Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Nurherwati mengatakan pihaknya tak bisa menjangkau korban kekerasan seksual di wilayah Papua. Padahal, menurut dia, sepertiga permohonan perlindungan yang mereka terima berasal dari wilayah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Wilayah Papua tercatat tidak mendapatkan layanan perlindungan dari LPSK, meskipun sepertiga dari permohonan berasal dari daerah ini. Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam mengakses layanan LPSK di wilayah tersebut,” kata Sri pada Rabu, 11 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri menyatakan, mereka tak bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat Papua karena tak memiliki kantor perwakilan di sana. Padahal, wilayah tersebut sangat luas dan masih terus mengalami pemekaran. Dia pun menyatakan telah mengutarakan masalah ini kepada Ketua Komisi XIII DPR RI bidang Reformasi Regulasi dan Hak Asasi Manusia, Willy Aditya Saran.
“Itu salah satu tantangan. Tadi yang saya mention ke Pak Willy, supaya kantor perwakilan LPSK ini bisa menjangkau seluruh lapisan. Kita melakukan upaya melalui sahabat saksi dan korban,” ucapnya.
Sri menyatakan sejauh ini, LPSK baru memiliki kantor perwakilan di beberapa wilayah saja seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sumatera Utara. Selain itu, mereka juga berencana membuka kantor perwakilan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Selain itu, menurut dia, sudah ada beberapa pemerintah daerah yang juga siap mendukung kehadiran LPSK di daerahnya. "Kita sudah melakukan dialog dengan pemerintah daerah, pemda sudah komitmen. Ada Aceh, NTB, Kalimantan Timur dan Maluku," kata dia.
Soal data sebaran permohonan perlindungan dalam kasus kekerasan seksual, Sri menyatakan terbanyak berasal dari Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung. Tahun ini, menurut dia, LPSK melindungi 443 korban di Jawa Barat, 262 korban di DKI Jakarta dan 205 korban di Lampung.
Selain itu, dia pun menyatakan permohonan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi yang paling tinggi lonjakannya. Dalam dua tahun terakhir, sejak Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan, terjadi lonjakan permohonan nyaris 100 persen. Peningkatan itu, menurut Sri, lebih tinggi ketimbang permohonan dari tindak pidana lainnya.