Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Untungnya Memilih Presiden Langsung

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi A. Mallarangeng
Dosen Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta

DAPATKAH rakyat kebanyakan—saya, Anda, kita semua— dipercaya untuk memilih presidennya secara langsung? Pertanyaan yang tampaknya sederhana ini ternyata masih menimbulkan jawaban yang tidak bulat, bahkan di era demokrasi ini. Masih ada kalangan akademisi dan elite politik yang beranggapan bahwa rakyat kebanyakan tidak dapat dipercaya untuk memilih pemimpin tertinggi bangsa ini. Rakyat harus diwakili oleh elite politik yang terpilih di dalam parlemen .

Ini sebenarnya bukanlah argumen yang baru. Malahan lebih dari 2.000 tahun yang lalu, Plato beranggapan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang buruk, bahkan lebih buruk dari oligarki. Sebaliknya, yang terbaik bagi Plato adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang yang bijak, yang mempunyai wisdom. Rakyat diidentikkan dengan kebodohan dan elite disamakan dengan wisdom. Artinya, biarlah elite yang menentukan pemerintahan ataupun menjalankan pemerintahan itu.

Pada abad ke-21 ini, argumen ini diungkapkan secara lebih canggih dengan menggunakan alasan tingkat pendidikan rendah, irasionalitas pemilih, pluralitas masyarakat, dan sebagainya. Dalam situasi semacam ini, pemilihan presiden secara langsung dinilai hanya akan menghasilkan pemimpin yang populer di mata kebanyakan rakyat, tetapi belum tentu mempunyai kemampuan memimpin pemerintahan. Dikhawatirkan bahwa pemilihan presiden langsung akan menghasilkan garis yang tegas antara pemenang dan pecundang sehingga dapat memicu konflik komunal dalam masyarakat plural dan irasional. Khusus untuk Indonesia, pemilihan presiden langsung akan menghasilkan dominasi etnis Jawa yang permanen atas etnis luar jawa.

Tentu saja argumen yang berakar sejak sebelum Masehi ini tidak cocok lagi digunakan pada zaman sekarang, ketika kedaulatan rakyat, persamaan hak setiap warga negara, dan ''satu orang satu suara" merupakan pondasi utama sebuah negara demokratis.

Pemilihan presiden secara tidak langsung melalui MPR tidak lagi dapat dipertahankan karena justru menyimpan bom waktu konflik besar itu. Bom waktu itu disebabkan oleh adanya potensi distorsi yang sangat besar melalui pemilihan tidak langsung. Pilihan elite politik di MPR belum tentu sesuai dengan pilihan rakyat. Inilah sebabnya, ketika Megawati dikalahkan oleh Gus Dur di MPR, daerah basis PDI Perjuangan seperti Solo, Medan, dan hampir seluruh Bali dibakar dan diamuk oleh massa pendukung PDI-P. Untung saja yang terpilih adalah Gus Dur, yang dikenal cukup bersahabat dengan Megawati, sehingga amuk itu dapat dikendalikan. Jika yang terpilih saat itu adalah Habibie, kemungkinan seluruh Jawa dan Bali serta sebagian Sumatra dan Indonesia timur akan terbakar.

Sebaliknya, dengan dipilih langsung, presiden akan mendapatkan legitimasi yang kuat. Apalagi, berbagai sistem modern pemilihan presiden langsung, misalnya sistem pemilihan dua babak seperti di Prancis ataupun sistem pemilihan preferensial seperti di Irlandia dan Australia, akan menghasilkan presiden yang terpilih dengan 50 persen plus suara pemilih. Konflik yang muncul sebagai akibat dari pemilihan presiden bukanlah karena garis kalah-menang, melainkan karena apakah rakyat mempersepsikan bahwa pemilihan itu jujur dan adil serta mencerminkan pilihan mayoritas rakyat.

Asumsi tentang dominasi etnis Jawa terhadap etnis luar Jawa dalam pemilihan langsung sungguh menyederhanakan kompleksitas faktor yang menentukan dalam pemilihan langsung. Antara lain, pertama, penduduk Pulau Jawa, yang jumlahnya 60 persen dari penduduk Indonesia, lebih dari sepertiganya terdiri dari etnis Sunda, Betawi, Madura, dan etnis pendatang dari luar Jawa. Kedua, pluralisme politik, terutama di Jawa, dan persaingan politik yang tinggi tidak mungkin menghasilkan satu kandidat Jawa yang mewakili seluruh etnis Jawa. Artinya, suara pemilih Jawa akan terbagi tidak saja terhadap garis etnis, tetapi juga garis ideologi. Ketiga, pemilihan presiden langsung juga menyangkut personalitas dan persepsi tentang kemampuan personal kandidat yang bisa melampaui garis batas etnis. Keempat, pilihan pemilih juga dipengaruhi oleh isu, visi, dan program kandidat yang berhubungan dengan kepentingan individu pemilih.

Lagi pula, dengan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara satu paket, akan terjadi situasi yang memaksa kandidat-kandidat untuk mengombinasikan paket pencalonannya atas garis Jawa-luar Jawa. Jika calon presidennya beretnis Jawa, amatlah logis bahwa calon wakil presidennya dari etnis luar Jawa, begitu pula sebaliknya.

Akan halnya rasionalitas pemilih, pendekatan rasionalitas klasik mengukur rasionalitas pemilih sesuai dengan rasionalitas elite. Pendekatan rasionalitas kontemporer justru melihat petani, buruh, atau pembantu rumah tangga bisa saja mempunyai ukuran rasionalitas yang berbeda dengan rasionalitas elite.

Dalam ukuran rasionalitas klasik, seorang pembantu rumah tangga yang memilih PDI-P karena ''ikut kawannya" sesama pembantu rumah tangga dianggap tidak rasional. Sebaliknya, dalam ukuran rasionalitas retrospektif, pilihan pembantu rumah tangga tersebut adalah pilihan rasional ''baginya", karena ternyata selama ini memilih Golkar ''ikut tuannya" tidak memperbaiki nasibnya atau nasib orang-orang seperti dia.

Sebagai bonus, sistem pemilihan presiden langsung akan menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil dan efektif karena presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, tetapi langsung kepada rakyat melalui pemilu. Tentu saja ia tetap dapat di-impeach melalui suatu prosedur, tetapi tidaklah semudah seperti sekarang ini. Bonus tambahan, pertanggungjawaban langsung kepada rakyat ini akan menghasilkan presiden yang lebih mempunyai akuntabilitas kepada rakyat ketimbang kepada elite-elite politik. Bukankah ini mimpi kita tentang demokrasi selama ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum