Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan sorotan soal rencana penerapan hukuman terhadap IWAS, pria difabel yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Peneliti ICJR Maidina Rahmawati sepakat apabila pelaku dikenai tahanan rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maidina menyinggung soal kondisi pelaku yang tidak memungkinkan apabila mendapatkan hukuman berupa tahanan rutan seperti narapidana lainnya. Meski jadi tahanan rumah, Maidina tetap menekankan dan meminta agar aparat penegak hukum dapat memperhatikan aspek perlindungan psikologis korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sepakat bahwa tahanan tidak harus tahanan rutan. Tapi di kasus ini perlu diperhatikan aspek korbannya. Di Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga ada soal perintah untuk menjauhi korban. Itu harus digunakan oleh polisi,” kata Maidina kepada Tempo, Kamis, 05 Desember 2024.
Orangtua IWAS, kata Maidina, bisa juga menjadi penjamin selama anaknya menjalani hukuman menjadi tahanan rumah. Orangtuanya juga bertanggungjawab agar anaknya tidak lagi berhubungan atau bertemu dengan korban. “Harus dikombinasikan dengan UU TPKS memang, ada larangan menemui korban,” ucapnya.
Dia juga mempertanyakan soal mekanisme tahanan rumah bagi tersangka pelaku kekerasan seksual seperti IWAS. Sejauh ini, kata dia, belum ada mekanisme yang jelas serta pengawasan seperti apa yang harus dilakukan ketika seseorang diputuskan menjadi tahanan rumah.
Namun, idealnya, Maidina mengatakan perlu ada pengawasan secara berkala dari pihak kepolisian. Selain itu narapidana itu juga wajib lapor per dua minggu sekali. “Aturan ini sudah lama di KUHAP, tapi mekanisme pengawasannya tidak ada aturan updatenya,” ujar dia.
Jika dimungkinkan, hal progresif juga bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum. Maidinia memberi contoh seperti melibatkan penilaian aspek sosial oleh pembimbing kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan. “Selain pengawasan dengan mekanisme wajib lapor itu, ada tambahan misalnya ada praktik di kejaksaan dengan alat elektronik.”
Diketahui sebelumnya, IWAS alias Agus diduga melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa inisial MA. Sebelum melancarkan aksinya, Agus diduga memanipulasi dan mengancam korban agar mau menuruti keinganannya.
Dengan kondisi psikologis yang masih terguncang karena memiliki trauma masa lalu, pendamping korban Ade Latifa Fitri mengatakan korban merasa ketakutan dengan ancaman yang diberikan Agus. Di awal perkenalan Agus sempat menggali informasi pribadi dari MA. Ia lalu memanfaatkan informasi dan pengalaman yang diceritakan korban untuk mengancam dan melancarkan aksi kekerasan seksual.
“Pelaku itu bilang, ‘sekarang kamu sudah terikat sama saya, kamu sudah enggak bisa ke mana-mana karena saya sudah tahu masalah-masalah kamu, tentang hidup kamu’,” tutur Ade beberapa waktu lalu.
Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.