Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengungkapkan keresahan siswa korban penembakan di Semarang yang merasa dirugikan oleh label "gangster." Menurut dia, pelabelan tersebut tidak sesuai dengan fakta dan berpotensi menimbulkan stigma negatif terhadap anak-anak yang sebenarnya merupakan korban dalam peristiwa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Anak-anak merasa resah dengan penyebutan gengster. Mereka bukan geng, mereka hanya berkumpul tanpa saling mengenal sebelumnya, dan tidak ada rencana untuk tawuran,” ujar Diyah Puspitarini dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Selasa, 3 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut KPAI, berdasarkan pengakuan salah satu korban, S (17), mereka sedang dalam perjalanan pulang ketika insiden polisi tembak siswa SMK ini terjadi. “Tidak ada rencana atau aksi tawuran. Saat itu kami hanya melintas dan tiba-tiba terdengar suara tembakan,” tutur anak S kepada Diyah. Temuan KPAI ini juga diperkuat oleh keterangan dari anak lainnya yang sempat diamankan oleh kepolisian. Anak-anak tersebut membantah keterlibatan mereka dalam aksi kekerasan apa pun.
"Anak-anak tidak melakukan kekerasan dan juga pengeroyokan pada salah satu pihak. Tembakan terjadi begitu cepat dan dari jarak dekat pada saat anak-anak akan kembali ke rumah," tutur Diyah usai menemui 11 anak yang dihadirkan di konferensi pers dan rekonstruksi oleh Polda Jateng.
Pihak SMK N 4 Semarang, tempat para korban bersekolah, juga membantah keterlibatan siswa sebagai anggota gengster. Mereka menegaskan korban dikenal sebagai siswa yang aktif dan berprestasi. “Kami fokus pada pemulihan pendidikan dan hak-hak anak yang menjadi korban,” kata perwakilan sekolah dalam rapat koordinasi dengan KPAI.
KPAI meminta semua pihak untuk berhati-hati dalam memberikan label terhadap korban. Diyah menegaskan bahwa penyebutan seperti itu dapat memperburuk kondisi psikologis korban yang tengah berjuang pulih dari trauma, “Jangan sampai anak-anak yang sudah menjadi korban justru menerima stigma negatif.”
Penembakan siswa SMK oleh personel Polrestabes Semarang, Aipda Robig Zaenudin, terjadi pada Ahad, 24 November 2024 di Pusponjolo, Ngaliyan, Semarang. Korban tewas dalam insiden ini adalah GRO (17), siswa kelas IX Teknik Mesin di SMK Negeri 4 Semarang.
Menurut keterangan resmi Polrestabes Semarang, peluru mengenai pinggul korban. GRO sempat dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang untuk mendapatkan perawatan. Namun, nyawanya tidak dapat diselamatkan. Jenazah korban dimakamkan pada Ahad sore di Sragen, Jawa Tengah.
Selain GRO, dua remaja lain turut menjadi korban penembakan, tetapi keduanya berhasil selamat meski mengalami luka. Dalam konferensi pers, polisi menunjukkan sejumlah senjata tajam, seperti golok dan celurit, yang diduga digunakan para remaja itu untuk tawuran.
Polrestabes Semarang telah memeriksa 12 saksi pada peristiwa tersebut, sebagian besar masih berusia remaja. Dari hasil pemeriksaan, satu orang, yakni MPL (20), ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tawuran tersebut. Hingga kini, Polda Jawa Tengah masih menyelidiki kasus tersebut. KPAI terus memantau perkembangan penanganan kasus untuk memastikan hak-hak anak korban terlindungi, serta mengedepankan proses hukum yang adil dan transparan.