Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
H. Sujiwo Tejo
Pengamat sosial
ISTRI atau suami tidak setuju salah satu pihak membintangi blue film. Tapi, saat terdesak untuk menyegarkan hubungan yang sudah mulai membosankan, pasangan suami-istri itu membutuhkan blue film lebih dulu sebelum naik ranjang. Artinya, biarlah yang lain, meski sesama manusia, melakukan adegan blue film, adegan yang sering dibilang tidak senonoh. Yang penting, adegan itu tidak dilakukan oleh yang merasa terhormat, sungguhpun yang dianggap tidak senonoh itu amat diperlukan untuk keharmonisan rumah tangga yang merasa terhormat.
Perasaan bermartabat tapi sejatinya munafik itu banyak melanda masyarakat. Jika tidak, tak mungkin tumbuh produksi massal VCD, bahkan dengan bajakannya, yang belum lama disikat polisi dengan segala pro-kontranya di kawasan Glodok, Jakarta. Apa yang dianggap sebagai film porno dikutuk, tapi diam-diam dijadikan kebutuhan. Rokok dan alkohol dicaci-maki, tapi cukainya yang besar diterima untuk membiayai kehidupan. Film anak-anak Petualangan Sherina belum lama diluncurkan di ruangan yang melarang orang merokok, tapi pengunjungnya bersenang hati mendapat buku dan tas pendidikan dari perusahaan rokok. Saya berpendapat, hasil reformasi tetap amburadul seperti ini karena reformasi didorong oleh kemunafikan serupa. Pak Harto diturunkan bukan karena dugaan korupsi dan segala ketidakbecusannya, sehingga lahir keadaan yang lebih baik. Ia diturunkan karena kita, termasuk saya, ingin bergantian menikmati kekuasaan. Untuk ukuran kemunafikan, kasus blue film ataupun VCD triple X tidak bisa disetarakan dengan kesenian debus dari Banten ataupun akrobat di kampung-kampung. Pasangan-pasangan yang merasa terhormat datang mengunjungi debus dan adegan-adegan lain yang berbahaya dalam akrobat karena mereka tak bisa melakukannya sendiri. Mereka tak bisa menusuk-nusuk lidah dan badannya dengan peniti, paku, dan golok. Lain halnya adegan seks dalam VCD triple X. Mereka, pasangan yang merasa terhormat itu, pasti gampang melakukannya. Kendalanya cuma malu. Jangankan berbuat sendiri, menonton bersama masyarakat saja malu. Makanya, mereka sembunyi-sembunyi di kamar. Halnya sama. Jika tidak atas nama reformasi, Pak Harto akan diturunkan atas nama apa lagi? Semua orang, termasuk saya, akan malu menurunkan Pak Harto atas nama ''bergantian menikmati kekuasaan". Dibuatlah agenda reformasi. Saya berpendapat bahwa penolakan yang kompak atas usulan Gus Dur tentang pencabutan Ketetapan Nomor XXV/MPRS/1966 bukan karena betul-betul alasan kenegaraan. Bisa jadi, secara munafik, alasannya adalah untuk menyaingi kepopuleran Gus Dur di dalam dan luar negeri. Sudah jelas, tak sedikit pakar yang menyebut bahwa komunis tidak identik dengan ateis. Taruh kata, misalnya, komunis identik dengan ateis, lalu apa memang benih-benih antidemokrasi hanya ada di kalangan ateis? Apa benar benih-benih kediktatoran tidak muncul di kalangan elite kaum agama? Apa ada garansi bahwa partai-partai yang membawa nama agama itu betul-betul agamawi dan tidak cuma mengatasnamakan agama? Jangan lupa, kontrol untuk mereka yang bukan kalangan komunis susah dilakukan. Serangan terhadap tingkah laku elite itu mudah dijebak sebagai serangan terhadap agama, terhadap Tuhan, yang bisa menimbulkan amuk massa kaum agama. Contoh kecil adalah soal kesenian. Apa ada kritikus yang berani mengkritik teater Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib? Padahal, sebelum Emha menginjak era karya-karya yang entah berisi entah cuma mengatasnamakan agama, kritik terhadap karya orang Jombang itu keras dan obyektif. Setidaknya, ada pro-kontra. Lantas, pada Lautan Jilbab, pers kelihatan serba repot. Masa, menulis kritik hanya memuji? Tapi, kalau juga terkandung serangan, nanti ada umat yang marah seperti kasus Banser NU terhadap Jawa Pos. Selain itu, ada juga ruginya. Karena pers bungkam, publik teater hingga kini hanya tahu bahwa Teater Koma-lah yang mengumpulkan penonton teater terbanyak, bukan Lautan Jilbabyang mengumpulkan puluhan ribu penonton. Karena itu, sebelum berlanjut proses yang bermula akibat kita mengatasnamakan reformasi ini, ada baiknya segala kemunafikan itu diakui lebih dulu. Tujuannya sederhana, agar proses yang bermula dari pengatasnamaan reformasi itu mencapai titik temu yang enak sama enak. Katakanlah, fun-fun solution. Mahasiswa dan kaum muda tidak perlu lagi berpenat-penat berdemo di kawasan Cendana karena sudah jelas berapa bagian yang mereka dapat untuk tidak berdemo. Distribusinya diwujudkan, misalnya, melalui subsidi pendidikan. Pemerintah dan oknum-oknumnya, serta mantan elite penguasa masa lalu, tak usah tidak ikhlas karena bagian rupiahnya berkurang. Toh, ada kompensasinya, yaitu Jakarta bakal aman karena tidak ada demo. Jutaan orang tua mahasiswa di Tanah Air lebih tenang bekerja karena biaya pendidikan jadi menurun. Jutaan orang tua di Tanah Air tidak usah jadi sok heroik untuk menuding atas dasar apa pemerintah dan oknumnya, serta mantan elite penguasa masa lalu, mendapat bagian rupiah dari kasus Cendana. Toh, tiba-tiba masyarakat sadar, akan begitu juga kalau mereka menjadi penguasa dan penggantinya. Itu tak akan terjadi selama kita semua masih munafik. Selama blue film dikutuk tapi diam-diam dinikmati. Selama rokok dan alkohol dibenci tapi cukainya dirampok secara terhormat. Selama, oleh orang-orang yang merasa terhormat, pemilihan putri dikutuk tapi Lara Dutta disambut, dan rating siaran langsung pemilihan putri Indonesia di Indosiar kelihatannya menggeser Ketoprak Humor di RCTI. Selama sebagian besar aktivis reformasi, sebenarnya, pembeli mobil Timor yang lahap di awal-awal mobil itu muncul bermasalah. Dan seterusnya . Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |