Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia sedang disorot di tengah isu pengampunan koruptor. Indonesia dinilai ringan menghukum koruptor jika dibandingkan dengan negara lain. Di Cina misalnya, Li Jianping, mantan pejabat yang korupsi senilai Rp 6,8 triliun dihukum mati, sedangkan di Indonesia, Harvey Moeis, yang terlibat perkara merugikan negara hingga Rp 300 triliun divonis 6,5 tahun penjara.
Diberitakan sebelumnya, Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022. Selain itu, ia juga dinyatakan bersalah atas tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ia melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Harvey dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar.
Hukuman ini memicu sorotan publik yang menganggap vonis tersebut terlalu ringan mengingat skala kejahatannya. Penerapan hukum pidana terhadap pelaku korupsi di Indonesia selama ini kerap dinilai kurang memberikan efek jera. Hukuman maksimal biasanya hanya belasan tahun penjara, dengan sebagian besar pelaku menerima hukuman di bawah sepuluh tahun. Vonis seumur hidup pun terbilang langka, meski kasus yang melibatkan Harvey Moeis menunjukkan bahwa kerugian negara akibat tindakannya sangat signifikan.
Kontroversi semakin kental setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan wacana pengampunan koruptor yang bersedia mengembalikan hasil kejahatannya. Dalam pidatonya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada 18 Desember 2024, ia menyatakan, “Saya Minggu ini dalam rangka memberi kesempatan untuk tobat. Hey para koruptor atau yang pernah mencuri, kalau kembalikan yang kau curi akan saya maafkan,” seperti dikutip dari tayangan YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis, 19 Desember 2024. Pernyataan ini memicu perdebatan di tengah keprihatinan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum bagi pelaku korupsi.
Sebaliknya, pendekatan di Cina terhadap tindak korupsi jauh lebih tegas. Li Jianping, mantan sekretaris Partai Komunis Cina, dieksekusi mati setelah dinyatakan bersalah menyalahgunakan jabatannya untuk menggelapkan uang lebih dari 3 miliar yuan (sekitar Rp6,6 triliun). Ia didakwa menerima suap, menyalahgunakan uang publik, dan berkolusi dengan sindikat kriminal. Pada September 2022, ia dijatuhi hukuman mati setelah penyelidikan mengungkap pelanggaran besar dalam masa jabatannya.
Setelah banding yang diajukan pada Agustus 2024 ditolak oleh Mahkamah Agung Cina, hukuman mati terhadap Li dilaksanakan pada Selasa, 17 Desember 2024. Eksekusi ini dilaporkan oleh stasiun televisi pemerintah Cina, CCTV, dengan pengadilan di North Inner Mongolia Autonomous menjadi pihak yang mengumumkan keputusan tersebut. Hukuman ini menunjukkan komitmen Cina dalam memberantas korupsi melalui penerapan hukuman berat untuk memberikan efek jera kepada para pelaku.
Indonesia sebenarnya memiliki dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyatakan bahwa terpidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati jika kejahatan dilakukan dalam “keadaan tertentu.” Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa keadaan tertentu meliputi tindak pidana yang dilakukan dalam situasi seperti bencana nasional, krisis ekonomi, atau kerusuhan sosial.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa hukuman mati hampir tidak pernah diterapkan dalam kasus korupsi di Indonesia. Satu-satunya kasus hukuman mati terhadap koruptor dijatuhkan kepada Jusuf Muda Dalam, mantan Menteri Urusan Bank Sentral dan Gubernur Bank Indonesia pada tahun 1963. Eksekusi itu pun tak pernah terlaksana karena ia meninggal akibat serangan jantung sehari sebelum hukuman dijalankan.
Hendrik Khoirul Muhid dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Peneliti Pukat UGM: Pengampunan Koruptor Sinyal Buruk Pemberantasan Korupsi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini