Komnas HAM bersama dengan Komnas Perempuan dan LPSK sebelumnya juga telah menetapkan sejak tahun 2021 tanggal 7 September (hari pembunuhan terhadap Munir) sebagai hari Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia. Penetapan tanggal ini seharusnya menjadi tonggak perlindungan bagi pejuang dan/atau pembela HAM," ujarnya.
Teo menambahkan jika kasus Munir tidak kunjung dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat, maka jelas telah mencederai lembaga Komnas HAM sendiri karena tidak konsisten dan serius dalam pemberian perlindungan dan keadilan bagi pembela HAM.
Komnas HAM memiliki kewenangan penuh sebagaimana amanat Undang-Undang untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM yang berat, namun minimnya informasi serta tidak transparannya Komnas HAM dalam membahas penetapan status kasus pembunuhan Munir menunjukan tidak ada itikad penuh dari Komnas HAM untuk menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM yang berat.
"Demi menjaga mandat Komnas HAM sebagai lembaga satu-satunya yang dapat melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat, oleh karenanya kami mendesak Komnas HAM untuk segera menetapkan kasus pembunuhan terhadap Munir telah memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000," katanya.