Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, sebanyak 19.337 narapidana akan mendapatkan amnesti. Dia menargetkan pemberian amnesti tersebut akan diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto sebelum Hari Raya Idulfitri mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supratman mengatakan mulanya jumlah napi penerima amnesti diperkirakan sebanyak 44.589 orang. Namun, jumlahnya berkurang setelah melewati tahapan verifikasi dan asesmen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Setelah kami dalam hal ini Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum lewat Direktur Pidana melakukan verifikasi dan assessment kembali, maka angkanya turun dari 44 ribu menjadi kurang lebih sekitar 19 ribu," ujar dia dalam rapat bersama Komisi XIII DPR di Senayan, Jakarta Pusat pada Senin, 17 Februari 2025 yang juga disiarkan melalui YouTube.
Dia menyatakan kementeriannya akan terus melakukan perbaikan terhadap empat kriteria dalam pemberian amnesti. "Mudah-mudahan ini masih terus kami lakukan perbaikan, sekaligus penyesuaian terutama terkait dengan empat kriteria yang di rapat kerja lalu sudah kami sampaikan," kata dia.
Dia berharap agar tahap asesmen untuk pemberian amnesti bisa segera selesai. Dengan demikian, pemberian amnesti bisa diumumkan oleh Prabowo sebelum Hari Raya.
Saat ini, Kementerian Hukum masih menunggu surat resmi dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan terkait data hasil verifikasi dan asesmen. "Mudah-mudahan sebelum pemberian remisi Hari Raya Idulfitri yang akan datang juga mudah-mudahan amnesti ini presiden bisa umumkan juga, itu harapan kami," tutur Supratman.
Sebelumnya, Supratman memastikan bahwa koruptor tidak termasuk dalam kategori yang mendapat pengampunan dari pemerintah. “Kecuali korupsi,” katanya dalam konferensi pers di Ruang Saharjo Gesung, Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat, 27 Desember 2024.
Kategori pertama yang akan mendapatkan amnesti adalah napi kasus politik, terkait kasus Papua yang dianggap makar, namun tak terlibat dalam aksi bersenjata. Kedua, napi yang sakit berkelanjutan, seperti sakit berkepanjangan HIV/AIDS dan gangguan kejiwaan.
Ketiga, napi yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait dengan penghinaan kepala negara. Terakhir, napi narkoba yang seharusnya menjalani rehabilitasi, bukan justru pidana penjara.
Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.