Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
dr. Kartono Mohamad
Mantan Ketua IDI
POLITBIRO meminta saya untuk berbicara dengan Anda mengenai kesehatan Ketua Mao," kata Ye Jianying kepada Dr. Li Zhisui. Dr. Li Zhisui adalah koordinator tim dokter Ketua Mao Zedong. "Tidak usah takut. Ceritakan saja secara gamblang apa problem kesehatan yang dialami oleh Ketua," ujar Ye Jianying. Saat itu, kesehatan Ketua Mao memburuk. Ia mengalami gangguan jantung dan paru-paru dan pernah mendadak tidak sadarkan diri. Perdana Menteri Zhou Enlai mengatakan, "Keadaan ini serius dan politbiro perlu diberi tahu," setelah mendengarkan penjelasan tim dokter.
Gangguan kesehatan kepala negara di mana pun selalu menjadi masalah serius, apalagi kalau gangguan itu akan mempengaruhi penampilan dan kinerjanya. Ketika diketahui Presiden Ronald Reagan menderita gejala-gejala awal Alzheimer menjelang akhir masa jabatannya, para staf menasihati agar ia tidak lagi memberikan konferensi pers secara langsung, dan Ronald Reagan menurut. Ia menyadari dampak yang timbul jika akibat penyakitnya itu, yang antara lain ditandai dengan pikun (dementia), ia mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang keliru.
Untuk mengetahui keadaan kesehatan kepala negaranya, baik Cina maupun Amerika tidak membentuk tim dokter "independen". Mereka cukup mengandalkan penjelasan tim dokter yang ada, meskipun untuk negara komunis seperti Cina, jika penjelasan tim dokter tersebut tidak memuaskan politbiro, mereka dapat dituduh telah meracuni kepala negaranya. Itu seperti yang dialami oleh tim dokter Stalin, yang dituduh telah meracuni Kepala Negara Uni Soviet itu ketika ia meninggal.
Karena itu, untuk mengetahui lebih jelas tentang kesehatan Gus Dur dan apakah ucapan-ucapannya yang kontroversial merupakan dampak dari kondisi kesehatannya, tidaklah perlu dibentuk tim dokter "independen". Tim dokter yang ada sekarang pun sudah independen. Mereka menetapkan diagnosis dan terapi bagi Gus Dur, tanpa meminta petunjuk atau arahan dari siapa pun. Memang, pembentukan tim ini dilakukan melalui keppres, tetapi tidak berarti bahwa diagnosis dan terapi yang diberikan disesuaikan dengan keinginan presiden. Mereka akan membuat rekaman medis Gus Dur sesuai dengan hasil pemeriksaan yang obyektif. Tidak ada gunanya bagi mereka untuk menyembunyikan atau melebihkan hasil pemeriksaan karena hal itu justru akan membuat terapi yang diberikan salah arah. Akibatnya bisa fatal.
Namun, tentu saja, jika dipandang perlu, tim dokter kepresidenan itu dapat dipanggil oleh pimpinan MPR karena, seperti kata Zhou Enlai di atas, gangguan kesehatan kepala negara adalah masalah yang serius bagi bangsa. Apalagi kepala negara kita adalah juga kepala pemerintahan. Tidak usah curiga bahwa tim dokter kepresidenan tidak jujur mengenai masalah kesehatan presiden. Sebab, jika mereka melakukannya, bisa berakibat sangat besar bagi bangsa ini dan juga bagi mereka sendiri. Sebaliknya, tim dokter kepresidenan juga tidak usah mencoba mengelak untuk mengungkapkan jika diminta oleh pimpinan MPR, karena presiden adalah milik rakyat.
Harus diakui bahwa ucapan-ucapan Presiden Abdurrahman Wahid memang sering berubah-ubah, meskipun untuk masalah yang sama. Ia sering pula melontarkan ungkapan-ungkapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau mau jujur, sebenarnya hal ini sudah terjadi sejak Gus Dur belum menjadi presiden. Ingat saja sinyalemennya tentang Jenderal K, atau tokoh yang berinisial AS, dan sebagainya.
Kemungkinan adanya kaitan ucapan-ucapan itu dengan gangguan kemampuan berasosiasi akibat serangan otak (stroke) pernah saya sampaikan kepada dewan pimpinan sebuah partai politik ketika Gus Dur akan dicalonkan jadi presiden. Ketika itu saya usulkan agar dilakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah temperamen tersebut berkaitan dengan jejas (bekas) yang ditimbulkan oleh serangan otak yang pernah dialami atau tidak. Dari tampilan fisik, memang tidak ada tanda-tanda gangguan kesehatan karena mungkin serangan otaknya lebih mengenai daerah pengatur emosi dan asosiasi ketimbang daerah pengatur gerakan ataupun perasa.
Selain itu, perlu pula dibuat profil psikologis Gus Dur karena terasa ada kegetiran dalam ungkapan-ungkapan yang dilemparkannya, meskipun sering dikamuflase oleh guyonan. Gus Dur memang memiliki rasa humor yang tinggi, yang biasanya dimiliki oleh orang dengan inteligensi yang tinggi pula. Nada kegetiran seperti ini dulu tidak pernah saya dengar atau rasakan sewaktu saya sempat bergaul dengannya, jauh sebelum ia mengalami rangkaian musibah yang menimpa diri dan keluarganya. Trauma-trauma tersebut dapat menimbulkan depresi, kesepian, merasa ditinggalkan teman, dan mudah curiga. Hanya, inteligensi dan rasa humornya yang tinggi membuat ia dapat mengalihkan tekanan itu menjadi hal-hal yang justru produktif. Tetapi, betapapun, kegetiran itu tetap terasa.
Memang kemudian banyak orang mempertanyakan mengapa baru sekarang masalah kesehatan Gus Dur perlu diperiksa lagi, bahkan oleh tim dokter khusus yang disebut sebagai tim dokter "independen". Penggunaan istilah independen itu sendiri terasa menyakitkan bagi para dokter. Sebab, itu berarti pimpinan MPR dan DPR tidak yakin tim dokter kepresidenan yang ada akan bersikap obyektif. Terasa ada ketidakpercayaan kepada profesi dokter, seolah-olah dokter akan secara apriori berpihak kepada pasiennya. Tetapi, rupanya rasa kurang percaya kepada dokter juga terjadi di kalangan pimpinan negara. Buktinya, tim dokter untuk presiden dan wakil presiden masing-masing tersendiri dan tidak di bawah satu koordinasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |