Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Benarkah Religiositas Polisi Bisa Mencegah Korupsi?

Kapolri memprioritaskan santri dan penghafal Al-Quran dalam rekrutmen tahun ini. Benarkah lebih tahan godaan terhadap korupsi?

16 Februari 2025 | 09.00 WIB

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam Pembukaan Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama Harlah Ke-102 NU di Jakarta, 5 Februari 2025. Antara/HO-Humas Mabes Polri
Perbesar
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam Pembukaan Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama Harlah Ke-102 NU di Jakarta, 5 Februari 2025. Antara/HO-Humas Mabes Polri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Rencana Kapolri untuk memprioritaskan santri dalam perekrutan anggota Polri tahun ini menuai kritik.

  • Tak ada bukti yang menunjukkan bahwa seorang polisi berlatar belakang santri akan lebih bersih.

  • Mereka pun menilai Kapolri tengah memainkan politik identitas dengan rencana tersebut.

RENCANA Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan prioritas kepada para santri dan penghafal Al-Quran untuk menjadi anggota Polri dalam rekrutmen tahun ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Mereka menilai logika Listyo bahwa para polisi berlatar belakang santri akan tahan godaan berbuat korupsi salah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kapolri mencetuskan rencana tersebut dalam sambutannya pada acara Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama di Hotel Sultan, Rabu, 5 Februari 2025. Di hadapan para ulama, Listyo menyampaikan keinginannya untuk para santri dan penghafal Al-Quran menjadi polisi karena dinilai memiliki keimanan yang kokoh sehingga bisa menahan godaan saat bertugas. “Karena dibekali iman yang kuat, sehingga pada saat menghadapi tantangan-godaan, semuanya bisa bertahan,” kata Listyo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Polri memang tengah membuka pendaftaran calon anggota hingga 6 Maret 2025. Merujuk pada laman resmi penerimaan Polri, terdapat empat jalur seleksi: Akademi Kepolisian, Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana, Bintara, dan Tamtama. Kapolri tak menjelaskan jalur mana dan berapa santri serta penghafal Al-Quran yang akan mereka terima tahun ini. Yang pasti, Listyo menyatakan telah mengantongi anggota baru dari golongan tersebut.

Pernyataan Listyo Sigit Prabowo soal santri yang menjadi polisi bisa lebih tahan godaan terhadap perilaku korupsi mendapat kritik dari berbagai pihak. Satu di antaranya dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Abe Widyanta. Menurut dia, sejauh ini tak ada korelasi antara tingkat religiositas dan perilaku koruptif.

Banyaknya polisi yang melakukan korupsi, menurut Abe, bukan terjadi karena rendahnya tingkat religiositas polisi, melainkan karena sistem yang buruk. Sistem di lingkup internal Polri yang buruk, dia menambahkan, membuat korupsi makin subur. “Logika linier seperti itu tidak akan pernah terjadi. Bahwa itu ada hubungannya, iya. Tapi realitasnya menunjukkan hukum kita tumpul,” kata Abe saat dihubungi Tempo, Sabtu, 15 Februari 2025.

Menurut dia, untuk memberantas perilaku koruptif polisi, Kapolri seharusnya menggunakan cara berpikir yang rasional. Untuk memberantas anak buahnya berbuat korupsi, Abe menyarankan Kapolri menegakkan hukum secara benar secara internal. Selama ini, menurut dia, banyak anggota kepolisian yang melakukan korupsi tapi tidak jelas penindakan hukumnya. Hal itu yang kemudian tak menimbulkan efek jera terhadap anggota lainnya.

Petugas Propam Polri menggiring eks Kasubdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, AKBP Malvino Edward Yusticia (kanan), setelah menjalani sidang etik kasus pemerasan pengunjung konser Djakarta Warehouse Project (DWP) di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, 2 Januari 2025. ANTARA/Muhammad Ramdan

Abe membenarkan bahwa agama mengajarkan hal baik. Namun, jika melihat korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian saat ini, dia menilai ada disonansi kognitif—situasi yang mengacu pada konflik mental, yang terjadi ketika keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang tidak selaras—yang dialami polisi. Akademikus UGM ini menjelaskan bahwa perilaku terbentuk dari kebiasaan atau habitus. Sehingga masuknya orang-orang dengan tingkat religius yang tinggi ke dalam lingkungan dengan sistem yang buruk justru akan membuat orang itu ikut menjadi buruk.

Selain itu, dia berpandangan bahwa Kapolri sedang memainkan politik identitas melalui rekrutmen anggota kepolisian untuk santri sebagai rekognisi agar bisa bertahan sebagai penguasa di kepolisian. Listyo dinilai menggunakan politik populisme untuk mempertahankan kekuasaannya. Mengingat istilah santri melekat pada satu agama tertentu, Islam, yang menjadi mayoritas di negeri ini.

Peneliti dari lembaga Institute fo Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, berpendapat sama. Dia mengatakan tingkat religiositas tak bisa menjadi jaminan seseorang untuk tidak berperilaku koruptif, apalagi kepolisian bukan lembaga agama. Menurut Bambang, pembenahan sistem di kepolisian lebih mendesak ketimbang mengurusi tingkat religiositas yang sifatnya personal.

Kapolri, menurut dia, seharusnya memikirkan bagaimana membangun sistem penegakan hukum yang lebih baik. Kepolisian, menurut dia, butuh pembenahan secara menyeluruh. Pasalnya, problem yang terjadi sekarang berlangsung mulai dari proses rekrutmen yang rawan terjadi suap sampai tidak adanya sistem kontrol dan pengawasan yang ketat. “Walhasil, kewenangan yang sangat besar itu membuka peluang untuk disalahgunakan,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Bambang menyatakan saat ini banyak polisi yang bekerja bukan lagi untuk menjadi abdi negara, melainkan sebagai alat membeli kewenangan negara yang kemudian digunakan untuk mengembalikan uang yang sudah terkuras pada saat mengikuti proses rekrutmen. Hal ini, menurut dia, diperparah dengan sikap permisif Polri terhadap perilaku anggotanya yang menyimpang.

Bambang menyatakan seberapa pun tinggi kualitas religius seseorang, apabila masuk ke lingkungan dan sistem yang buruk, sangat memungkinkan individu tersebut justru ikut tergoda. Dia tidak menyangkal masih ada sosok polisi baik, tapi jumlahnya relatif sangat kecil dan tak mendapat tempat di Polri. 

AKBP Bintoro (kanan) bersama dua tersangka dalam rilis kasus pembunuhan remaja berinisial FA, di Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, Jakarta, 26 April 2024. ANTARA/Khaerul Izan

Karena itu, dia beranggapan bahwa pernyataan jenderal polisi bintang empat tersebut hanya pencitraan yang tidak ada substansinya. “Sebanyak apa pun santri maupun penghafal Al-Quran yang direkrut, bila sistemnya tidak dibenahi, maka sama saja dan justru akan memperburuk orang-orang baik dengan tingkat religiositas tinggi, yang bisa saja menjadi terlibat dalam perilaku koruptif,” ujarnya.

Selain itu, dia melihat sikap Kapolri yang memprioritaskan jalur santri dalam rekrutmen anggota Polri 2025 sebagai sikap politik karena ada upaya menarik simpati masyarakat yang mayoritas pemeluk Islam.

Rekan Bambang di ISESS, Khairul Fahmi, juga sependapat soal perbaikan sistem sebagai solusi untuk melahirkan polisi yang lebih antikorupsi. Menurut dia, hal pertama yang harus dibenahi adalah sistem perekrutan. Polri, menurut Khairul, seharusnya memastikan mekanisme seleksi berjalan dengan baik, transparan, dan berintegritas.

Dengan demikian, tidak ada persoalan ihwal kualitas calon polisi yang direkrut. Meskipun ada calon polisi yang tidak memiliki moralitas yang baik, kata Khairul, semestinya karakter mereka dapat diubah melalui sistem pendidikan perekrutan calon polisi yang menjadi wadah membentuk integritas mereka. Pernyataan Listyo Sigit yang memprioritaskan calon polisi dengan latar belakang santri, menurut dia, justru dapat diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan kepolisian dalam membentuk karakter yang baik.

Khairul menilai pernyataan Kapolri soal godaan seolah-olah mengindikasikan bahwa masalah profesionalisme dan integritas di tubuh kepolisian bersumber dari masyarakat. Pernyataan Kapolri itu juga dinilai sebagai bentuk pengalihan perhatian dari tanggung jawab institusi untuk memperbaiki lingkup internal, yang seharusnya memperbaiki dan membangun mekanisme pengawasan yang lebih ketat, serta memastikan semua pemimpin di setiap tingkatan memberikan teladan yang baik.

Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada 2017 menunjukkan bahwa kesalehan masyarakat bukan faktor yang menentukan perilaku korupsi. Direktur Eksekutif LSI pada saat itu, Kuskridho Ambardi, mengatakan makna agama dan perilaku ritual yang dijalani hanya berhubungan signifikan dengan sikap responden terhadap korupsi, tapi tidak berkorelasi dengan perilaku korupsi. "Makin religius hanya makin bersikap antikorupsi. Perilaku korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah agama," kata Dodi—sapaan Kuskridho—pada Rabu, 15 November 2017.

Survei LSI mencatat 74,9 persen responden yang beragama Islam mengaku sangat atau cukup saleh. Selanjutnya, 82,9 persen dari responden itu menyatakan sering atau cukup sering mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan penting.

Bahkan LSI menyebutkan masyarakat adalah kelompok yang paling sering dimintai uang atau hadiah ketika berurusan dengan polisi dan pengadilan. Uang atau hadiah tersebut di luar dari biaya resmi pengurusan administrasi. Dari 14,9 persen warga yang pernah berurusan dengan polisi, sebanyak 46,1 persen di antaranya pernah diminta memberi hadiah atau uang di luar biaya resmi.

Temuan ini sejalan dengan kecenderungan masyarakat memberikan gratifikasi. Dia mengatakan probabilitas melakukan gratifikasi juga paling besar terjadi ketika responden berurusan dengan anggota Polri. Sebanyak 40,4 persen dari 14,4 persen responden menyatakan secara aktif tanpa diminta memberikan uang atau hadiah agar mendapatkan pelayanan yang signifikan.

Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mutia Yuantisya

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus